Pluralisme Merusak Akidah dan Timbulkan Perpecahan



Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam Akademi Menulis Kreatif


Pangkostrad Letnan Jenderal Dudung Abdurachman, kembali membuat sensasi. Belum lama melakukan operasi penurunan baliho Habib Rizieq Syihab di markas Front Pembela Islam (FPI), Pertamburan, Jakarta. Kini, Letjen Dudung mengeluarkan seruan pluralisme artinya semua agama sama benar. Wajar jika menuai pertentangan dari semua agama menolak pluralisme.

Seruan Letjen TNI Dudung Abdurachman soal "Semua agama sama," pada saat berkunjung di Batalyon Zipur 9 Kostrad, Ujungberung, Bandung, Jawa Barat, (13/9/2021). Kepada prajuritnya mengatakan, "Bijaklah dalam bermain media sosial sesuai dengan aturan yang berlaku bagi prajurit bahwa semua agama sama benar." Kemudian meminta agar prajuritnya menghindari sikap fanatisme yang berlebihan terhadap agama. Sebab, menurutnya semua agama sama di mata Tuhan Yang Maha Esa. Dikutip detik.com (14/9/20-21)

Seruan Dudung menimbulkan polemik di masyarakat, ada yang pro dan kontra. Di antaranya yang pro adalah Menag Yaqut Chalil Qoumas. Beliau sependapat dengan pernyataan Dudung, "Semua yang berlebihan tidak baik, sikap fanatik terhadap agama seharusnya untuk diri sendiri. Ia percaya seseorang akan tetap teguh memegang keyakinannya dan lembut terhadap orang lain." Kata Yaqut kepada CNNIndonesia.com, (14/9/2021)

Mengingat rekam jejak Yaqut semasa menjabat Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, sungguh miris. Benar, apa yang dikatakan Yaqut sesuai dengan perbuatannya. Bersikap lembut terhadap orang lain (agama lain), bahkan sampai menjaga dan beribadah di dalam gereja. Ironisnya, malah memusuhi saudara seakidah dengan membubarkan pengajian, bersikap arogan, kejam, dan di luar konstitusi.

Tentu saja hal ini mendapat respon keras dari Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Muhyidin Junaidi. Beliau meminta Dudung minta maaf ke publik karena telah menimbulkan kegaduhan dan kebingungan di kalangan masyarakat. Selain itu berhubungan dengan fatwa MUI No 7/2005 tentang paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme hukumnya haram.

Lebih lanjut Kiai Muhyiddin melalui keterangan tertulisnya menyebutkan, "Pernyataan tentang semua agama adalah benar itu sesat dan menyesatkan. Menteri Agama dan Dudung harusnya bisa membedakan antara pluralitas dan pluralisme."

Pluralitas (keberagaman) merupakan sunatullah dan anugerah Allah. Suatu keniscayaan, Allah Swt. menciptakan makhluk yang beraneka ragam termasuk penciptaan manusia. Lihat (QS. al-Hujurat [49]: 13), Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal ...."
Ayat tersebut bermakna menjelaskan prinsip dasar hubungan manusia yang tidak ditentukan oleh agama, bangsa, suku, warna kulit, dan jenis kelamin. Tujuannya agar saling mengenal sehingga bisa memberikan manfaat pada sesama manusia. Misalnya tolong-menolong (taawwun) dan saling bekerja sama dalam membangun kebaikan.

Hal tersebut berbeda dengan pluralisme, yakni paham yang menganggap semua agama sama benar. 
Jika menelisik perkembangan agama di negeri ini, pemikiran pluralisme sesungguhnya sudah sejak lama dipropagandakan oleh agen liberalisme (paham kebebasan) dan sekularisme, yakni paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Secara konsep sekularisme, pluralisme, dan liberalisme mengarah pada satu titik yakni ide untuk menyerang Islam. Menjauhkan umat Islam dari agamanya, untuk menghadang kebangkitannya.

Pada faktanya pluralisme yang menyerukan semua agama sama bertabrakan dengan prinsip semua agama yang ada. Tidak ada satu pun agama yang menerima jika disamakan dengan agama lain. Sebab, masing-masing agama meyakini akan kebenaran agamanya dan punya konsep hingga cara beribadah. Artinya, semua agama menolak pluralisme. Contohnya agama Katolik, pada (28/01/2000), Paus Yohanes Paulus II membuat pernyataan, "Ajaran Jesus Kristus adalah sudah tetap dan komplit)." Ini membuktikan agama Katolik merasa paling benar. Begitu juga dengan agama lainnya, wajar jika menolak pluralisme.

Ironisnya, para pengusung pluralisme selalu mengarahkan opini tuduhan negatif pada umat Islam, bukan pada umat beragama lain. Padahal masing-masing agama punya penganut yang fanatik (taat pada agamanya). Namun, khusus umat Islam yang taat pada agama dan syariatnya, akan dicap sebagai radikal, ekstremis, intoleransi, dan lainnya. 

Kelompok Islam yang memperjuangkan ajarannya untuk menegakkan syariat dan khilafah tidak diberi ruang, justru dipaksa untuk meninggalkan ajarannya. Jika tidak mau, akan dipersekusi dan dikriminalisasi dituduh melanggar konstitusi. Sesungguhnya siapa yang tidak toleran? Pengusung sekularisme, pluralisme, liberalisme inilah yang menyebabkan perpecahan umat Islam karena diadu domba, difitnah, dan dibentur-benturkan. Caranya, dengan melabeli sebutan Islam moderat, Islam tradisional, Islam radikal, dan lainnya.

Sejatinya seorang muslim yang menyerukan pluralisme sama artinya sudah mencampakkan Al-Qur'an. Lebih dari itu, sangat membahayakan akidah umat Islam. Sebab, umat Islam wajib mengimani firman Allah Swt. "Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah Swt. hanyalah Islam." (QS. Ali Imran [3]: 19). Sementara agama selain Islam tidak benar dan tidak diterima oleh Allah Swt." (Lihat: QS. Ali Imran [3]: 85).

Toleransi Menurut Islam

Terkait dengan toleransi, syariat Islam  dengan tegas mengaturnya antara lain:
Pertama, Islam tidak akan pernah mengakui dan meyakini kebenaran agama lain, kecuali hanya Islam.
Sebab, jika mengakui agama atau paham lain, apakah sebagian atau keseluruhan maka dihukumi kafir. Jadi, tidak ada toleransi dalam masalah akidah ini.

Kedua, tidak ada toleransi dengan perkara yang telah ditetapkan oleh dalil qath'i baik akidah dan syariah. Misalnya meyakini nabi dan rasul baru setelah wafatnya Nabi saw.

Ketiga, Islam tidak melarang kaum muslim berinteraksi dengan orang-orang kafir dalam urusan mubah seperti, jual beli, kerjasama bisnis, dan lainnya. Islam melarang interaksi dengan orang kafir, jika ada ketentuan larangan oleh syariah. Seperti menikahi wanita musyrik (kecuali ahlul kitab), menikahkan muslimah dengan orang kafir, mengucapkan selamat hari raya agama lain, berdoa lintas agama, dan lainnya. Ketentuan tersebut tidak bisa diubah dengan dalih toleransi.

Keempat, orang kafir yang hidup di Negara Islam dan tunduk pada kekuasaan (kafir dzimmi)), diperlakukan sama dengan warga muslim. Harta dan jiwa mereka dilindungi. Adapun terhadap kafir harbi (kafir yang memusuhi Islam), hubungan dengan mereka adalah hubungan perang. Jadi, seorang muslim dilarang berinteraksi dalam bentuk apapun, kecuali yang digariskan syariat.

Kelima, "Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam ...," (QS. al-Baqarah [2]: 256). Sikap toleransi yang dimaksud tidak dimaknai mencampuradukkan urusan agama. Islam memberikan batasan yang tegas antara kebenaran dan kebatilan, antara keimanan dan kekufuran, dan antara yang makruf dan mungkar. Tidak ada jalan tengah (moderat) seperti Islam Nusantara. Untuk menjaga toleransi nonmuslim diberi kebebasan beragama  dan menjalankan sesuai dengan agama dan keyakinannya.

Salah satu bukti empiris, yakni sikap toleransi yang baik Negara Khilafah mendapat pengakuan oleh T.W. Arnold dalam bukunya. The Preaching of Islam. Ia menuliskan, "Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman (Khilafah Turki Usmani) ---selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani---telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa ...."

Dengan demikian, tuduhan bahwa umat Islam intoleran sebenarnya sebuah penyesatan opini. Sejatinya merekalah yang tidak toleran. Lebih dari itu, mereka memosisikan sebagai musuh Allah Swt., menghadang tegaknya syariah dan khilafah. Khilafah ajaran Islam merupakan janji Allah dan bisyarah (kabar gembira) Rasulullah saw. yang akan tegak kembali.

Waallahu a'lam bishshawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post