Layanan Kesehatan dalam Bingkai Khilafah


Oleh : Yeyet Mulyati
Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah


Pemerintah telah menetapkan harga tes PCR Rp 275 ribu untuk pulau Jawa-Bali dan Rp 300 ribu untuk di luar wilayah itu. Namun, sejumlah pihak ingin tarif tersebut diturunkan lagi dengan cara disubsidi.

Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi, menegaskan layanan tes PCR tak perlu subsidi. Dia menyebut bahwa harga tes PCR sudah murah.
“Harganya sudah murah dan tidak perlu subsidi ya, bahkan banyak penerbangan yang sudah bundling dengan harga tes PCR dan harganya juga sudah sangat murah,” jelas Siti Nadia saat dihubungi Kumparan, Minggu (14/11).

Usulan subsidi untuk tes PCR juga datang dari Wakil Ketua DPR RI Emanuel Melkiades Laka. Dia mengatakan biaya subsidi untuk tes PCR bisa dialokasikan dari anggaran Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN). Pada mulanya, tes PCR digunakan untuk mendiagnosis penyakit Covid-19, yaitu dengan mendeteksi material genetik virus Corona, lebih akurat dibandingkan tes swab antigen. Namun di balik peraturan tersebut, terdapat oknum yang menjadikan tes PCR sebagai ladang bisnis di tengah pandemi.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, membeberkan selama ini ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) tes PCR di lapangan banyak diakali oleh penyedia sehingga harganya naik berkali lipat. "HET PCR di lapangan banyak diakali oleh provider (penyedia) dengan istilah 'PCR Ekspress', yang harganya tiga kali lipat dibanding PCR yang normal. Ini karena PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1x24 jam," tutur Tulus dilansir dari Antara, Minggu (24/10/2021).

Kasus di atas adalah sebagian kecil kasus yang dapat terlihat dari sekian kasus yang ada. Di mana para pengusaha yang bergerak di bidang kesehatan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan hanya untuk meraih kepentingan pribadinya. Dan itu hanya pada salah satu bidang saja yaitu bidang kesehatan, apalagi kalau kita mau mengadakan penelitian terutama di sektor-sektor publik, pasti akan banyak terungkap kelicikan para pengusaha yang bekerjasama dengan penguasa dalam memanfaatkan situasi dan kondisi untuk memeras rakyat. Kondisi seperti ini wajar dan sering terjadi dalam sistem pemerintahan yang kapitalistik, di mana yang menjadi asas dan dasar dalam perbuatannya adalah asas manfaat.

Kondisinya akan berbanding terbalik jika yang dipakai sistem berbangsa dan bernegara dengan adalah sistem Khilafah, di mana yang menjadi asasnya adalah syariat Islam. Bagaimana Khilafah akan memberikan layanan kesehatan bagi warganya? Dalam tulisan ini akan dikupas tuntas sehingga dapat terlihat perbedaan yang sangat mencolok di antara dua sistem pemerintahan tersebut.

Islam menetapkan paradigma pemenuhan kesehatan ini sebagai sebuah jaminan. Khilafah akan mengadakan layanan kesehatan, sarana dan prasarana pendukung dengan visi melayani kebutuhan rakyat secara menyeluruh tanpa diskriminasi, kaya dan miskin, penduduk kota ataupun desa. Semuanya mendapat layanan dengan kualitas yang sama. Negara berfungsi sebagai pelayan rakyat. Negara tidak menjual layanan kesehatan kepada rakyatnya. Negara tidak boleh mengkomersilkan hak publik sekalipun ia orang yang mampu membayar. Hal ini karena Negara hanya diberi kewenangan dan tanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara.

Mengutip dari buku Menggagas Kesehatan Islam yang ditulis oleh KH. Hafidz Abdurrahman, MA., dkk, perhatian Khilafah di bidang kesehatan tidak hanya terbatas di kota-kota besar, bahkan di seluruh wilayah Islam, hingga sampai ke pelosok, bahkan di dalam penjara-penjara sekalipun. Pada era itu, sudah ada kebijakan Khilafah dengan rumah sakit keliling. Rumah sakit seperti ini masuk dari desa ke desa. Perlu dicatat di sini, Khilafah saat itu benar-benar memberikan perhatian di bidang kesehatan dengan layanan nomor satu, tanpa membedakan lingkungan, strata sosial dan tingkat ekonomi.

Para Khalifah dan penguasa kaum Muslim di masa lalu, bukan hanya mengandalkan anggaran negara. Karena mereka juga ingin mendapatkan pahala yang mengalir, maka mereka pun mewakafkan sebagian besar harta mereka untuk membiayai rumah-rumah sakit, perawatan dan pengobatan pasiennya. Sebagai contoh, Saifuddin Qalawun (673 H/1284 M), salah seorang penguasa di zaman Abbasiyah, mewakafkan hartanya untuk memenuhi biaya tahunan rumah sakit yang didirikan di Kairo, yaitu rumah sakit al-Manshuri al-Kabir. Dari wakaf ini pula gaji karyawan rumah sakit dibayar. Bahkan ada petugas yang secara khusus ditugaskan untuk berkeliling di rumah sakit setiap hari. Tujuannya untuk memberikan motivasi kepada para pasien, dengan suara lirih yang bisa didengarkan oleh pasien, meski tidak melihat orangnya. Bahkan, al-Manshur al-Muwahhidi, mengkhususkan hari Jumat, seusai menunaikan shalat Jumat, untuk mengunjungi rumah sakit, khusus memberikan motivasi kepada pasien.
Di antara motivasi para penguasa kaum Muslim kepada pasien yang terkenal adalah ungkapan Wazir Ali al-Jarrah, “Mushibatun qad wajaba ajruha khairun min ni’matin la yu’adda syukruha (Musibah yang pahalanya sudah ditetapkan lebih baik ketimbang nikmat yang syukurnya tidak ditunaikan).”

Institusi Khilafah yang dipimpin Khalifah adalah penanggung jawab layanan publik. Khilafah wajib menyediakan sarana kesehatan, rumah sakit, obat-obatan, tenaga medis, dan sebagainya secara mandiri. Itu adalah tanggung jawabnya.  Rasulullah Saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR al-Bukhari)
 
Rasulullah Saw. dan para Khalifah telah melaksanakan sendiri layanan kesehatan. Rasulullah Saw. (sebagai kepala Negara Madinah) pernah mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Bahkan ketika Rasulullah Saw. mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis, dokter tersebut beliau jadikan sebagai dokter umum bagi masyarakat (HR Muslim).

Anas ra. menuturkan bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah Saw. selaku kepala negara lalu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR. al-Bukhari dan Muslim). Adapun Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah memanggil dokter untuk mengobati Aslam secara gratis (HR al-Hakim). 

Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan wajib dilakukan negara dan bukan yang lain. Negara harus mandiri dan tidak bersandar maupun bekerjasama dengan pihak lain (swasta).

Pada masa penerapan Islam sebagai aturan kehidupan bernegara, hampir setiap daerah terdapat tenaga medis yang mumpuni. Negara tentu sangat memperhatikan penempatan tenaga ahli kesehatan di setiap daerah. Islam tidak membatasi kebolehan pasien menginap selama sakitnya belum sembuh tanpa dipungut biaya apapun.
Pengadaan layanan, sarana dan prasarana kesehatan tersebut wajib senantiasa diupayakan oleh negara bagi seluruh rakyatnya. Pasalnya, jika pengadaan layanan kesehatan itu tidak ada maka akan dapat mengakibatkan bahaya (dharar), yang dapat mengancam jiwa rakyatnya. Menghilangkan bahaya yang dapat mengancam rakyat itu jelas merupakan tanggung jawab Negara. Rasulullah Saw. bersabda :

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ

"Tidak boleh menimbulkan madarat (bahaya) bagi diri sendiri maupun madarat (bahaya) bagi orang lain di dalam Islam." (HR Ibnu Majah dan Ahmad)
 
Mereka yang masuk kategori fakir maupun yang kaya tetap berhak mendapat layanan kesehatan secara sama, sesuai dengan kebutuhan medisnya. Sebabnya, layanan kesehatan tersebut telah dipandang oleh Islam sebagai kebutuhan dasar (primer) bagi seluruh rakyatnya.
Dengan demikian negara wajib senantiasa mengalokasikan anggaran belanjanya untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Negara tidak boleh melalaikan kewajibannya tersebut. Negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain, baik kepada pihak swasta maupun kepada rakyatnya sendiri. Jika hal itu terjadi, maka pemerintahnya akan berdosa dan akan dimintai pertanggungjawaban secara langsung oleh Allah Swt. Rasulullah Saw. bersabda :

فَاْلأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR al-Bukhari dan Muslim)
 
Namun, hal ini tak berarti bahwa jasa dokter swasta atau membeli obat dari apotek swasta hukumnya haram. Pasalnya, yang diperoleh secara gratis adalah layanan kesehatan dari negara. Adapun jika layanan kesehatan itu dari swasta (bukan pemerintah), misalnya dari dokter praktik swasta atau membeli obat dari apotik umum (bukan apotek pemerintah), maka hukumnya tetap boleh membayar jasa dokter atau membeli obat dari apotek swasta tersebut. Hal ini didasarkan pada dalil umum kebolehan berobat dengan membayar dan dalil umum kebolehan jual-beli (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, 2/143).

Begitu totalitas pelayanan kesehatan yang ditawarkan jika aturan pemerintahannya disandarkan pada syariat Islam. Masihkah ragu pada Khilafah??

Wallahu a’lam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post