Islam Menjamin Pelaksanaan Ibadah Sepenuh Hati

Oleh Ummu Raisya
Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah

Rasa kecewa menyelimuti calon jamaah haji Indonesia. Pasalnya, mereka tahun ini kembali gagal berangkat. Pemerintah melalui Kemenag membatalkan pemberangkatannya dengan alasan untuk menjaga keamanan dan keselamatan jamaah di masa pandemi ini. Di samping itu, Kerajaan Arab Saudi dipandang belum membuka akses layanan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2021, akibat kasus Covid-19 serta belum mengundang Indonesia untuk menandatangani nota kesepahaman tentang persiapan penyelenggaraan haji (cnbcindonesia.com,6/6/2021).

Jika yang menjadi alasan untuk menjaga jamaah dari paparan virus Covid-19, sepertinya terbantahkan dengan kenyataan inkonsistensi kebijakan negara itu sendiri. Realitas menunjukkan bahwa pemerintah memiliki standar ganda. Jamaah haji dilarang berangkat, sementara di sisi lain kedatangan TKA China, terus terjadi di masa pandemi. Padahal mereka sama-sama berpotensi membawa virus mematikan tersebut. 

Tak hanya itu, di dalam negeri sendiri ada pelonggaran perizinan untuk kegiatan-kegiatan yang dipandang bisa mendongkrak ekonomi seperti aktifitas wisata dan perdagangan. Di sisi lain, jelang lebaran rakyat dipaksa tunduk pada aturan larangan mudik. Padahal, secara kasat mata tempat-tempat wisata sendiri mengundang kerumunan masa. 

Lalu, benarkah hanya semata pertimbangan keamanan dan kesehatan jamaah? Mengapa untuk beribadah dan memenuhi perintah Allah SWT demikian sulit? 

Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam dan kewajiban agung dari Allah SWT atas kaum muslimin. Mereka akan berusaha mengupayakan dan mempersiapkannya sebaik mungkin, baik secara materi maupun fisik. Karena kemampuan dan kesanggupan kedua hal inilah yang menjadi syarat yang harus terpenuhi untuk menunaikannya.  

Dan pemastian kemampuan jamaah ini merupakan perkara yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam kondisi apapun. Pemerintah memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan keberangkatan jamaah karena aktifitas haji ini bukan merupakan hal baru. Pelaksanaanya dilakukan satu tahun sekali. Artinya pemerintah memiliki pengalaman dari pengelolaan di tahun-tahun sebelumnya. 

Jika alasannya terkait belum ada nota kesepahaman tentang persiapan penyelenggaraan haji sebagaimana diungkapkan di atas. Sesulit apa hal itu diupayakan? Bukankah seharusnya hal itu diupayakan jauh-jauh hari sebelumnya, apalagi di era digital seperti sekarang akses komunikasi sangat terbuka lebar dan mudah? 

Permasalahannya terletak dari kemauan dan keseriusan pemerintah itu sendiri untuk mengerahkan segenap kemampuannya dalam mengurusi pelaksanaan ibadah haji ini. 

Seharusnya bagi negara yang notabene mayoritas penduduknya umat Islam bisa memberikan jaminan pelaksanaan kewajiban ibadah haji bagi warga negaranya. 

Dalam Islam, negara adalah penanggung jawab berbagai urusan rakyatnya, termasuk dalam masalah ibadah haji. Dari mulai membantu, memfasilitasi, memudahkan, dan menghilangkan berbagai rintangan. Dikatakan dalam sebuah hadits: 
"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. al-Bukhari).

Bagi pemimpin yang memiliki keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, akan memahami bahwa ia akan berhati-hati dalam menjalankan semua hal yang menjadi amanahnya. Berusaha semaksimal mungkin dengan penuh kesungguhan agar mendatangkan kebaikan dan terhindar dari keburukan, sebagaimana dalam doa Rasulullah saw. 

"Ya Allah, siapa saja yang memimpin (mengurus) urusan umatku ini yang kemudian menyayangi mereka, maka sayangilah dia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia." (HR.Muslim No 1828).

Pada masa pemerintahan Islam, terdapat beragam sarana dan bantuan yang disiapkan negara agar kewajiban haji warga negaranya terlaksana sempurna. Diantaranya dengan membentuk departemen khusus yang menangani haji dan segala sesuatu yang diperlukan, semisal sarana prasarana transportasi baik melalui jalan darat, laut dan udara. 

Hal teknis lainnya, negara akan mengatur kuota jamaah haji dengan memprioritaskan jamaah yang sudah memenuhi syarat dan mampu. Pelayanan yang diberikan sepenuhnya dilandasi pada prinsip pelayanan, bukan bersifat komersil atau mengambil keuntungan dari jamaah. Bahkan boleh jadi negara yang akan mengeluarkan dana dalam memberikan kemudahan kepada jamaah. 

Sebagaimana dalam catatan sejarahnya, pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II dibangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji. Bahkan jauh sebelumnya, pada masa Khalifah Harus ar-Rasyid, membangun jalur haji dan Irak hingga Hijaz. Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik, hingga dana zakat bagi yang kehabisan bekal. 

Selain itu, seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Hanya perlu menunjukkan kartu identitas. 

Di saat ada hambatan seperti datangnya wabah, negara akan berusaha melakukan penanganan sesuai protokol kesehatan dan menjamin sanitasi selama pelaksanan haji. 
Dengan pengaturan yang rapi dan bertanggungjawab oleh negara, maka ibadah haji  warga negara dapat terlaksana setiap tahunnya. 

Adanya fenomena pembatalan haji yang terjadi secara berulang, semoga semakin menyadarkan unat bahwa penerapan sekulerisme-kapitalisme merupakan sumber dari semua kesulitan hidup. Dan menyadari bahwa hanya dengan Islam, pelaksanaan seluruh kewajiban bisa berjalan secara sempurna. 
Wallahu a'lam bi ash-Showwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post