Hukum, Mati di NKRI?



Oleh Ammylia Ummu Rabani
(Komunitas Muslimah Peduli Umat)


Sudah menjadi thobi’i, jika aksi senantiasa menuai reaksi. Pudarnya kepercayaan masyarakat akan tindakan penanganan hukum oleh aparat kepolisian yang terkesan tak serius, mencuatkan hastag #percumalaporpolisi yang viral di media sosial.

Selidik punya selidik perbincangan itu sebagai buah dari dihentikannya kasus dugaan pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel). Yang dengan jelas ibu korban telah memaparkan duduk perkaranya karena dia berlaku pula menjadi saksi.

Menurut pernyataan dari pihak kepolisian yang disampaikan oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Rusdi Hartono, mempertanyakan data dari munculnya tagar tersebut. Menurutnya, pelaporan dari masyarakat selalu ditindaklanjuti oleh kepolisian jika alat bukti yang dibutuhkan memenuhi persyaratan (okezone.com/8/10/2021).

Tanggapan mengenai tagar #percumalaporpolisi pun dikemukakan oleh psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel dalam keterangan tertulis, Sabtu, 9 Oktober 2021. Dia mengungkapkan bahwa ajakan untuk tidak melapor ke polisi, betapa pun dilatari kekecewaan mendalam dan itu manusiawi, tidak sepatutnya diteruskan. Reza menilai jika hal demikian dilanjutkan maka akan membuka peluang aksi vigilantisme atau menegakkan hukum dengan caranya sendiri. Ini sebuah kebahayaan, ujarnya (m.med.com/9/10/2021).

Setiap masyarakat berhak mengemukakan pendapatnya di negeri ini, termasuk terhadap viralnya tagar #percumalaporpolisi. Namun, masyarakat sudah kadung dikecewakan dengan penegakkan hukum di NKRI. Yang memang telah terbukti tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Tak tanggung-tanggung, Lembaga Survei Indonesia (LSI) pun telah mengantongi data mengenai hal ini.
Peneliti LSI Dewi Arum menyampaikan dalam survei tersebut yang menilai tidak puas terhadap penegakan hukum di Indonesia, cakupannya merata di semua lapisan masyarakat. survei yang dilakukan LSI pada 1 sampai 4 April 2013 ini, dilakukan terhadap 1.200 responden di 33 provinsi. Hasilnya, 56 persen masyarakat menyatakan kurang puas dengan penegakan hukum di Indonesia (Sindonews.com/8/4)2913).

Survei ini memang dilakukan di beberapa tahun silam, belum ditambah lagi dengan kasus-kasus baru yang membuat kepercayaan masyarakat semakin pupus. Kasus korupsi yang alot ditangani, kriminalisasi kepada ulama juga pihak oposisi, ditambah lagi narkoba juga penodaan agama yang semakin mewarnai suramnya penegakkan hukum di NKRI.

Jujur. Mendamba keadilan di negeri ini bagai punguk merindukan bulan. Berjibunnya laporan kepada pihak kepolisian tidak lantas semua kasus dilanjutkan dalam penyidikan. Pelapor mesti memiliki alat bukti yang cukup. Namun, bagaimana bagi mereka yang ada dalam kondisi keterbatasan? Hanya melapor karena menjadi saksi bahkan korban dari sebuah kejahatan. Akankah hukum dan keadilan mati di NKRI? Berlebih lagi jika terkait korban pelecehan seksual. Korban mesti divisum untuk mengantongi alat bukti. Ada rupiah yang harus dikeluarkan. Ada beban moral pula yang terpaksa ditelan. Masyarakat yang berharap mendapat keadilan. Aparat kepolisian yang begitu sibuk menyelesaikan berbagai tindak kejahatan. Penguasa yang menetapkan kebijakan. Semestinya semuanya dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah Robbul ‘Izzati. 

Jangan menjadikan landasan hukum pada logika manusia yang penuh dengan cacat cela. Hukum sekuler yang memisahkan agama dari ranah kehidupan individu, masyarakat juga negara. Karena sesungguhnya, hukum hasil kompromi manusia hakikatnya bukan menyelesaikan masalah justru menambah ruwet masalah.

Jika masyarakat, aparat juga penguasa merapat pada Islam. Atas izin Allah Subhanahu wa Ta’ala keadilan akan diraih dengan penerapan hukum-Nya. Sebagaimana yang disampaikan dalam kalam-Nya.
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)

Lantas bagaimana cara Islam menghadapi pelanggaran? Seseorang dikatakan bersalah apabila terbukti melanggar aturan. Baik aturan agama maupun aturan negara. Aturan negara dalam Islam disandarkan juga pada Al-Quran dan As-Sunah. Maka, hukumannya pun akan disesuaikan dengan hukum syara’ yang ada.

Dalam upaya penegakan hukum, Islam terlebih dahulu akan melakukan pembuktian. Setelah dilakukan proses pembuktian, barulah hakim (Qadhi) memberikan keputusannya. Jika dari hasil pembuktian itu terbukti tak bersalah maka terdakwa akan bebas. Adapun jika sebaliknya hakim akan memberikan sanksi. Namun, tidak jarang yang telah melakukan kemaksiatan justru menyerahkan dirinya agar diberi hukuman. Sehingga aparat diberi kemudahan untuk melakukan proses peradilan dan pelaku dimudahkan untuk menghapuskan segala dosa atas kemaksiatan yang telah dilakukan. 

Sebagaimana Ghomidiah dan Maiz yang mengakui dirinya telah melakukan perzinaan. Pengakuan dilakukan karena dorongan keimanan dan ketakwaan yang masih menancap di jiwa mereka. Mereka lebih memilih menjalani hukuman di dunia daripada mendapati pedih azab di neraka.
Adapun sanksi dalam Islam dibagi menjadi 4, yaitu hudud, jinayat, ta’zir dan mukhalafat. Hudud adalah sanksi dengan kemaksiatan yang kasus dan sanksinya sudah ditetapkan syariat. Jinayat adalah penyerangan terhadap manusia. Jinayat dibagi menjadi 2: Pertama, penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan). Sanksinya bisa berupa qishah,  diyat dan kafarah. Kedua, penyerangan terhadap organ tubuh. Sanksinya adalah diyat.
Ta’zir adalah sanksi kemaksiatan yang tidak ada had dan kafarah. Qadhi yang berhak menetapkan sanksi dengan pertimbangan pelaku, kasus, politik dll. Mukhalafat adalah sanksi yang diberikan ketika tidak menaati ketetapan yang dikeluarkan negara, baik itu berupa larangan ataupun perintah.
Dari sini, Islam tidak akan langsung menghakimi seseorang yang dinilai salah. Harus dibuktikan dulu dengan menghadirkan saksi. Semuanya juga dilandaskan pada hukum syara’. Bukan atas dasar suka atau tidak suka. Bahkan bukan pula karena kepentingan seseorang/kelompok. Sehingga orang tak akan mudah menuduh orang lain. Karena Islam melindungi kehormatan tiap Jiwa.

Jika demikian, akankah kita bertahan dengan hukum manusia atau mengambil sistem Islam sebagai solusi masalah kehidupan? Wallahu’alam bishowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post