Benarkah Karhutla Tak Pernah Usai

Penulis :  Masniati, S. Pd 
(Akademi Menulis Kreatif Reg. Bima

Dalam debat Capres pada Minggu, 17 Februari 2019, salah seorang paslon menerangkan soal keberhasilan menangani kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) selama tiga tahun terakhir.

"Kita ingin kebakaran hutan, lahan gambut, tidak terjadi lagi. Ini bisa kita atasi. Dalam tiga tahun tidak terjadi kebakaran hutan, lahan dan gambut" paparnya saat itu (www.bbc.com).

Pernyataan pada debat Capres tersebut, tidak sesuai dengan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan 843 hektar lahan terbakar di Provinsi Riau dari 1 Januari hingga 18 Februari. Sebaran dari kebakaran mencakup Kabupaten Roka Hilir sebanyak 117 Ha, Dumai 43,5 Ha, Bengkalis 627 Ha, Meranti 20,2 Ha, Siak 5 Ha, dan kota Pekanbaru 16 Ha.

Untuk menanggulanginya, Pemprov Riau menetapkan status Siaga Darurat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) mulai 19 Februari hingga 31 Oktober 2019.
"Siaga ini kita tetapkan seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu siaga juga saya tetapkan 19 Februari. Dengan adanya penetapan siaga ini, seluruh komponen bisa lebih optimal. Kami bisa minta bantuan kepada BNPB dan lainnya," jelas Edwar.(Pekanbaru.tribunnews.com).

Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang semakin parah di Riau, mengakibatkan pelajar di 13 sekolah diliburkan. Hal ini disampaikan Koordinator wilayah (Korwil) Kecamatan Rupat Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkalis, Rais saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Senin. 

"Mengingat kondisi kabut asap semakin parah, hari ini sekolah diliburkan, 10 sekolah dasar dan 3 sekolah menengah pertama (SMP) yang ada di kecamatan Rupa," sebut Rais.

Merujuk laporan capaian KLHK pada 4 tahun pemerintahan Jokowi, seperti dikutip dari situs resmi KLHK, untuk Januari sampai Agustus 2018 saja 194.757 hektare hutan di Indonesia terbakar. Angka tersebut justru naik jika dibandingkan dengan luas hutan yang terbakar di tahun sebelumnya, yaitu 165.528 hektar.

Meski begitu, luas karhutla selama enam bulan di 2018 itu lebih kecil ketimbang luas karhutla pada 2016 (seluas 438.363 hektare) dan 2015 (seluas 2.611.411 hektare).

Berulangnya Karhutla untuk ke sekian kalinya, menunjukkan rezim neolib dan berbagai program yang dijalankan telah gagal dan sia-sia belaka. Penyelesaian persoalan Kebakaran hutan belum menyentuh hingga ke akar-akarnya. Jadi, wajarlah ketika kejadian yang serupa terus berulang tanpa solusi yang solutif.

Tentu saja semua ini berawal dari pengelolaan lahan dan hutan gambut yang dilandaskan pada pandangan sekuler (hak konsesi) dan diadopsinya agenda hegemoni climate change/EBT, yang salah satunya minyak sawit sebagai dasar biofuel. Keduanya adalah aspek yang niscaya ketika rezim neolib hadir sebagai pelaksana sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme.

Sistem ekonomi kapitalisme hanya akan melahirkan berbagai kerusakan. Neoliberalisme adalah nyawa bagi ideologi kapitalisme dalam melanggengkan hegemoninya di negeri jajahannya. Tentunya dengan berbagai kebijakan yang di jamin oleh Undang-Undang dalam melancarkan penjajahannya. Salah satunya dengan adanya konsesi. 

Menurut Wikipedia, Konsesi adalah pemberian hak, izin, atau tanah oleh pemerintah, perusahaan, individu, atau entitas legal lain. Konsesi antara lain diterapkan pada pembukaan tambang dan penebangan hutan. Model konsesi umum diterapkan pada kemitraan pemerintah swasta (KPS) atau kontrak bagi hasil. 

Dalam sistem kapitalisme, negara hanya sebagai pengontrol jalannya kebijakan tanpa keterlibatan langsung dalam meri'ayah (mengurusi) urusan rakyatnya. Jadi, sangat wajar jika rezim hanya berpihak pada kepentingan swasta dan Asing.

 *Butuh Solusi Islam*

Hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara.
Syariah telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan (al-ghaabaat) termasuk dalam kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah) (Zallum, 1983:25). Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi SAW :

"Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api." (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah) (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1140).

Hadits ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, karena sama-sama mempunyai sifat tertentu sebagai illat (alasan penetapan hukum), yakni menjadi hajat hidup orang banyak (min marafiq al-jamaah). Termasuk milik umum adalah hutan (al-ghaabaat), karena diqiyaskan dengan tiga benda di atas berdasarkan sifat yang sama dengan tiga benda tersebut, yaitu menjadi hajat hidup orang banyak. (Ali as-Salus, 2002:37).

Pengelolaan kepemilikan umum tentunya merupakan kewajiban bagi negara, yang nantinya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat. Kepemilikan umum, tentunya tidak bisa diserahkan kepada swasta apalagi Asing sebagaimana halnya fakta yang kita lihat dalam sistem kapitalisme demokrasi saat ini.

Negara harus menjamin terjaganya sumber daya hutan dari kebakaran, eksploitasi besar-besaran yang membahayakan kehidupan masyarakat.

Jadi, solusi satu-satunya agar karhutla segera berakhir adalah bersegera meninggalkan sistem kehidupan sekuler dan bersegera pula kembali pada pangkuan pemimpin yang akan menerapkan seluruh hukum Allah SWT. Pemimpin seperti itu hanya ada dalam negara yang berlandaskan aqidah Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para khulafa' ar Rasyidin. Sebab, pengelolaan SDA termasuk di dalamnya pengelolaan hutan dan lahan gambus didasarkan ada paradigma yang shohih demikian juga akan mendukung programa EBT secara bijak. 
Allahu a'lam bish showwab

Post a Comment

Previous Post Next Post