Krisis Iklim, Problem Sistemis Perlu Solusi Ideologis




Oleh Ummu Mila

Beberapa tahun terakhir Kementerian Lingkungan Hidup rutin memberikan penghargaan Program Kampung Iklim (Proklim) kepada desa-desa di seluruh Indonesia yang berhasil mensukseskan program ini.  Program Kampung Iklim (ProKlim) adalah program berlingkup nasional yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam rangka meningkatkan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan lain untuk melakukan penguatan kapasitas adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan penurunan emisi GRK. Serta memberikan pengakuan terhadap upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang telah dilakukan yang dapat meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal sesuai dengan kondisi wilayah. (ditjenppi.menlhk.go.id)

Komponen utama proklim adalah adaptasi dan mitigasi dimana masing-masing komponen memiliki kegiatan sebagai berikut.
Adaptasi meliputi pengendalian kekeringan, banjir dan longsor. Peningkatan ketahanan pangan; penanganan atau antisipasi kenaikan muka laut, rob, ontrusi air laut, abrasi, ablasi atau erosi akibat angin, gelombang tinggi; pengendalian penyakit terkait Iklim.

Mitigasi meliputi pengelolaan sampah, limbah padat dan cair; penggunaan energi baru terbarukan dan konservasi energi; budidaya pertanian rendah emisi GRK; peningkatan tutupan vegetasi; pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

Begitu banyak sektor yang terlibat dalam program ini, sehingga dipastikan betapa besar dana yang dibutuhkan untuk menyukseskannya. Direktorat Jendral Pengendalian Perubahan Iklim, KLH menyatakan bahwa beberapa pendanaan berasal dari internasional sumber publik (bilateral, multilateral dan Lembaga keuangan intenasional), domestik yang berasal dari publik (APBN, APBD, belanja modal BUMN) dan pendanaan non publik (investasi swasta domestik dan luar negeri, CSR, dan dana swadaya masyarakat). (ditjenppi.menlhk.go.id)

Mengapa Isu perubahan iklim ini menjadi sangat penting dan genting? Karena hari ini kita memasuki dekade terakhir sebelum dunia “terlalu telat” untuk diselamatkan dari dampak krisis iklim yang semakin buruk, bencana alam massif, pemanasan global, rusaknya lapisan ozon, naiknya permukaan laut, punahnya flora dan fauna, bahkan manusia.

Dilansir dari UNFCCC, Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB, Patricia Espinosa menjelaskan cuaca ekstrem  telah menyebabkan kehilangan nyawa dan mata pencaharian yang menghancurkan. “Kita sedang menuju kenaikan suhu global 2,7 ºC, padahal harusnya menuju sasaran 1,5 ºC. Perubahan iklim memberikan dampak yang besar. Dilihat secara global, kerugian akibat perubahan iklim mencapai 18 miliar dolar AS per tahun terhadap sektor energi dan transportasi. Namun jika sektor konsumsi rumah tangga juga diperhitungkan, kerugian per tahun semakin membengkak menjadi 390 miliar dolar AS.

Deputy Country Director Asian Development Bank (ADB) untuk Indonesia, Said Zaidansyah dalam Webinar “Keluar dari Ekonomi Ekstraktif Menuju Hijau dan Inklusif” di kanal Greenpeace Indonesia (18/3/2021) menjelaskan, jika tidak dilakukan tindakan, lebih dari 143 juta orang harus melakukan relokasi di dalam negeri, 122 juta orang terancam miskin, ekonomi global menyusut 3% pada 2050, meningkatnya risiko banjir di 136 kota pantai, dan diproyeksikan hasil panen global akan berkurang 5% pada 2030 dan 30% pada 2080.

 LSalah Diagnosa 

Konferensi tingkat dunia terkait iklim tiap tahun diselenggarakan untuk mengantisipasi dan mengatasi dampak perubahan iklim yang seakan tak teratasi dan semakin kompleks. Momen terbaru adalah KTT PBB terkait perubahan iklim edisi ke 26 (COP26) yang digelar di Glasglow, Skotlandia, pada 31 Oktober hingga 12 November 2021. COP26, memiliki empat agenda penyempurnaan dari helatan edisi sebelumnya yaitu menekan laju pemanasan global yang disebabkan oleh perubahan iklim.

 Keempat agenda tersebut adalah: Pertama, menyetujui langkah perubahan komitmen pengurangan emisi. Kedua, memperkuat adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Ketiga, mengalirkan dana untuk aksi iklim. Negara-negara maju diminta memenuhi janji untuk memberikan setidaknya 100 miliar dollar Amerika Serikat (AS) per tahun, seperti dijanjikan pada 2020. Keempat, meningkatkan kerja sama untuk mengatasi tantangan krisis iklim.  

Selain program nasional Proklim, pemerintah juga memprogramkan pemberhentian pemakaian bahan bakar fosil (batu bara) dan beralih pada EBT, produksi bahan bakar nabati (bioenergy), REDD+ atau perdagangan karbon, komersialisasi jasa lingkungan, dan lain sebagainya.  Semua itu dengan asumsi akan mengurangi emisi CO2 dalam rangka mitigasi pemanasan suhu global. 

Faktor yang dituding sebagai penyebab utama krisis iklim adalah tingginya emisi karbon akibat penggunaan bahan bakar fosil besar-besaran. Di samping penyebab penyerta yaitu penggundulan hutan massal, produksi daging yang tinggi, kebijakan pertanian yang berbahaya, tingkat produksi dan konsumsi manusia yang berlebihan, aliran air yang terkontaminasi berbagai industri dan pabrik, dan berton-ton sampah plastik, pakaian, dan produk limbah lainnya. Oleh karena itu dalam COP 26 ratusan negara deklarasi penghentian pembangunan pembangkit listrik batu bara.

Jika benar faktor-faktor di atas adalah akar masalah krisis iklim, mengapa solusi yang disepakati negara-negara di dunia tersebut tak menunjukkan hasil yang signifikan dalam menahan laju perubahan iklim global?  Berbagai bentuk “climate catasthrope” masih terus terjadi, bahkan sekedar menekan peningkatan suhu bumi menjadi 1,5 ºC pun tidak mampu.  Bisa dikatakan asumsi mereka terhadap factor penyebab krisis iklim hanyalah gejala.  Ada penyebab mendasar yang tidak tersentuh dalam menyelesaikan krisis ini.

Menyelesaikan Masalah dengan Masalah

Kesalahan dalam memahami akar masalah pada akhirnya berdampak pada solusi yang salah juga.  Maksud hati menyelesaikan masalah ternyata justru menuai masalah. Kita ambil contoh, program pemberhentian pemakaian bahan bakar fosil (batu bara) dan diganti dengan EBT yang salah satunya adalah  bahan bakar nabati (bioenergy) atau biofuel pada faktanya menimbulkan masalah baru.

 Produksi biofuel yang berbasis sawit  telah mengakibatkan jutaan hektare hutan dan lahan gambut dimusnahkan. Berdampak juga pada kebakaran hutan dan lahan gambut jutaan hektare setiap tahun.  Program yang juga disebut “Investasi hijau” ini berdampak serius secara sosial karena telah meminggirkan ribuan petani dan komunitas lokal dari lahan pertanian, wilayah kelola, dan hutan. Selain penggunaannya berubah, banyak tanah beralih ke tangan korporasi padahal semula tanah-tanah ini dikuasai oleh rakyat, atau belum ada penguasaan sama sekali, ataupun masih berupa hutan perawan. 

Korporasi besar itu terus mengeruk keuntungan di atas penderitaan rakyat.  
Pada faktanya negara-negara maju yang mayoritas mengemban ideologi kapitalisme ini ingin mengatasi masalah yang diakibatkan oleh gaya hidup dan perilaku mereka dengan jerih payah negara-negara berkembang.  Lihat saja apa yang terjadi pada COP 26 di mana ratusan negara berkomitmen menghentikan pengguanaan batu bara. Inggris sendiri sebagai tuan rumah COP26 tidak mengonfirmasi apakah negara-negara tadi akan ikut dalam rencana penghentian penggunaan energi batu bara atau tidak. Juga tidak ada kesepakatan penghentian deforestrasi. (CNN, 4/11/2021)

Total jejak karbon dari satu persen orang-orang super kaya akan tumbuh, sementara 50 persen orang-orang termiskin tetap kecil, ungkap sebuah penelitian. Walaupun ada komitmen yang dibuat menjelang KTT COP26. banyak di antaranya memiliki banyak rumah, jet pribadi, dan superyacht  mengeluarkan emisi jauh lebih banyak daripada yang lain. Sebuah studi baru-baru ini yang melacak perjalanan udara para selebriti melalui akun media sosialnya menemukan sejumlah emisi lebih dari seribu ton setiap tahun. (Kompas, 8/11/2021)

Bagaimana program penanggulangan krisis iklim ini akan berhasil, jika perilaku kapitalis materialis ini terus berlanjut?  Negara-negara berkembang itu berlaku sebagai pencuci piring kotor, sementara negar-negara maju teru berpesta. Negara-negara penganut Sistem kapitalisme yang terobsesi pada profit (serakah) ini telah menciptakan pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan pada banyak negara. Demi mengamankan pendapatan dan keuntungan ekonomi, mengalahkan semua nilai kemanusiaan dan kebutuhan manusia Termasuk perlindungan lingkungan.

Walhasil, sesungguhnya akar penyebab krisis lingkungan adalah ideologi dan sistem kapitalisme yang materialistis dan mendominasi politik, ekonomi, dan sosial semua negara saat ini.

Sistem Islam Solusi Tuntas terhadap Krisis Iklim

Berpuluh-puluh tahun upaya meminimalisir krisis iklim dikerahkan dengan biaya tak terkira besarnya. Namun tidak membuahkan hasil berarti, karena sistem yang dijadikan pijakan kehidupan adalah kapitalisme sekuler.  Maka betapa naif orang-orang yang masih mempertahankannya.  Sudah saatnya kita sebagai kaum muslimin sadar dan kembali kepada aturan Allah Swt, Sang Khaliq Al-Mudabbir (Yang Maha Pengatur).  
Islam sebagai ideologi ilahiyah telah memberikan arahan dalam memperlakukan alam semesta. 

 Allah Swt telah menjadikan manusia sebagai khalifah fil Ardli. Kita diberi hak untuk memanfaatkan alam ini dengan tetap memperhatikan kelestariannya.  Ada beberapa konsep di antaranya, 

Pertama: “ihya’ al-mawat”,  artinya jangan sampai ada sejengkal tanah yang dibiarkan tak bermanfaat, atau tidak ditanami tumbuhan yang bisa memberikan manfaat. Rasulullah saw. bersabda,
“Seandainya besok datang hari kiamat, sedang di tangan kalian terdapat bijih kurma, sekiranya memungkinkan menanamnya sebelum kiamat itu benar-benar terjadi, maka lakukanlah” (HR. Abu Dawud). 

 Sehingga dalam Islam tanah mesti diberdayakan agar produktif. Sampai-sampai jika ada warga negara yang membiarkan tanahnya terbengkelai selama tiga tahun berturut-turut maka negara berhak mengambil alih. 

Kedua: “hadd al-kifayah”, adalah terkait pengaturan pola konsumsi manusia atas sumber daya alam berdasarkan standar kebutuhan yang layak. Dalam konteks ini, diperlukan peran pemerintah untuk menciptakan keadilan distributif terhadap akses pemanfaatan sumber daya alam. Sehingga, pemanfaatan terhadap alam bisa tetap terkendali dan tidak terjadi monopoli. Rasulullah saw. bersabda, 
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api". (HR. Abu Dawud dan Ahmad). 

Berdasarkan prinsip tersebut, kita tahu bahwa manusia memang berhak memanfaatkan alam. Namun tetap harus berpegang teguh pada prinsip pelestarian dan keadilan. 
Di sisi lain Islam memfasilitasi para ilmuwan untuk melakukan riset di berbagai cabang pengetahuan termasuk dalam hal penemuan-penemuan baru dan teknologi ramah lingkungan. Negara Islam  dengan sistem keuangannya akan mampu mengatasi masalah biayanya. Baitul maal yang memiliki sumber pemasukan dari banyak pintu, seperti zakat, jizyah, fai’, kharaj, ganimah, pemanfaatan SDA, dan lain-lain. Dengan demikian, para ilmuwan akan fokus melaksanakan penelitiannya dan berkonsentrasi agar dapat menyelamatkan umat manusia.

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS Al Araf: 96)

Wallahu a'lam bishawwab













Post a Comment

Previous Post Next Post