Kebocoran Data dan Perlindungan Diskriminatif Negara




Oleh Darni Salamah 
(Aktivis Muslimah Sukabumi)

Baru-baru ini data pribadi Nomor Induk Kependudukan (NIK) Presiden Joko Widodo (Jokowi) bocor dan beredar di dunia maya. NIK Jokowi diketahui bersumber dari sertifikat vaksinasi di aplikasi PeduliLindungi yang dapat diakses oleh orang lain.

 Menurut penuturan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menjelaskan alasan di balik sertifikat vaksinasi Covid-19 Presiden Jokowi yang dapat diakses pihak lain karena dilakukan menggunakan fitur pemeriksaan sertifikat vaksinasi Covid-19 yang tersedia pada Sistem PeduliLindungi 
(Republika.co.id, 03/09/2021).

Tersebarnya data dan Nomor Induk Kependudukan RI 1 tersebut  menjadi alarm betapa buruknya sistem perlindungan data di negeri ini. 
Mirisnya di tengah kebocoran data tersebut, pemerintah saling melemparkan tudingan dibalik mencuatnya NIK Presiden yang tersebar itu. Diduga kebocoran tersebut disinyalir dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak zaman pemilu.

 Lantas bagaimana dengan data masyarakat Indonesia? Karena data sekelas presiden saja menjadi konsumi khalayak. Kebocoran data di Indonesia bukan masalah baru. Hal tersebut sudah menjadi penyakit. Tidak hanya data presiden, data pejabat negeri dan masayarakat sipil pun sudah lama sering tercecer di media sosial. Hal ini karena tingkat keamanan lembaga yang minim.

 Negara sepatutnya menggunakan semua perangkat yang diberdayakan untuk mengatasi kebocoran data yang berulang terjadi. Dalam mesin pencari Google bahkan terdapat KTP Elektronik, Kartu Keluarga (KK), paspor, ijazah yang diunggah. Masyarakat kita sering mengunggah KTP elektronik, kartu keluarga (KK), paspor, ijazah melalalui aplikasi chat Whatsapp, email dan lainnya.

Hal tersebut bisa jadi karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya menjaga data pribadi. Untuk hal itu, sudah sepatutnya pemerintah memberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga data pribadi dalam lama elektronik. Di satu sisi pemerintah pun harus bertanggung jawab dalam pemenuhan kemanan masyarakat secara penuh dalam melindungi setiap data warga negaranya. 

Naasnya, perlindungan data tersebut menjadi diskriminatif antara pejabat negeri dan masyarakat. Padahal, perlindungan kemanan menjadi hak setiap warga negara, baik pejabat maupun masyarakat. Meski banyak perangkat undang-undang yang mengatur tentang perlindungan data pribadi seperti UU Perbankan, UU Dokumen Perusahaan, UU Telekomunikasi ITE, UU Dukcapil, UU Kesehatan, hingga UU Kearsipan.

Sayangnya, perangkat hukum yang tidak berjalan. Bahkan UU ITE hanya fokus pornografi, penghinaan dan sebagainya. Padahal, masalah perlindungan pribadi jauh lebih penting. Karena dengan bocornya data pribadi, seseorang bisa menjadi target ekonomi yang dikuras data rekeningnya. Terjadi pemalsuan data, seperti disalahgunakan untuk mengajukan aplikasi pinjaman. 

Islam mewajibkan negara memberikan keamanan bagi setiap individu rakyat. Sisi kelam dunia digital seperti peretasan dan jual beli data wajib diperhatikan terutama dalam mekanisme perlindungan data di setiap lembaga dengan menjalankan fungsinya sebagai junnah (pelindung) rakyatnya.

 Negara patut memahami peta strategi penguasaan satu negara atas negara lain. Bila dulu penjajahan dilakukan melalui  modus jual beli rempah-rempah, maka di era digital, sedikit banyaknya penjajahan diawali dari jual beli data untuk menambang kepentingan suatu negara. 

Di sinilah pentingnya menyiapkan dan mengelola SDM, melakukan manajemen teknologi hingga menjadi negara yang mandiri dan terdepan dalam masalah teknologi digital. Tentu dibutuhkan visi politik negara dalam menjalankan perannya menjawab tantangan teknologi.

 Jika berkaca pada masa Rasulullah, masa di mana bangsa Romawi menguasai teknologi perang, maka Rasulullah saw. pun mengutus beberapa sahabat untuk mempelajari teknologi perang pada masanya.
Jika digitalisasi menjadi platform yang saat ini menjadi ajang “perang” dan menjadikan manuver antarnegara, maka sistem Islam pun akan melakukan itu sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Anfal: 60,

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya.”

Bila sistem saat ini tidak bisa menjadi pelindung rakyat, maka sudah seharusnya negara menunjukkan kapasitasnya sebagai negara pertama dengan menguasai teknologi digital. Teknologi yang ditopang dengan sumber ekonomi yang mumpuni dengan menjadikan sistem Islam sebagai satu-satunya sistem negara. Sebab sistem Islam tidak hanya menjamin keamanan dan pertahanan negara secara preventif tapi juga sistemis melalui peraturan dan peningkatan penjagaan data digital melalui penguasaan teknologi digital, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan warga negaranya. 

Sistem ini tentu sangat dirindukan oleh semua jiwa yang beriman. Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi kita memperjuangkan sistem yang mampu memberikan perlindungan dan keamanan pada kita secara adil dan bijaksana.

Wallaahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post