BALIHO BERTEBARAN, TANDA GEJOLAK SYAHWAT KEKUASAAN MULAI NAMPAK


Penulis : Waryati
(Pemerhati Kebijakan Publik)

Kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 masih jauh, namun aroma persaingan sudah terasa. Para elite politik ramai-ramai memasang baliho di jalanan dan tempat-tempat strategis lainnya dengan jargon khas politik praktis. Demi meraih simpati publik mereka tak segan mencuri start kampanye, pertanda geliat politik mulai nampak.

Pandemi Covid-19 baru melandai, rakyat sedikit merasa lega dan berharap pandemi segera berakhir. Saat rakyat baru memulai tuk menata hidup dari berbagai krisis yang mereka alami akibat terdampak pandemi, para politisi negeri justru sibuk memamerkan foto-foto mereka bak selebritis. Mereka tak segan mengeluarkan dana jor-joran demi terpampangnya foto manis pemikat rakyat. Tersiar kabar, untuk pemasangan sebuah baliho dibutuhkan Rp15-20 juta. Adapun, biaya sewa baliho selama satu tahun bisa mencapai antara Rp180-200 juta. Biaya fantastis. Di tengah kondisi rakyat tengah kesusahan akibat terdampak pandemi, para politisi justru mengeluarkan dana besar demi mencari popularitas.

Untuk mendongkrak elektabilitas, tebar pesona juga mengumbar citra terus dilakukan. Walau hanya melalui sebuah baliho. Langkah tersebut ditempuh para calon kontestan supaya lebih dikenal rakyat dan menggantungkan harapan di Pilpres mendatang. Sekalipun faktanya, menurut Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor, penggunaan baliho sebenarnya belum bisa menjadi tolok ukur untuk mengerek elektabilitas. Pasalnya, kampanye baliho biasanya sekadar menarik perhatian dan memberi tahu masyarakat akan adanya tokoh tertentu (koran.tempo.co,9/8/2021). Dengan demikian, terkenal saja tidak cukup tanpa didukung oleh kinerja dan perhatian mereka terhadap rakyat. 

Sebagus apapun citra dibangun, tanpa diikuti dengan kerja nyata, prestasi, maupun pengabdian terhadap rakyat, semuanya hanya menjadi pencitraan semu. Rakyat butuh realisasi, bukan janji. Rakyat butuh dilindungi, bukan dihakimi. Rakyat ingin disejahterakan, bukan dibiarkakan menanggung penderitaan. Rakyat pun ingin mendapat sosok pemimpin yang peka dengan kondisi mereka, tulus melayani dan memahami apa yang dibutuhkan rakyatnya.

Sengkarut perpolitikan menjadi tontonan rakyat yang menguras emosi, layaknya sinetron televisi dengan cerita bersambung yang tak berujung. Mulai dari penanganan pandemi amburadul, ekonomi hancur, pendidikan tak berjalan baik, dan sederet kegagalan lainnya menambah daftar panjang kegagalan pemerintah dalam mengelola negara. Hal ini menyebabkan buruknya citra pemerintah di mata rakyat.

Demokrasi dengan pilar kebebasannya menjadikan elite politik bebas melakukan apa pun sesuka hatinya. Saat kasus terinfeksi virus mulai menurun harusnya disikapi dengan syukur dan berjuang bersama rakyat tuk memulihkan keadaan. Bukan sebaliknya, mereka seperti tak peduli pada rakyat dengan sibuk tebar pesona demi kepentingan pribadi tuk meraih simpati. Itulah demokrasi, meniscayakan hasilkan politisi pengabdi kursi, bukan pelayan rakyat.
Hendaknya, jika petinggi negeri ingin maju menjadi kontestan di pemilihan mendatang, harus mampu membuktikan kepada masyarakat untuk memperbaiki kondisi negeri terlebih dulu. 

Saatnya umat melek politik supaya tak dibodohi. Saatnya pula para politisi  memahami apa arti politik itu sendiri. Politik adalah tentang pengurusan umat. Makin baik pemahaman politik sesorang, maka akan semakin besar kesadaran untuk melaksanakan setiap amanah yang dibebankan, termasuk kewajiban memenuhi setiap janji. Politik yang benar adalah ketika semua hukum dan cara pelaksanaannya disandarkan pada aturan Islam. Karena di dalam hukum Islam, politik sebagai periayahan umat yang mengharuskan negara menunaikan setiap kewajiban kepada rakyatnya. Dengan demikian, kepercayaan rakyat pada pemerintah akan diberikan tanpa diminta dan tanpa biaya mahal.

Wallahua'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post