Harga Komoditas Melejit, Rakyat Menjerit




Oleh Sri Purwanti
(Analis Mutiara Umat)

Seolah menjadi ritual tahunan, setiap akhir bukan Desember sampai awal Januari harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan drastis. Tahun ini 
harga cabai, telur, dan minyak goreng memecahkan rekor karena mengalami kenaikan berkali lipat. Tentu saja hal ini menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.

Bahkan peneliti Core Indonesia, Dwi Andreas mengatakan saat ini harga-harga komoditas tersebut telah melewati batas harga psikologis. Harga cabai di tingkat konsumen telah tembus Rp 100.000 per kilogram. Harga minyak goreng curah sudah lebih dari Rp 18.000 per kilogram dan harga telur yang mencapai Rp 30.000 per kilogram. (detik.com, 29/12/2921)

Meksipun kenaikan harga seolah sudah  menjadi ritual tahunan namun ternyata pemerintah tetap gagap dalam mengambil sikap. Hal ini menyebabkan kenaikan tidak terkendali. Mengapa semua ini bisa terjadi?

Kenaikan harga bahan pangan dipicu oleh beberapa faktor, stok pangan yang menurun karena faktor iklim dan cuaca, ketidakseimbangan antara stok barang dengan permintaan pasar, maupun kenakalan para spekulan maupun pihak yang ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya. Mereka tidak mempedulikan jerit rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhannya. 

Sungguh ironis, negeri yang terkenal gemah ripah loh jinawi ternyata rakyatnya kesulitan dalam memenuhi bahan pangan. Bagaimana ini bisa terjadi?

Tak bisa dipungkiri, sistem kapitalis yang diadopsi negeri ini menjadi akar dari segala permasalahan yang terjadi. Sistem yang menjadikan materi sebagai azasnya, menyebabkan pendistribusian bahan pangan terganggu, karena adanya privatisasi. Bahkan ada deregulasi bahan pangan dan hasil pertanian yang membuka pintu bagi swasta dan asing untuk menguasainya.
Tak ayal merekalah yang memiliki wewenang dalam penetapan harga bahan pangan.

Hukum ekonominya pun seolah mengikuti, jika permintaan naik maka otomatis harga barang akan ikut naik.  

Tak ayal kondisi ini semakin membuat masyarakat sengsara. Belum bangkit setelah dua tahun dihantam pandemi, ternyata sudah menerima kado pahit kenaikan bahan pangan.

Islam sebagai agama sekaligus ideologi tenyata memiliki seperangkat aturan terkait distribusi bahan pangan.
Dalam Islam distribusi pangan dilakukan dengan adil dan transparan. Tidak mengijinkan adanya manipulasi, penimbunan, maupun intervensi asing dalam menetapkan harga pangan.

Negara akan melakukan usaha supaya stok pangan tetap terjaga dan permintaan tetap stabil. Distribusi pangan pun dilakukan secara adil. Wilayah yang surplus bahan pangan akan mensubsidi wilayah yang kekurangan. Negara akan memastikan tidak terjadi penimbunan bahan pangan yang bisa menganggu stabilitas harga.

Pemerintah juga akan melakukan mitigasi bencana terkait kerawanan pangan yang disebabkan karena faktor alam. Memberikan mandat kepada para ahli untuk membuat analisa dan prediksi yang berkaitan dengan terjadinya cuaca ekstrem dan  perubahan iklim. 

Aturan Islam begitu sempurna didukung oleh negara yang menjalankan perannya dengan baik. Menjaga ketersediaan bahan pangan, menghilangkan hambatan dalam proses distribusi, maupun menjaga kestabilan harga.

Melihat fakta di atas bisa kita tarik benang merah, bahwa sistem kapitalis yang diterapkan saat ini tidak bisa memberikan kemaslahatan bagi masyarakat. Berbeda dengan sistem Islam yang terbukti mampu memberikan solusi atas semua permasalahan yang terjadi.

Pilihan ada di tangan kita akan tetap mempertahankan sistem yang ada, atau mencari sistem alternatif yang telah terbukti mampu memberikan solusi atas semua permasalahan yang terjadi.

Wallahu a'lam bishawwab



Post a Comment

Previous Post Next Post