PEMERINTAH SUDAH OPTIMAL MENJAMIN , TIADA RAKYAT KELAPARAN ?


Oleh : Ummu Fahri

Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Kelaparan kian hari yang semakin bertambah.

Di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, misalnya, tidak terlalu sulit kita jumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau para pengemis yang berkeliaran di perempatan-perempatan jalan.

Anehnya, secara statistik jumlah mereka bukan berkurang, tetapi justru terus bertambah. Terlebih lagi setelah adanya pandemi covid 19.

Beberapa kebijakan yang sudah terealisasi diantaranya Bantuan sosial (bansos) kini menjadi senjata utama pemerintahan Jokowi untuk menggerakkan lagi roda perekonomian dalam negeri yang hancur dihantam pandemi virus corona. Dengan bansos, pemerintah berharap konsumsi masyarakat kembali menggeliat dan laju ekonomi terjaga.
Tak ayal, total dana yang dikucurkan untuk bansos paling banyak di antara sektor lainnya dalam penanganan pandemi. Jumlahnya mencapai Rp203,91 triliun atau 29,3 persen dari total alokasi anggaran Rp695,2 triliun.

Sayang, realisasinya masih lambat. Per 7 Agustus 2020, dana yang terpakai untuk bansos belum mencapai setengahnya atau baru 48,8 persen dari total alokasi.
Artinya, pemerintah baru menyalurkan bansos sebesar Rp86,45 triliun. Rinciannya, untuk program keluarga harapan (PKH) sebesar Rp26,6 triliun, kartu sembako Rp25,8 triliun, dan bantuan sembako Jabodetabek Rp3,2 triliun.

Kemudian, bantuan tunai non Jabodetabek Rp16,5 triliun, program kartu pra kerja Rp2,4 triliun, diskon listrik Rp3,1 triliun, dan bantuan langsung tunai (BLT) dana desa Rp8,8 triliun.

Tidak hanya itu Kementerian Keuangan menyiapkan anggaran senilai Rp15,36 triliun untuk program Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM) atau bansos UMKM yang dilanjutkan pada 2021. Bantuan itu akan diberikan ke 12,58 juta penerima.

Kalau kita melihat dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin pada September 2020 sebanyak 27,55 juta jiwa atau meningkat 2,76 juta dibandingkan tahun sebelumnya. Pada periode September 2020, tingkat kemiskinan menjadi 10,19 persen atau meningkat 0,97 poin persentase (pp) dari 9,22 persen periode September 2019.

Dampak pandemi ini mulai dirasakan pada kuartal I/2020 yaitu persentase penduduk miskin naik menjadi 9,78 persen atau naik 0,37 pp dari Maret 2019. Secara jumlah orang, penduduk miskin pada September 2020 sebesar 27,55 juta orang atau meningkat 2,76 juta orang dibandingkan tahun lalu.

Secara spasial, persentase penduduk miskin perdesaan per September 2020 naik menjadi 13,20 persen dari 12,6 persen pada September 2019. Persentase penduduk miskin perkotaan mengalami kenaikan menjadi 7,88 persen dibandingkan September 2019 yang hanya sebesar 6,56 persen. Hal ini sebagai akibat terjadinya penurunan aktivitas ekonomi di seluruh wilayah, terutama di perkotaan.

Sementara itu, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh rasio gini adalah sebesar 0,385 per September 2020. Angka ini meningkat 0,005 poin dibandingkan dengan Rasio Gini September 2019 yang sebesar 0,380.

Maliki menuturkan jumlah kemiskinan telah ditekan pemerintah. Pemerintah telah memprediksi tingkat warga tidak mampu akan meningkat akibat Covid-19.

“Tanpa adanya intervensi bantuan sosial melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN) akan meningkatkan penduduk miskin jauh lebih besar, yaitu sekitar 4 juta.

Kemiskinan yang menimpa rakyat tidaklah berdiri sendiri tanpa sebab. Mereka hidup miskin bukan karena nasibnya yang tak beruntung. Mereka miskin bukan pula karena keterbatasan skill. Mereka sejatinya dimiskinkan sistem yang serba kapitalistik. Mau sekolah tinggi, terkendala biaya pendidikan mahal. Mau kerja nyaman, terhalang skill yang tak mumpuni akibat pendidikan rendah. Mau kerja, tidak tahu dapat modal dari mana. Mau belanja kebutuhan, harga bahan pokok naik. Bayar listrik, air, tidak ada yang gratis. Ingin menikmati kesehatan gratis harus dihadapkan dengan aturan dan administrasi berbelit.

Kebijakan untuk rakyat dipersulit, regulasi untuk pemodal justru dipermudah. Belum lagi rakyat harus berhadapan dengan korupsi menahun di negeri ini. Di situasi pandemi, para penguasa masih saja memanfaatkannya sebagai ladang korupsi berjemaah. Rakusnya oligarki senantiasa berbuah kemiskinan yang mengabadi. Pengentasan kemiskinan total adalah hal mustahil dalam sistem demokrasi.

Solusi Tuntas Islam Mengentaskan Kemiskinan

Menurut pandangan Islam, kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) secara menyeluruh. Sebagai sebuah sistem, negara Islam akan meniscayakan sebuah mekanisme agar kebutuhan primer ini terpenuhi. Langkah Sistem Khilafah Mengentaskan Kemiskinan: Pertama, jaminan kebutuhan primer.

Hal ini tidak berarti negara membagikan secara gratis makanan, pakaian, atau rumah kepada rakyat setiap saat, hingga terbayang rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah terpenuhi. Maksud dari jaminan tersebut diwujudkan dengan pengaturan serta mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan, di antaranya: Mewajibkan laki-laki menafkahi diri dan keluarganya. Allah SWT berfirman, “Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf.” (QS al-Baqarah [2]: 233).

Jika kepala keluarga terhalang mencari nafkah, seperti meninggal, cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usia lanjut, dan lain-lain., kewajiban nafkah dibebankan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah. Jika seseorang tidak memiliki kerabat atau memiliki kerabat tapi hidupnya pas-pasan, maka pihak yang berkewajiban memberinya nafkah adalah baitulmal (kas negara).

Dengan kata lain, negara berkewajiban memenuhi kebutuhannya. Jika kas negara kosong, maka kewajiban nafkah beralih ke kaum muslim secara kolektif. Allah Ta’ala berfirman, “Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bagian.” (QS adz-Dzariyat [51]: 19). Kedua, pengelolaan kepemilikan.

Kepemilikan umum dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat, yaitu bisa berupa harga murah bahkan gratis. Harta milik umum ini berupa barang tambang, minyak, sungai, danau, hutan, jalan umum, listrik, dan lain-lain. Harta ini wajib dikelola negara dan tidak boleh diswastanisasi dan diprivatisasi sebagaimana praktik dalam kapitalisme.
Ketiga, distribusi kekayaan yang merata.

Negara berkewajiban secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada seseorang yang mampu untuk mengelolanya. Bahkan, setiap individu berhak menghidupkan tanah mati, dengan menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya.

Sebaliknya, negara berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Semua itu menggambarkan bagaimana syariat Islam menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas sumber daya alam dan sumber daya manusia, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah kemiskinan.

Keempat, penyediaan lapangan kerja. Negara wajib menyediakan lapangan kerja yang menyerap banyak tenaga kerja terutama untuk laki-laki. Karena merekalah pencari nafkah bagi keluarganya. Negara membolehkan perempuan berperan dalam ranah publik, seperti dokter, perawat, guru, dan lain-lain. Namun, tugas perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah suaminya tetap menjadi kewajiban utama yang harus ditunaikan dengan sempurna. Kelima, penyediaan layanan pendidikan dan kesehatan.

Masalah kemiskinan biasanya juga disebabkan tingkat pendidikan rendah yang berpengaruh pada kualitas SDM. Di sinilah negara akan menyelenggarakan pendidikan gratis kepada rakyat. Demikian pula dengan layanan kesehatan yang diberikan secara cuma-cuma. Sebab, pendidikan dan kesehatan adalah kebutuhan primer yang wajib dipenuhi negara. Demikianlah, Islam mengatur secara rinci bagaimana mengatasi kemiskinan struktural dan kultural dengan pemenuhan kebutuhan dasar bagi rakyat. Pengaturan seperti ini tidak akan dijumpai dalam sistem demokrasi kapitalis. Mekanisme ini hanya akan ditemui tatkala Islam diterapkan dalam bingkai negara Khilafah.

WALLAHU'ALAM BISSHAWAB..

Post a Comment

Previous Post Next Post