Oleh: Apriliana (Mahasiswi, Komunitas
Annisaa Ganesha)
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
menjelaskan latar belakang Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan
dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi karena
banyaknya kritikan terhadap Permen ini, termasuk dari Partai Keadilan Sejahtera
(PKS). PKS tidak setuju mengenai definisi kekerasan seksual yang ada dalam
Permen PPKS tersebut. PKS juga tidak menyetujui aspek consent atau konsensual (persetujuan) yang menjadi syarat
aktivitas seksual. PKS menilai Permen
PPKS ini tidak mempunyai cantolan hukum. Menanggapi hal tersebut, Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Nizam menjelaskan bahwa
Permendikbudristek PPKS tersebut mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur
secara spesifik sehingga menyebabkan kasus kekerasan seksual di perguruan
tinggi selama ini tidak tertangani sebagaimana mestinya (DetikNews). Menurut Anang Ristanto selaku Plt Kepala Biro Kerja Sama
dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek, kerugian fisik dan mental bagi
korban kekerasan seksual menjadikan penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi
tidak optimal dan menurunkan kualitas pendidikan tinggi. Sudah sepatutnya
kekerasan seksual tidak terjadi, apalagi di lingkungan pendidikan. Karenanya,
sudah menjadi kewenangan Kemdikbudristek untuk mengatur setidaknya sanksi
administratif terhadap pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi
(Republika.id). Di sisi lain, Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menanggapi polemik terkait
Permendikbudristek tersebut. MUI menilai frasa 'tanpa persetujuan korban'
bertentangan dengan syariat islam (Medcom.id).
Arti konsensual atau consent ini menganggap bahwa batasan
aktivitas seksual yang salah adalah apabila aktivitas seksual tersebut tidak
disertai dengan persetujuan pelaku. Dengan kata lain, semua aktivitas seksual
menjadi legal selama pelakunya ‘suka sama suka’ dan setuju untuk melakukan hal
tersebut. Padahal faktanya banyak kasus kejahatan seksual yang terjadi di
lapangan berupa aktivitas yang telah melibatkan persetujuan dari pelaku namun
bertentangan dengan syariat Islam. Misalnya, aktivitas perzinahan atas dasar
suka sama suka, persetujuan untuk membuat konten video porno, berhubungan
sesama jenis atas dasar suka sama suka, dll. Perbuatan-perbuatan tersebut tetap
menjadi salah satu penyebab utama maraknya tindak kekerasan terhadap perempuan
maupun anak-anak meskipun dibangun dengan landasan consent. Permen PPKS ini mengabaikan syariat Islam dan justru dapat
menjadi pintu untuk legalisasi zina di institusi perguruan tinggi. Dalam Islam,
kebijakan-kebijakan di institusi pendidikan seperti perguruan tinggi seharusnya
dibangun dengan tujuan pendalaman kepribadian Islam sehingga melahirkan insan
pembuat perbaikan yang taat kepada Allah. Kebijakan yang ada seharusnya tidak
menyempurnakan liberalisasi seksual yang sudah mengepung pemuda dari berbagai
arah. Bagaimana mungkin institusi perguruan tinggi justru secara tidak langsung
melegalkan perzinahan dengan dalih konsensual?
“Apabila perzinaan dan riba telah
melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab
Allah atas mereka sendiri.”
(HR Thabrani dan Al Hakim)
Referensi
https://news.detik.com/berita/d-5799835/kemendikbud-jawab-kritik-pks-soal-permen-antikekerasan-seksual-di-kampus
https://republika.co.id/berita/r21v9o320/pemerintah-respons-kritikan-majelis-ormas-islam
https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/nN949J9K-permendikbud-ppks-mui-frasa-tanpa-persetujuan-korban-bertentangan-dengan-syariat-islam
Post a Comment