Benarkah Intoleransi Merusak Dunia Pendidikan?

Oleh: Nurul Azzizah

Mahasiswi di Kota Depok

 

Akhir-akhir ini, istilah intoleransi sering menjadi headline berita, bahkan mulai dikaitkan dengan dunia pendidikan. Seperti dalam pernyataan Menteri Kebudayaan dan Teknologi,  Nadiem Makarim menegaskan akan membasmi tiga dosa besar dalam sistem pendidikan nasional. Adapun ketiga dosa itu adalah intoleransi, perundungan dan pelecehan seksual.

Menurutnya, posisi Kemendikbudristek dan pemerintah pusat dalam membasmi tiga dosa besar dalam sistem pendidikan ini tentunya akan memakan waktu dalam melaksanakannya. Tapi itu aspirasi dan tidak ada abu-abu untuk mencapai aspirasi ini.  Demikian yang ditegaskan Nadiem dalam acara peluncuran aksi moderasi beragama Kemenag lewat daring.

Sebenarya, pernyataan Nadiem bukan hal baru. Sejak awal tahun ini, ia sudah menyampaikan pernyataan yang sama. Hal ini menunjukkan ada komitmen darinya untuk membasmi apa yang dianggap sebagai keburukan dalam sistem pendidikan yang ada di negeri ini.

Berkaitan dengan isu perundungan dan kekerasan seksual sebagai sebuah kerusakan yang harus dibasmi di dunia pendidikan, tentu ini hal yang patut didukung. Namun, terkait intoleransi yang dimaknai sebagai sikap berpegang teguh pada ajaran Islam dalam semua aspek kehidupannya, adalah hal yang patut dikritisi. Bagaimana pun  jika menjadikan intoleransi sebagai dosa nomor satu ini, seolah-olah menunjukkan intoleransi ini menjadi momok yang paling menakutkan di dunia pendidikan.

Selain itu,  intoleransi ini  seringkali dilabeli dengan istilah fundamental, radikal, tidak mau menerima kebhinekaan dan yang semisalnya. Hampir tidak pernah ditudingkan intoleransi kepada pemeluk agama lain. Dengan demikian bisa dipastikan yang  dibidik adalah kaum Muslimin yang berkomitmen menjalankan Islam yang secara kaffah.

Di samping itu, Nadiem juga mengatakan upaya penghapusan intoleransi ini akan dilakukan melalui program Merdeka Belajar.  Salah satunya  dengan mengarusutamakan pendidikan karakter. Bahkan ia juga mengubah sistem pemetaan mutu pendidikan nasional melalui survei karakter dan survei lingkungan belajar dalam pangkat asesmen nasional.

Hal ini berarti juga diperkuat dengan berbagai informasi seputar proses yang sudah berjalan di beberapa sekolah penggerak, ketika isu yang ditanyakan itu sejalan dengan muatan moderasi Islam. Tentu itu semua mengomfirmasi program Merdeka Belajar dengan sistem nasional sebagai indikator mutu pendidikan di negeri ini, menjadi langkah strategis untuk memberangus upaya kaum Muslimin untuk berislam secara kaffah.

Jadi nantinya sekolah yang dikatakan bermutu itu jika warga sekolahnya sudah tidak memiliki komitmen yang tinggi terhadap penerapan ajaran agama Islam. Sebaliknya sekolah yang bermutu itu adalah warga sekolahnya yang sudah menerima keberagaman dalam bingkai pluralitas.

Oleh karena itu, Nadiem sedang menyiapkan materi kurikulum moderasi beragama untuk disiapkan di dalam kurikulum program sekolah penggerak untuk menghapus indolensi dalam dunia pendidikan. Rancangan ini disusun bersama kementerian agama untuk  memoderasikan agama Islam di dunia pendidikan. Sebelumnya,  Kemenag sudah merilis buku pedoman penguatan moderasi beragama yang akan menjadi panduan di lembaga pendidikan baik di madrasah, sekolah,  maupun perguruan tinggi.

Dengan kata lain, semua perangkat sudah disiapkan dengan matang untuk menghapus intoleransi. Benarkah intoleran merupakan permasalahan utama yang merusak di dunia pendidikan? Benarkah dengan keberadaan para guru dan siswa yang berkomitmen terhadap ajaran agamanya ini akan merusak dunia pendidikan?

Sejujurnya,  banyak hal yang harus dibenahi dalam dunia pendidikan saat ini seperti PTM,  kurangnya fasilitas pendidikan, output pendidikan yang jauh dari nilai Islam dan banyak hal lainnya.  Tentu menjadi sebuah pertanyaan besar kenapa yang  menjadi fokus utama dunia pendidikan malah pada penghapusan intoleransi, yang  bukan masalah utama yang seharusnya diselesaikan. Intoleransi akan menjadi masalah baru di dunia pendidikan dengan menjauhkan para siswa Muslim dari ajaran agamanya.

Pada hakikatnya,  Indonesia sebagai negeri yang mayoritas penduduknya Muslim sudah sewajarnya jika mereka menghendaki menjalankan syariat Islam. Akan tetapi,  banyak upaya yang dilakukan para pembenci Islam agar Islam sebagai ajaran yang sempurna dijauhkan dari umat Islamnya dan menghalangi mereka dari keridhaan Allah SWT. Semua itu tidak akan membawa pada kebahagiaan, justru berdampak pada kerusakan dan kemurkaan Allah SWT. Allah SWT berfirman, Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan ku maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit dan kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS Thaha: 124).

Oleh karena itu, upaya penghapusan intoleransi ini tidak akan menyelesaikan masalah di dunia pendidikan, tetapi justru akan  mendatangkan masalah yang lebih besar karena akan menjauhkan kaum Muslimin terutama generasi muda Islam dari ajaran Islam ini. Padahal ajaran Islam akan mengantarkan bukan hanya kaum Muslimin, tapi juga seluruh manusia dan alam semesta ini pada rahmatan lil ‘alamin.

Kaum Muslim harus  terikat dengan syariat Islam sebagai konsekuensi dari Akidah Islam yang diyakini. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah secara keseluruhan dan janganlah kamu menuruti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu (QS al-Baqarah:  208).

Pada prinsipnya, generasi muda harusnya mempunyai komitmen untu menjalankan semua ajaran Islam dalam kehidupannya, termasuk ketika berada di lingkungan pendidikan, bahkan seharusnya pendidikan generasi ini diarahkan untuk membentuk kepribadian Islam.  Namun, derasnya arus sekularisme saat ini membuat kepribadian Islam generasi muda semakin terkikis, bahkan akidah mereka pun terancam dengan gencarnya program moderasi beragama. Akhirnya,  generasi muda menjadi terseret gelombang sekularisasi dan menjadi takut untuk berpegang teguh pada agamanya karena akan dicap sebagai intoleransi.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post