Wafat Saat Isoman, Benarkah Negara Telah Berperan?


By : Afiyah Rasyad
(Pengurus Kajol Mazaya)

PPKM darurat telah lewat dari masa diberlakukan, kini masih diperpanjanh. Namun, kasus positif covid-19 di Indonesia belum menampakkan tanda penurunan. Sejumlah rumah sakit di Pulau Jawa overload. Pasien membludak dari seluruh kalangan rakyat, termasuk nakes yang juga berguguran karena terpapar virus corona atau kelelahan karena beratnya beban kerja. Ribuan pasien juga ada yang melakukan isolasi mandiri (isoman) di rumah masing-masing. 

Besaran angka pasien covid-19 yang meninggal saat menjalani isolasi mandiri menukik tajam. Tim Lapor covid-19 mencatat, hingga Minggu (11/7) terdapat 450 orang meninggal. LaporCovid-19 juga  melaporkan ada 675 orang yang menjalani isolasi mandiri karena virus corona dan dinyatakan  meninggal dunia perJuni lalu. Tak hanya itu, ada 206 tenaga kesehatan yang juga turut gugur saat menangani pasien yang terpapar virus corona (detik.com, 18/7/ 2021).

Tentu angka itu bukan sebatas deretan angka semata, namun jumlah nyawa yang telah tiada. Adanya fakta itu seakan menunjukkan  ketidakoptimalan penerapan kebijakan PPKM darurat. Dimana PPKM darurat yang diberlakukan tidak disertai tindakan nyata dalam memutus rantai penyebaran. 

LaporCovid-19 mencatat ada 209 orang yang meninggal saat melakukan isoman di Jawa Barat. Kemudian, sebanyak 105 orang di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), 65 orang di Banten, 63 orang di Jawa Timur, 51 orang di DKI Jakarta, dan 36 orang di Jawa Tengah. Tak hanya di Pulau Jawa, pasien covid-19  meninggal saat isoman juga terjadi di beberapa daerah, di antaranya lima orang di Riau serta Lampung, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Timur masing-masing tiga orang. Terakhir, dua orang di Kepulauan Riau dan satu orang di Kalimantan Barat (Kompas, 14/7/2021). 

Total daerah yang melaporkan penambahan kasus baru korban covid-19 terbanyak (17/7) adalah DKI Jakarta dengan 10.168 kasus dan diikuti Jawa Barat dengan 9.398 kasus baru. Dari sini muncul pertanyaan besar terkait pelayanan kesehatan yang diberikan negara. Terjadinya kasus rakyat wafat saat isoman seakan menampakkan dengan gamblang betapa peran negara dalam layanan kesehatan sungguh minim.

Alkes dan sarana kesehatan tk cukup memadai untuk menampung rakyat yang terpapar covid-19. Keterbatasan ruang rawat, ketersediaan fasilitas oksigen, dan fasilitas di RS membuat rakyat harus isoman tanpa arahan, sosialisasi, dan pendampingan dari tenaga medis ataupun petugas negara secara konsisten. 
 
Pandemi yang semakin menjadi menunjukkan nihilnya peran negara dalam pelayanan kesehatan. Berbagai kritik datang dari berbagai kalangan. Komisi IX mendesak agar telemedicine diperluas sebab banyak korban meninggal dunia saat menjalani isoman.

Begitu pula Ketua Tim Mitigasi PB IDI, Adib Khumaidi menyebut kondisi yang terjadi beberapa pekan belakangan sebagai "fungsional kolaps" sistem pelayanan kesehatan. Hal tersebut di antaranya ditunjukkan dengan penumpukan pasien di IGD, keterbatasan tempat tidur sampai harus membuka tenda-tenda darurat, keterbatasan oksigen, obat-obatan hingga alat kesehatan.

Lebih lanjut, dia memberi usulan modifikasi mitigasi risiko penanganan lonjakan kasus covid-19 berdasarkan kondisi terkini. Sebab, penuhnya fasilitas pelayanan kesehatan tak harus selalu dijawab dengan menambah kapasitas ruang perawatan (BBC.news,19/7/2021).

Ia menyebutkan bahwa pemerintah melakukan pembiaran. Rakyat menjalani isoman di rumah dibiarkan. Menurutnya, rakyat yang terkena wabah seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Saat ini, tidak ada perbedaan pasien covid-19 bergejala ringan, sedang, atau berat yang isoman di rumah. 

Kebijakan penanganan pandemi yang selalu berubah-ubah tak lantas menurunkan angka kasus positif. Mobilitas masyarakat yang masih berjalan semakin membuat tracing sulit dilakukan. Kebijakan PPKM darurat dan kebijakan dengan istilah lain sebelumnya menampakkan bagaimana peran negata dalam menangani pandemi. Negeri ini mengadopsi sistem kapitalisme yang berasaskan manfaat. Sehingga, sistem ini mendorong negara lepas tanggung jawab atas kebutuhan rakyat, termasuk dalam urusan kesehatan. Kondisi memprihatinkan tampak menyelimuti negeri. Pasalnya, negara terkesan main-main dalam menentukan kebijakan.

Apalagi pelayanan dan pengurusan rakyt yang isoman sangat minim, bahkan tampaknya memang tercerai urusan rakyat isoman dari peran negar. Adapun pemerintah sudah menyalurkan 600.000 paket obat dan multivitamin, namun sesungguhnya bantuan itu tidaklah cukup. Butuh pendataan lebih detail terhadap masing-masing pasien mengingat tidak semua terfasilitasi dengan alat medis secara mandiri di rumah. 

Dengan sistem kapitalisme yang memprioritaskan keuntungan materi, mengalihkan negara dari peran utamanya sebagai pelayan rakyat. Negara membantu seadanya dengan perhitungan untung rugi dari aspek transaksi ekonomi. Maka,   layanan medis dengan pengawasan serta pengontrolan pasien oleh tenaga kesehatan saat ini belum sepenuhnya terlaksana. Justru, rakyat saling membantu dengan inisiatif sendiri. Rakyat bekerja sama dalam memberi bantuan berupa makanan, mencari tabung oksigen, dan memberikan kebutuhan mereka yang menjalani isoman. Nyawa seakan tak ada harganya di mata kapitalisme.

Tak heran jika kemudian muncul ketidakpercayaan publik kepada pemerintah. Walhasil, kebijakan pemerintah banyak diabaikan rakyat. Protokol kesehatan begitu lemah di tengah masyarakat, vaksinasi juga masih menjadi suatu kontroversi, diperparah dengan isu konspirasi. 

Sistem kapitalisme bertolak belakang dengan sistem Islam. Dalam Islam, negara hadir dan sepenuhnya mengurusi urusan rakyat. Pemimpin muslim adalah pemimpin amanah karena dorongan keimanan. Dia sadar akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang diurusnya. Oleh karenanya, pemimpin muslim selalu  memberikan layanan terbaik kepada rakyat. 

Nyawa dalam pandangan Islam sangat berharga. Telah masyhur hadis nabi dari Al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, beliau sw. bersabda:

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasai dan, Tirmidzi 1455)

Adapun solusi Islam dalam mengatasi wabah juga sudah pernah dicontohkan oleh Rasululah. Karantina wilayah (lockdown) begitu ampuh dalam mengatasi wabah. Maka, negara akan menerapkan karantina wilayah dengan pemenuhan kebutuhan pokok dan layanan kesehatan secara memadai. Negara akan membiayai segala kebutuhan rakyat yang terdampak wabah. Sehingga, rakyat tak gelisah saat menjalani karantina karena kebutuhan diri dan keluarganya terpenuhi.


Pemimpin mulim akan mendengarkan pendapat para pakar yang mengetahui masalah kesehatan atau medis. Hal ini guna menentukan langkah apa yang tepat dalam memberi pengobatan ataupun vaksin. Edukasi dan sosialisasi juga akan dilakukan secara berkesinambungan oleh negara pada rakyatnya.

Pembiayaan itu semua dijamin negara. Inilah yang pernah dipraktikkan pada zaman kejayaan Islam. Para khalifah menyadari bahwa kepemimpinan adalah  amanah yang harus ditunaikan. Betapa Khalifah Umar begitu takut saat mengetahui ada rakyat yang kelaparan. Beliau juga punya perhatian yang berlipat saat terjadi wabah di wilayah Amwas.  Tak ada rakyat yang dibiarkan memenuhi kebutuhannya sendiri. Semua diperhatikan dan dilayani oleh negara.

Demikianlah Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Urusan kesehatan rakyat termasuk salah satu kebutuhan yang dijamin atas seluruh rakyat secara gratis. Peran negara dalam sistem Islam hadir seutuhnya. Saatnya kaum muslim mencampakkan kapitalisme dan memperjuangkan kehidupan Islam hadir kembali di seluruh alam.

Wallahu a'lam bi ashshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post