THR Diangsur, Nasib Buruh Kian Tersungkur


Oleh: Sri Mulyati
(Pemerhati Sosial)

Para pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT) masih tertekan pandemi COVID-19. Berdasarkan riset Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), pengusaha di sektor tersebut minta pembayaran tunjangan hari raya (THR) dicicil. Hal tersebut sama seperti tahun 2020. Pada Januari 2021, Apindo melakukan riset terhadap 600 anggotanya. Hasilnya sekitar 200 pengusaha atau sepertinya tercatat sudah tidak bisa mempertahankan bisnisnya. Lalu 60% sulit membayar cicilan utang perbankan, dan 44% omzetnya turun lebih dari 50%.

Keinginan para pengusaha TPT nasional juga disampaikan langsung oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani saat webinar Indonesia Macroeconomic Update 2021. Dalam acara tersebut ada Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5525667/masih-tertekan-pengusaha-tekstil-minta-thr-2021-dicicil-lagi).

Sementara itu, Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang Dan Kulit (SP TSK SPSI) menolak rencana Kementerian Tenaga Kerja yang membuka opsi aturan untuk memperbolehkan perusahaan mencicil atau menunda pembayaran tunjangan hari raya (THR).
Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI Roy Jinto mengatakan kebijakan tersebut pernah dikeluarkan pada 2020. Alhasil, banyak perusahaan memilih opsi itu. Sementara kondisi saat ini sudah berbeda dari tahun lalu. Menurut Roy, pandemi Covid-219 selalu dijadikan alasan oleh pemerintah untuk membuat aturan-aturan yang sangat merugikan kaum buruh (http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210320205344-92-620041/perusahaan- beroprasi-normal-buruh-pertanyakan-thr- dicicil).

Menanggapi hal ini, Menteri Ketenagakerjaan RI Ida Fauziyah mengatakan, pihaknya masih melakukan kajian bersama dengan pihak terkait. Menurutnya, masih ada banyak waktu sebelum memutuskan skema THR yang tepat di tahun ini. Pihaknya pun akan melakukan pembahasan secepatnya bersama tripartit dan Dewan Pengupahan Nasional (https://www.cnbcindonesia.com/news/20210326163133-4-233173/thr-2021-dicicil-lagi-ini-penjelasan-manaker).

Persoalan mengenai tenaga kerja (buruh) kerap terjadi. Kali ini permasalah pembayaran THR bagi pekerja. Mereka merasa diperlakukan tidak adil dalam  persolaan ini, hak-haknya tak diperhatikan. Wajar  jika kaum pekerja (buruh) mempertanyakan mengapa negeri ini melonggarkan perusahaan beroperasi normal akan tetapi THR  dicicil? Sementara kaum buruh sangat berharap THRnya dibayar penuh untuk keperluan selama puasa dan menjelang lebaran nanti. 

Begitulah cerminan dari penerapan sistem Kapitalisme. Cara pandang kapitalis yang sangat mengagungkan materi, membuat perusahaan berjalan di atas prinsip tersebut yaitu dengan mengeluarkan modal sedikit namun menghasilkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Alhasil buruh hanya dipandang sebagai “sapi perah” dalam  sektor produksi. Mereka terus diekspoitasi oleh para pemilik perusahaan dengan pemberian gaji yang minim. Kondisi inipun semakin diperparah dengan pengesahaan UU Ciptaker yang telah mengebiri hak-hak mereka. Pada akhirnya, semua kebijakan  yang lahir lebih menguntungkan perusahaan dan merugikan buruh bahkan membuat nasib buruh kian tersungkur.

Fakta demikian tentu tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Sistem Islam menjamin kehidupan rakyatnya perindividu. Termasuk menjamin kesejahteraan para pekerja (buruh). Sebab Khalifah menempatkan dirinya sebagai pengurus rakyat, sesuai sabda Rosulullah SAW, “Imam (Khalifah) adalah ra’in (pengurus) urusan rakyat dan ia akan di minta pertanggung jawaban atas apa yang diurusnya itu.” (HR. Bukhari).

Islam juga memandang persoalan ketenagakerjaan sepenuhya tergantung pada kontrak kerja atau akad ijarah antara perusahaan dan pekerja. Sementara negara wajib memastikan tidak terjadi kezaliman di antara kedua belah pihak. Kontrak kerja haruslah saling menguntungkan tidak boleh satu pihak menzalimi pihak lainnya. Perusahaan wajib membayar upah pekerjaan bila selesai pekerjaannya. Ditegaskan dalam hadits, Rosul SAW bersabda “Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah). 

Sebaliknya pekerja pun harus menunaikan kewajiaban yang menjadi hak perusahaan. Jika terjadi perselisihan antara perusahaan dan pekerja, maka Khalifah memfasilitasi dengan mendatangkan beberapa ahli yang independen, diharapkan dapat menuntaskan perselisihan kedua belah pihak. Demikianlah pandangan Islam dalam mengatasi persoalan buruh. Kesejahteraan pekerja akan tercapai dan perusahaan pun diuntungkan. Tentu saja semua ini bisa terwujud jika diterapkanya syariat Islam secara kaffah di bawah naungan sistem pemerintahan Islam. Wallahu’alam bishowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post