THR Dicicil Kaum Pekerja Mecicil, Siapa yang Salah?


Oleh Nur Fitriyah Asri
Pengurus BKMT Jember, Penulis Bela Islam AMK

Seharusnya pada bulan Ramadan semua umat Islam bergembira dan bersukacita menyambut bulan mulia yang penuh barakah, rahmat, dan pengampunan, serta pahala yang dilipatgandakan. Tidak hanya itu, semua masyarakat khususnya kaum pekerja bergembira berharap mendapatkan hadiah berupa tunjangan hari raya (THR). Namun, cahaya kebahagiaan itu meredup karena THR yang digadang-gadang tak kunjung datang dan tidak sesuai dengan yang diangan-angankan.

Tunjangan hari raya (THR) sendiri muncul pada tahun 1994, hadir berdasarkan peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 04/Men/1994 mengenai Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan. Dengan demikian, mengikuti peraturan tersebut, perusahaan menjadi wajib mengeluarkan THR bagi pegawainya.

Awalnya THR di Indonesia hanya diberikan kepada pegawai negeri saja, kemudian karyawan swasta. Seiring berjalannya waktu istilah THR melebar ke semua kalangan masyarakat. Sebab, orang yang berkelebihan (mampu) pun turut berbagi kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, misalnya kepada pembantu, orang yang kurang beruntung, bahkan di lingkungan sekitarnya dalam bentuk uang dan sembako.

Ironisnya, ada wacana dari pihak pengusaha keberatan memberikan THR secara penuh kepada karyawannya. Pengusaha menginginkan THR diberikan secara dicicil (diangsur) Mengingat perusahannya belum kembali normal karena dampak pandemi.

Adapun dari pihak pekerja yang diwakili Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit (FSP TSK SPSI) menolak rencana Kementerian Tenaga Kerja yang membuka opsi aturan untuk memperbolehkan perusahaan mencicil atau menunda pembayaran tunjangan hari raya (THR). Menurut ketuanya Roy Jinto mengatakan bahwa kondisi tahun 2021 sangat berbeda dengan tahun 2020. Perusahaan sudah beroperasi secara normal.

Masih menurut Roy, bahwa Covid-19 selalu dijadikan alasan oleh pemerintah untuk membuat aturan yang memihak pengusaha, dan merugikan kaum pekerja.

Aturan yang dimaksud, antara lain pengesahan UU Cipta Kerja, PP No 34 tentang tenaga kerja asing (TKA), PP No 35 mengenai perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), alih daya dan pemutusan hubungan kerja (PHK), PP No 36 mengenai pengupahan, PP No 37 mengenai jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), serta Peraturan Menteri (Permen) No 2 Tahun 2021 mengenai pengupahan industri padat karya di mana aturan tersebut memperbolehkan perusahaan untuk membayar upah buruh di bawah upah minimum. (Dikutip dari CNN Indonesia, 20/3/2021)

Hal senada juga disampaikan oleh Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat, kecewa dengan keputusan Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HK.04/IV/2021 terkait Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan 2021.

"Menolak adanya surat edaran (SE), karena memberikan peluang pengusaha untuk berlindung dan tidak membayar THR secara penuh," katanya. (Kompas.TV, 12/3/2021)
 
Tentu, para pekerja sangat kecewa. Karena THR diharapkan bisa untuk menutupi kekurangan kebutuhan selama Ramadan. Kalau hanya mengandalkan gaji bulanan saja tentu
sangat kurang, ditambah lagi semua harga barang meroket naik, jelas ini menjadi beban berat bagi keluarga pekerja/buruh. Jika THR diberikan dengan cara dicicil atau akhir jelang Ramadan, maka membuat kaum pekerja mecicil (mata melotot seperti tercekik).

Siapakah yang Salah?

Lagi dan lagi, sistem kapitalis-sekuler biang keroknya. Karena asasnya sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga tolok ukur perbuatan adalah kebebasan dan manfaat. Bukan haram dan halal.

Wajar, jika selalu muncul problem perburuhan. Konflik yang muncul selalu dipicu oleh masalah upah atau gaji pekerja. Menurut negara kapitalis-sekuler, THR dianggap sebagai gaji atau upah yang harus diberikan pengusaha kepada pekerja. Oleh sebab itu, dalam hal ini negara hanya berperan sebagai pembuat undang-undang (regulator) yang berpihak pada pengusaha. 

Sedangkan dalam sistem Islam (khilafah), negara diwajibkan mengatur urusan umat dengan syariat Islam dan menyejahterakan. Pemberian THR merupakan tanggung jawab negara, bukan dibebankan kepada pengusaha. Sebab, THR bukan gaji, melainkan merupakan hadiah karena tidak ada kompensasi.

Dalam sistem kapitalis, standar mengupah buruh dengan living cost terendah (biaya hidup minimum). Akibatnya, gaji atau upah yang didapat hanya sekadar untuk mempertahankan hidup saja. Itulah salah satu pemicu pekerja selalu menuntut kenaikan upah, karena dirasa tidak cukup, bahkan kurang.

Berbeda dengan Islam, UMR diharamkan karena menyebabkan eksploitasi buruh oleh pengusaha atau majikannya. Adapun sistem Islam, gaji buruh ditentukan oleh manfaat tenaga yang diberikan buruh, dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.

Jika terjadi sengketa di antara pekerja dengan pengusaha dalam  menentukan upah, maka sebagai penengah, kedua pihak menunjuk seorang pakar (khubara') untuk menentukan upah. Jika tidak ada kesepakatan, negara yang memilihkan pakar dan memaksa keduanya menerima keputusan pakar.

Jadi, dalam sistem Islam tidak diperbolehkan menetapkan UMR (upah minimum regional). Hal ini dianalogikan dengan pelarangan mematok harga. Sebab, harga maupun upah merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Hanya bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.

Terkait tunjangan hari raya (THR) sejatinya termasuk hadiah, bukan gaji atau upah. Sebab, dalam Islam masalah gaji merupakan akad yang disepakati kedua belah pihak antara pengusaha dan pekerja, sifatnya mengikat. 

Sedangkan THR merupakan hadiah karena diberikan tanpa meminta kompensasi, maka sifatnya sukarela. Jadi, negara dalam hal ini salah, jika mewajibkan pengusaha atau majikan untuk memberikan THR senilai gaji pekerja.

Namun, Rasulullah saw. menganjurkan agar umat Islam saling berkasih sayang, berempati, dan peduli satu sama lain, serta menjalin dan merekatkan ukhuwah dengan saling memberi hadiah, sebagaimana sabdanya, "Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai." (HR. Bukhari)

Apalagi di bulan Ramadan, umat Islam meyakini bahwa memberi hadiah atau sedekah, pahalanya akan dilipatgandakan. Walhasil, dalam sistem Islam (khilafah), negara tidak akan mengintervensi pengusaha atau investor seperti yang dilakukan negara kapitalis, apalagi membebani. Ini benar-benar zalim.

Seharusnya negara berkewajiban menyejahterakan pekerja. Artinya, pekerja atau buruh tidak menggantungkan pada upah yang didapatkannya saja, melainkan dijamin oleh negara. Inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang lain. Kuncinya adalah menerapkan syariat secara kafah, maka akan melahirkan kesejahteraan, "Di mana ada syariah, maka di situ ada maslahat."

Saatnya sistem kapitalis-sekuler kita campakkan. diganti dengan khilafah yang menyejahterakan.

Allah Swt berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. al-Maidah [5]: 50)

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post