Kaleidoskop 2021 dan Regulasi Solusi Tuntas Kekerasan


Oleh Ummu Nadief
(Ibu Rumah Tangga) 

Tahun 2021 telah berakhir, namun isu  tentang kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak semakin tak terbendung. Tidak sedikit korban yang akhirnya berani untuk mengungkapkan kasusnya kepada publik. Berikut ini sederet kasus kekerasan seksual 
sepanjang 2021 yang telah dirangkum suara.com, 24/12/2021:

1. Guru cabuli 21 santri di pondok pesantren Bandung dengan rentang waktu dari tahun 2016 hingga tahun 2021. Kabarnya 21 santri tersebut telah melahirkan 9 anak.

2. Guru ngaji cabuli muridnya 12 tahun hingga tiga kali lakukan kebejatannya di Bekasi.

3. Pelecehan seksual yang sudah terjadi sepanjang 2012-2014 di lingkungan pegawai KPI baru viral September 2021.

4. Pelecehan di KRL yang direspon acuh oleh admin twitter. Pelecehan terjadi di dalam commuter link rute Jakarta-Cikarang pada Juni 2021. KAI hanya minta maaf.

5. Tiga anak diperkosa ayah kandung dari Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang terjadi pada tahun 2019 baru viral pada tahun 2021.

Termasuk kasus viral yang menimpa seorang penumpang taksi online dilecehkan disertai kekerasan akibat muntah di mobil saat menggunakan jasa taksi online (idntimes.com, 24/12/2021) dan masih banyak lagi kasus lainnya.

Sederet kasus tersebut hanyalah sebuah fenomena gunung es hanya nampak sedikit di permukaan. Namun bongkahan besarnya berada di bawah permukaan. Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dua kali lipat mencapai 4.500 kasus hingga September 2021 dibanding tahun 2020.

Melalui siaran pers, Jakarta, Senin, Andy mengatakan kriminalisasi masih terjadi terhadap penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual pada tahun 2021. "Peningkatan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan tidak dapat ditangani dengan baik karena tidak sebanding dengan kapasitas penanganan," kata Andy dilansir Antara, Senin, 13 Desember.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa hampir seribu korban mengalami kasus kekerasan seksual. Dan menurut sumber International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) pada September 2020 dari laporan kuantitatif barometer kesetaraan gender menunjukkan masalah kekerasan seksual di Indonesia berakhir tanpa kepastian.

Faktor yang menjadi penyebabnya adalah karena 57% korban kekerasan seksual mengaku kasus tersebut berakhir tanpa kepastian. Kondisi ini diperparah dengan adanya pengakuan dari 39,9% korban yang menyebutkan kasus kekerasan seksual terhenti karena diberikan sejumlah uang, lalu sebanyak 26,6% korban akhirnya menikah dengan pelaku. Penyelesaian masalah kekerasan seksual lainnya menggunakan jalur damai atau kekeluargaan yakni 23,8%, dan hanya 19,2% yang berhasil  mengawal kasus kekerasan seksual yang berakhir di penjara. 

Data, fakta dan realita yang terjadi sudah lebih dari cukup sebagai bukti jika tidak ada tempat yang aman bagi perempuan. Mirisnya kekerasan tersebut banyak dilakukan oleh orang terdekat, yakni tetangga, kerabat, kakak, suami, ayah, bahkan guru dan dosen. Seharusnya mereka semua melindungi dan mengayomi serta menjadi panutan, tetapi justru tega melakukan kejahatan seksual.

Semakin masifnya isu kekerasan seksual ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) menjadikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masuk dalam daftar Proyek Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 yang masih terus diupayakan untuk disahkan hingga saat ini.

Sekilas konteks RUU ini memang sangat relevan. Namun, jika ditelisik lebih dalam ada beberapa poin yang sangat tidak bisa dibenarkan baik dari segi dampak maupun konteks keagamaan. Kandungan sexual consent di dalamnya memuat pandangan keliru dan menjadi topik yang masih dipertanyakan. Terlepas bagaimana buruknya jika RUU ini disahkan, semuanya tidak lepas dari agenda kesetaraan gender yang direncanakan oleh pegiat gender.

Mereka memandang faktor budaya dan hukum agama menjadi penghambat bagi para wanita untuk mendapatkan posisi yang sejajar dengan laki-laki. Mereka menyoroti budaya patriarki menghambat wanita untuk berkiprah di publik. Sejatinya ide kesetaraan gender ini muncul ketika pada masa silam kapitalis Barat menjadikan perempuan di masyarakat hanya sebagai barang, objek eksploitasi laki-laki, pemuas syahwat semata serta tidak punya hak suara dan pendidikan, hak mengelola harta dan sebagainya. Melihat asal-usul agenda ini jelas bukanlah solusi tepat menyelesaikan permasalahan yang menimpa perempuan hari ini.

Fakta ini membuktikan regulasi sistem sekularisme tidak mampu menjadi solusi. Sekularisme makin merasuk dalam diri manusia, agama semakin dijauhkan dari kehidupan. Maka tidak heran manusia mudah berbuat kejahatan dan kemaksiatan, sehingga beratnya hukuman tidak mampu menumbuhkan rasa takut dan efek jera bagi pelakunya. Sebab sebagian kemaksiatan bisa menjadi legal di bawah payung hukum negara. 

Oleh karena itu selama sistem sekularisme menjadi cara pandang hidup manusia, selama itu pula kejahatan pada perempuan terus terjadi. Perempuan dan anak butuh sistem regulasi yang mampu memberikan perlindungan hakiki. Hanya regulasi yang berasaskan akidah Islam yang mampu mewujudkan perlindungan sejati.

Islam memiliki mekanisme solusi kasus kekerasan seksual, di antaranya:
1. Islam menerapkan sistem pergaulan yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan, baik ranah seksual maupun privat, kecuali beberapa aktivitas yang membutuhkan interaksi seperti pendidikan, perdagangan, kesehatan dan lainnya. Islam memerintahkan menutup aurat bagi setiap muslimah serta menutup segala sesuatu yang merangsang naluri seksual (gharizah an-nau).

2. Islam memiliki sistem kontrol sosial berupa perintah amar makruf nahi mungkar, saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi segala bentuk kemaksiatan dengan cara yang baik.

3. Islam memiliki sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Seperti sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya sudah menikah. Dijilid (dicambuk 100 kali) dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya belum menikah.

Semua bentuk hukum Islam ditegakkan sebagai penebus dosa pelaku kemaksiatan di akhirat yang disebut jawabir.  Serta pencegah orang lain melakukan pelanggaran serupa yang disebut zawajir. Inilah ciri khas sistem uqubat (sanksi) dalam aturan Islam yang hanya bisa dilakukan oleh khilafah sebagai institusi penerap hukum Islam kafah, bukan kelompok Islam personal. Dari ketiga mekanisme Islam ini insya Allah akan mampu melindungi dan menjaga kehormatan perempuan dan anak sebagaimana telah dibuktikan oleh peradaban Islam selama 1300 tahun lamanya.

Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post