Menyikapi Hasil Ijtima Ulama Terkait Khilafah


Oleh Neneng Sriwidianti
Ibu Rumah Tangga dan Pejuang Literasi

Khilafah senantiasa menjadi perbincangan yang menarik saat ini. Mulai masyarakat akar  rumput sampai Istana, semua terpesona dengan keagungannya. Ada pihak yang pro dan ada pula yang kontra. Seperti yang digelar baru-baru ini, yaitu  diskusi tentang khilafah dalam forum ke VII Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). (Republika.co.id, 11/11/2021)

Salah satu hasil ijtima tersebut adalah agar masyarakat dan pemerintah tidak memberikan stigma negatif terhadap makna khilafah. Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh, menyebutkan pada dasarnya sistem kepemimpinan dalam Islam bersifat dinamis, sesuai dengan kesepakatan dan pertimbangan kemaslahatan yang ditujukan untuk kepentingan menjaga keluhuran agama dan mengatur urusan dunia.

Ada beberapa poin yang beliau tekankan:

Pertama, dalam sejarah peradaban Islam, terdapat berbagai model atau sistem kenegaraan dan pemerintahan serta mekanisme suksesi kepemimpinan yang semuanya sah secara syar'i.

Kedua, khilafah bukan satu-satunya model atau sistem kepemimpinan yang diakui dan dipraktikan dalam Islam. Dalam dunia Islam terdapat beberapa model atau sistem pemerintahan seperti monarki, keemiran, kesultanan, dan republik.

Ketiga, bahwa MUI, menggunakan manhaj wasathiyah (berkeadilan dan berkeseimbangan) dalam memahami khilafah.

Pertanyaannya, benarkah sistem kepemimpinan dalam Islam bersifat dinamis? Benarkah dalam sejarah peradaban Islam pernah diterapkan sistem pemerintahan lain selain khilafah? Bagaimana umat Islam menyikapinya?

Dari hasil ijtima ulama tersebut, bisa diambil kesimpulan, bahwa khilafah adalah ajaran Islam. Tetapi, MUI menggunakan pendekatan manhaj wasathiyah (berkeadilan dan berkeseimbangan).
Oleh karena itu, MUI menolak pandangan yang sengaja mengaburkan  makna khilafah, yang mengatakan bahwa khilafah bukan bagian dari Islam. Selanjutnya, di dalam hasil ijtima tersebut dijelaskan bahwa MUI menolak khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang artinya mengakui/membenarkan sistem pemerintahan selain khilafah.

Kenapa sikap MUI itu terkesan ambigu, plin-plan? Inilah, akibatnya ketika negara menerapkan hukum kapitalisme sekuler, yaitu adanya pemisahan agama dari kehidupan. Negara telah menolak aturan Allah Swt. dalam urusan bernegara. Dengan paham wasathiyah (moderat) yang diaruskan secara masif, penguasa berusaha untuk memalingkan akidah umat dari ajaran Islam yang hakiki. Tidak menolak khilafah sebagai ajaran Islam, tetapi sistem pemerintahan warisan Rasulullah saw. tersebut, jangan diterapkan dalam kehidupan bernegara saat ini. Sungguh ironis.

Satu sisi, hasil ijtima ulama terkait khilafah patut kita apresiasi, alhamdulillah masih ada ulama hanif yang ikhlas yang masih berjuang untuk menegakkan kembali khilafah sebagai kewajiban bagi kaum muslimin. Di sisi yang lain, umat tidak boleh menerima begitu saja. Umat harus meluruskan, terutama poin yang membenarkan sistem pemerintahan selain Islam. Karena pendapat tersebut bertentangan dengan hukum syara.

Untuk menjawab, benarkah sistem pemerintahan dalam Islam bersifat dinamis? Sejak Rasulullah saw. hijrah dari Mekah ke Madinah dan mendirikan Daulah Islamiyah di sana hingga runtuhnya Khilafah Utsmaniyah tahun 1924 di Turki, sistem pemerintahan yang ada di dunia Islam adalah khilafah.

Selama 13 abad (1.300 tahun), khilafah menjadi sebuah peradaban Agung yang tidak ada tandingannya. Telah berhasil menyatukan 2/3 dunia berada dalam naungannya. Fakta sejarah yang tidak terbantahkan. Bahkan, Indonesia dulunya merupakan bagian dari khilafah, banyak rujukan yang telah membuktikannya. Sedangkan sistem pemerintahan selain khilafah keberadaannya di dunia Islam belum genap satu abad, itu pun sudah berada di ambang kehancuran.

Dalil Syara Tentang Khilafah

Hal penting yang wajib dipahami adalah bahwa khilafah adalah sistem pemerintahan yang syar'i berdasarkan dalil-dalil syara.

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi khalifah ..." (TQS. Al-Baqarah [2]: 30)

"Akan ada era kenabian di tengah-tengah kalian, atas kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian Dia mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti metode kenabian." (HR. Ahmad)

Para sahabat nabi saw. pun bersepakat tentang wajibnya khilafah. Mereka menjadikan kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah sebagai kewajiban yang paling penting. Terbukti, selama tiga hari dengan malam-malamnya menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban mengurus jenazah Rasulullah saw.

Dalil-dalil syara dan masih banyak yang lainnya menunjukkan bahwa khilafah adalah sistem pemerintahan yang syar'i. Para imam mazhab (yang empat) telah sepakat bahwa Imamah (khalifah) adalah wajib. (Al-Jaziri, Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba' ah, 5/416). Sebaliknya, sistem pemerintahan yang dipraktikkan di dunia Islam saat ini, tidak memiliki dasar dalil syara sama sekali.

Oleh karena itu, sikap yang harus diambil oleh kaum muslimin terhadap hasil ijtima ulama terkait khilafah adalah sebagai berikut:

Pertama, tidak berdiam diri terhadap berbagai kemungkaran, kemaksiatan, dan penyesatan terhadap pemikiran, akidah, dan hukum-hukum Islam atas nama moderasi Islam.

Kedua, bersuara lantang dalam menjelaskan seluruh syariat Islam tanpa pilah dan pilih, termasuk menjelaskan khilafah adalah ajaran Islam yang wajib ditegakkan. Umat jangan takut untuk mendakwahkannya.

Ketiga, istiqamah dan sabar dalam memperjuangkan tegaknya Islam kafah dalam naungan khilafah Islamiyah ala minhaj annubuwah.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post