Salah Kaprah Kesetaraan Gender


Oleh  Dwi Sri Utari, S.Pd.
(Guru dan Aktivis Politik Islam)


Pemerintah Kabupaten Bandung diganjar Anugerah Parahita Ekapraya Tahun 2020, Kategori Pratama, dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) RI. Penganugerahan tersebut diberikan lantaran Pemkab Bandung dinilai baik dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender. Dilansir dari Gala Jabar.com pada Kamis, 14 Oktober 2021, Dengan diraihnya APE, Bupati Bandung menuturkan, akan menjadi motivasi pihaknya untuk terus berkomitmen serta menyusun strategi dalam meningkatkan Pengarus Utamaan Gender (PUG). Sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2021-2026, Indeks Pembangunan Gender (IPG) merupakan salah satu Indikator Kinerja Utama (IKU) Pemkab Bandung. Pertanyaannya, benarkah mewujudkan kesetaraan gender layak mendapatkan penghargaan dan penilaian baik? Padahal kajian kritis terhadap akar ide kesetaraan gender mengungkapkan absurdnya ide gender. 

Ide kesetaraan gender sebenarnya berangkat dari fakta diskriminatif yang menimpa kaum perempuan. Setelah Revolusi Amerika pada tahun 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapat pendidikan, berpolitik, serta hak atas memiliki pekerjaan. Karena itu, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki di hadapan hukum. Pada tahun 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middleburg, sebuah kota di selatan Belanda. Ide kesetaraan gender ini diusung oleh gerakan feminisme. Sedangkan feminisme sendiri dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier, pada tahun 1837 yang berpusat di Eropa dan berkembang di Amerika.  
Apabila melakukan pengkajian terhadap ide gender itu sendiri akan menemukan bahwa konsep ini memandang manusia terdiri dari pria dan wanita dengan perbedaan alami hanya terletak pada faktor biologis/fisik semata yaitu hanya terletak pada organ reproduksinya. Diluar itu, pembagian peran seperti menyusui, mengasuh anak, menjadi pengatur rumah tangga adalah bentukan budaya. Itulah sebabnya, dalam menyifati perbedaan pria dan wanita, dikenal konsep seks (perbedaan alat reproduksi) dan gender (selain faktor reproduksi yang dianggap bentukan budaya). Budaya pulalah yang dianggap membentuk wanita menjadi feminin dan pria menjadi maskulin.

Menurut konsep gender, hanya sifat maskulin yang mampu menjawab tantangan alam, dan hanya sifat maskulin pula yang dapat bertahan dan berkembang di ruang publik. Inilah yang menyebabkan sifat feminin mejadi tersisih ketika berkompetisi di ruang publik. Bagi kalangan feminis, keadilan tidak akan tercapai selama sifat maskulin mendominasi ruang publik dan menyisihkan sifat feminim. Sehingga solusi untuk mencapai kesetaraan gender adalah dengan meraih sifat maskulin hingga terjadi keseragaman sifat pria dan wanita yang dapat dilakukan dengan cara antara lain memberi perlakuan yang sama kepada individu dan menghilangkan faktor-faktor (khususnya agama dan budaya) di masyarakat yang mendukung terjadinya ketidaksetaraan. 

Sesungguhnya konsep gender ini telah gagal dalam memandang manusia, tampak pada penolakan mereka terhadap naluri manusia. Padahal keadaan biologis manusia dapat mempengaruhi perilaku manusia. Pada faktanya, pria dan wanita memiliki perbedaan fisik. Rata-rata pria memiliki otot yang lebih besar daripada wanita. Rata-rata wanita memiliki tulang pelvik yang lebih besar daripada pria dan ini sangat mendukung proses kehamilan dan kelahiran. Pria dan wanita juga memiliki hormon yang berbeda. Hormon-hormon pada wanita yang terbentuk pada saat menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui berpengaruh pada kondisi sifat feminin wanita dimana sangat dibutuhkan oleh bayi yang tidak berdaya. Tanpa ada figur feminin yang mengasuhnya, kelangsungan hidup manusia tidak dapat berjalan secara sehat. 

Secara historis ide kesetaraan gender berasal dari budaya Barat yang bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran yang diadopsi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Merujuk firman Allah Swt. pada QS an-Nisa ayat 32 dan 34 yang intinya menegaskan bahwa Allah menjadikan masing-masing kelompok (pria dan wanita) dengan bagiannya sesuai dengan ketentuan irodah (kehendak) dan hikmahnya. Kaum pria ditetapkan oleh Allah Swt. sebagai qawwam (mengurus dan mengontrol) perempuan. Penetapan status tersebut diikuti dengan alasan karena kelebihan yang Allah berikan kepada pria. 

Disisi lain dibalik ide kesetaraan gender sesungguhnya tersimpan bahaya besar bagi eksistensi keluarga dan masyarakat. Apabila dicermati ide kesetaraan gender lebih diarahkan pada pemberdayaan perempuan yang ditekankan pada kemandirian dan kebebasan kaum perempuan. Di bidang ekonomi perempuan didorong untuk mandiri dalam finansial. Selanjutnya, perempuan yang telah mandiri secara finansial tidak perlu bergantung kepada laki-laki (suami). Jika perempuan telah telah berperan dalam finansial keluarga, maka peran domestik tidak lagi bertumpu pada kaum perempuan. Harus ada pembagian kerja dalam tugas-tugas domestik (rumah tangga). Sebagaimana jasa perempuan mengambil alih peran publik (mencari nafkah keluarga). Peran keibuan tidak lagi menjadi tanggungjawab perempuan. Kaum laki-laki pun harus berperan dalam dalam tanggungjawab pengasuhan anak dan pengelolaan rumah tangga. 

Namun akhirnya, tidak ada satupun pria maupun wanita yang mengambil peran utama dalam rumah tangga, karena keduanya bersaing keras di sektor publik. Pada titik ini, kehancuran institusi keluarga akan semakin jelas. Peran kepemimpinan yang dibebankan kepada kaum laki-laki akan melemah, karena kaum perempuan pun menuntut kepemimpinan tersebut, apalagi jika gaji kaum perempuan lebih tinggi. Peran keibuan dan pengelola rumah tangga akan terabaikan. Padahal peran ini adalah peran utama dan pertama dalam melahirkan generasi berkualitas. 

Sehingga diduga kuat ide kesetaraan gender ini akan menghancurkan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat, sekaligus menghapuskan peran keibuan yang menjadi tulang punggung lahirnya generasi berkualitas prima. Di negara-negara pelopor kebebasan perempuan seperti Amerika, single parent banyak menjadi pilihan para perempuan yang berkarir. Pernikahan tidak lagi penting. Seks bebas menjadi solusi hak reproduksi perempuan. Walhasil jelaslah bahwa pemberian penghargaan dan penilaian baik pada ide kesetaraan gender adalah salah kaprah, sebab merupakan ide yang absurd dan bahaya.
 Wallahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post