RUU KUHP: Marital Rape, Ancaman Keluarga Muslim?

Oleh Nur Fitriyah Asri
Pengurus BKMT Kabupaten Jember, Penulis Ideologi Bela Islam

Marital rape (pemerkosaan terhadap istri) oleh kalangan sekuleris dan pejuang gender terus digaungkan.
Berupaya untuk bisa dilegalkan, hanya tinggal selangkah lagi. Rancangan Undang-Undang  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) ada wacana akan disahkan dalam sidang paripurna DPR RI. Terutama terkait pemerkosaan suami terhadap istri yang menimbulkan polemik di berbagai kalangan. Mengapa? Disinyalir mengancam keluarga muslim.

Hal ini disebabkan karena definisi perkosaan mengalami perluasan. Disebutkan pada pasal 479 RUU KUHP mengatur tentang pemerkosaan terhadap istri (marital rape). Dalam pasal 8 huruf a dengan pidana penjara paling lama dua belas (12) tahun penjara, atau denda paling banyak Rp36 juta. (detikcom, 29/8/2019)

Delik tersebut, saat ini sudah ada dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Bedanya dalam UU-PKDRT tidak menggunakan istilah pemerkosaan, tetapi kekerasan seksual. Namun, intinya sama yakni tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan. Demikian, kata Guru Besar Hukum Pidana UGM Prof. Marcus Priyo Gunarto dalam diskusi publik RUU KUHP di Hotel JS Luwansa, (14/6/2021).

Di antaranya disebutkan dalam Pasal 1 angka (1) UU Nomor 23 Tahun 2004, bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga. Terkategori pemerkosaan terhadap istri jika melakukan pemaksaan persetubuhan dengan istrinya.

Pejuang gender (feminisme) menghendaki pengesahan RUU KUHP segera dilakukan secepatnya. Tidak lain bertujuan untuk melindungi kaum hawa. Hal ini merujuk kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga yang terhitung tinggi dan terus mengalami peningkatan.

Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPJPN) menyebutkan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus. Adapun faktor penyebab terjadinya kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan pasangan adalah faktor individu, faktor perselingkuhan, faktor sosial budaya, dan faktor ekonomi. Dikutip dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan, (5/3/2021).

Sejatinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) disebabkan oleh sistem yang rusak yaitu kapitalis-sekuler yang diadopsi negara ini. Yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya, menjadikan umat Islam jauh dari agamanya sehingga tidak tahu mana perintah dan larangan Allah. Wajar, bila tidak bisa membedakan hak dan kewajiban sebagai suami-istri.

Dalam sistem kapitalis, kebahagiaan diukur dengan banyaknya materi. Oleh sebab itu, kaum perempuan berlomba ke luar rumah untuk bekerja di ranah publik. Ini merupakan  kebanggaan tersendiri karena mendapatkan gaji atau upah. Merasa terhormat dan punya harga diri karena bisa mandiri. Hal ini tentu berpengaruh pada bargaining position (posisi tawar) yakni menentukan kedudukannya dalam keluarga. Bisa jadi akan menjadi pemimpin dalam keluarga jika pendapatannya melebihi suaminya. Akibatnya, terkikisnya rasa hormat dan tidak menghargai suami. Sesungguhnya inilah salah satu faktor pemicu KDRT.

Seorang ibu yang bekerja di publik harus pandai membagi waktu agar tetap produktif mengerjakan pekerjaannya di rumah. Akibatnya, dengan berperan ganda menambah beban yang cukup berat bagi perempuan. Kondisi capek dan lelah tentu akan berpengaruh pada fisik dan psikis (emosi) sehingga mudah tersinggung dan pemarah. Hal ini menjadi pemicu pertengkaran dan KDRT. Adapun fungsi utama ibu sebagai pendidik anak dan pengatur rumah tangga terbengkalai. Belum lagi untuk melayani suami, menolak
ketika diajak berjimak atau hubungan badan dengan alasan capek. Di sisi lain para suami ingin terpenuhi kebutuhannya. Jika dilakukan dengan memaksa, maka hal ini akan kena delik hukum dengan ancaman penjara dua belas tahun. Umumnya laki-laki tidak beriman akan memilih jajan diluar untuk mencari aman.

Sementara undang-undang 'kumpul kebo' hanya diberi sanksi enam bulan. Berikut bunyi Pasal 418 ayat 1:

"Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam (6) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II adalah maksimal Rp10 juta."

Artinya, jika kedua pasangan sama-sama masih lajang dan dewasa, tidak kena delik hukum. Sungguh, ini sangat membahayakan generasi muda dan keluarga muslim.

Apabila UU KUHP dilegalkan maka dampaknya mengancam keluarga muslim. Di samping para suami banyak yang dipenjara, banyak pula perceraian. Para suami yang nakal akan memilih berselingkuh. Kenakalan remaja meningkat karena tidak ada sanksi tegas. Akibatnya, seks bebas merajalela dan menjamurnya pelacuran, serta rusaknya kehidupan sosial. Sejatinya di balik pengesahan RUU KUHP ada upaya untuk menghancurkan keluarga muslim.

Seharusnya umat Islam waspada dengan agenda kaum sekuler dan pejuang feminisme. Umat Islam harus terikat pada syariat Islam. Sebab, tidak ada aturan yang paling sempurna kecuali datangnya dari Allah Al Musyarik yakni pembuat aturan yang mengatur semua lini kehidupan, termasuk hubungan  suami-istri dalam pernikahan.

Di dalam Islam, pernikahan merupakan ibadah yang bernilai sakral. Hingga disebut mitsaqan ghalizha dalam Qur'an, yang  artinya perjanjian yang amat kukuh dan kuat. Oleh sebab itu, tidak boleh menganggap enteng perceraian.

Sejatinya tujuan luhur hubungan suami-istri dalam pernikahan adalah melestarikan keturunan, menjaga nasab (garis keturunan), memelihara kehormatan dengan menundukkan pandangan dan membentengi kemaluan sehingga terjaga kesucian jiwa. Selepas nikah mendatangkan sakinah (tenang tenteram, rukun), mawaddah (penuh cinta), dan rahmah (penuh kasih sayang).

Seorang istri mempunyai hak yang sama seperti halnya suaminya. Allah berfirman, "Dan para wanita  mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf .... " (QS. al-Baqarah [2]: 228)

Suami diwajibkan memenuhi kebutuhan istrinya, seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, sampai hubungan biologis yang menenteramkan.
Allah berfirman, "... dan gaulilah (istri-istrimu) dengan cara yang makruf .... " (QS. an-Nisa [4]: 19)

Begitu juga seorang istri diwajibkan taat kepada suaminya dan tidak boleh menolak ajakan suami untuk berjimak. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

"Jika seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan, akan tetapi ia (istri) tidak memenuhi ajakan suami, hingga malam itu suaminya marah, maka ia (istri) mendapatkan laknat para malaikat sampai subuh." (HR. Muslim)

Sesibuk apapun suami, baik dalam urusan beribadah, bekerja, atau berjihad tidak boleh menyebabkan lalai dalam melayani istrinya.

Istri Amr bin Ash ra. mengadukan suaminya kepada Rasulullah saw. Amr bin Ash tidak mendekati istrinya karena sibuk puasa pada siang hari dan salat tahajud pada malam hari. Mendengar hal tersebut, Rasulullah saw. bersabda: "Jangan kau lakukan lagi. Berpuasalah dan berbukalah, serta salat malamlah dan tidurlah. Sesungguhnya, tubuhmu memiliki hak, matamu memiliki hak, dan istrimu memiliki hak."

Untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan, Islam memberlakukan sanksi yang tegas. Bagi pezina laki-laki maupun wanita yang belum menikah dicambuk seratus kali (100x). Sedangkan yang sudah atau pernah menikah dihukum rajam, yakni tubuhnya ditanam dalam tanah setinggi dada, kemudian dilempari batu hingga mati.

Walhasil, dengan menjadikan Islam sebagai landasan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara dipastikan akan mencegah segala bentuk kekerasan baik di dalam maupun di luar rumah tangga. 

Keagungan dan kemuliaan Islam baru bisa dirasakan oleh semua umat manusia, ketika syariat Islam diterapkan secara kafah (menyeluruh) oleh negara yakni di bawah naungan khilafah ala minhaajin nubuwwah.

Wallaahu a'lam bishshawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post