Proyek Food Estate Untuk Kepentingan Siapa?




Oleh  Desi Anggraini
(Pendidik Palembang)

Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) H. Sugianto Sabran mendampingi Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan RI) Prabowo Subianto melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Gunung Mas. Kunjungan Menhan Prabowo Subianto kali ini untuk meninjau Lokasi pengembangan Food Estate komoditi singkong yang berada di Desa Tewaibaru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas.

Prabowo Subianto mengatakan pembangunan Food Estate ini sudah menjadi Keputusan dari Presiden RI. Maksud dan tujuannya untuk mengatasi semua kemungkinan yang akan dihadapi Bangsa Indonesia terkait krisis pangan dunia sebagai akibat dari pandemi yang terjadi saat ini.

Saat berada di lokasi penanaman singkong, Prabowo Subianto juga mengutarakan kunjungannya kali ini sekaligus untuk menyerap aspirasi masyarakat setempat mengenai pengembangan food estate serta apa saja yang harus dipersiapkan agar pembangunan food estate di Kabupaten Gunung Mas berjalan dengan baik. Kebijakan ini sekaligus mendukung program cadangan pangan Strategis Nasional. Direncanakan lahan untuk pengembangan komoditi singkong di kalteng seluas kurang lebih 1 Juta Hektare (Ha), pengembangan komoditi singkong dimulai dari Kabupaten Gunung Mas.
( iNews.id, 12/03/2021)

Sejumlah kritik dikemukakan pakar terhadap proyek food estate. Proyek ini hanya akan mengulang kegagalan dari proyek serupa di masa lalu. Bahkan berisiko memperparah kerusakan lingkungan.

Pada masa Orde Baru, ada proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare, yaitu pembukaan hutan gambut untuk dijadikan sawah. Saat ini, 400.000 ha justru menjadi perkebunan sawit dengan hak konsesi kepada korporasi. Sementara sisanya terbengkalai tidak terkelola.

Tragisnya, bekas kawasan gambut ini masih belum bisa dipulihkan bahkan rentan mengalami kebakaran tiap tahunnya. Kemudian di masa pemerintahan SBY juga direncanakan kawasan lumbung pangan 100 ribu ha di Ketapang dan tidak berhasil.

Berikutnya program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang dibuka seluas 1,2 juta hektare di Merauke-Papua, juga berujung kegagalan.

Semua proyek ini, di samping memakan anggaran yang tidak sedikit, juga mengakibatkan deforestasi dan rusaknya kawasan gambut.

Berkaca dari kondisi masa lalu serta pandangan para ahli tentang pemanfaatan lahan gambut, tanah bekas gambut sebenarnya tidak layak dikembangkan untuk kawasan pertanian intensif.

Potensi kerusakan lingkungan pun amat besar dalam pengembangan kawasan food estate. Sebab lahan gambut memiliki karakteristik ekosistem berupa satu kesatuan.

Jika satu bagian terganggu, maka akan menimpa gambut di sekitarnya yang menyebabkan menurunnya kemampuan serapan air gambut. Akibatnya bisa banjir dan lebih buruk lagi akan memunculkan gambut kering dan mudah terbakar. Dampak ini makin signifikan ketika proyek irigasi selesai nantinya.

Oleh karenanya, lahan bekas gambut harusnya bukan dibangun proyek baru, tetapi semestinya dipulihkan dan dikembalikan kepada karakternya.

Apalagi berdasarkan data yang disebutkan Greenpeace Indonesia, lahan untuk food estate berupa kawasan hutan yang merupakan Blok D dan E bekas proyek PLG masa Orba.

Di satu sisi, kapitalisasi pertanian ini makin mengukuhkan penguasaaan lahan oleh korporasi. Model pertanian dengan pelibatan korporasi, bisa dipastikan akan diberikannya izin konsesi untuk pengelolaan lahan.

Padahal, salah satu problem krusial di sektor pertanian adalah ketimpangan kepemilikan lahan antara petani dan korporasi.

Menjadikan kawasan food estate sebagai solusi atas masifnya alih fungsi lahan pertanian, ibarat jauh panggang dari api. Bahkan akan menimbulkan ancaman lebih parah dan berlangsung lama, sebagaimana karhutla yang tiap tahun terus memakan korban.

Solusi ini tidak menyentuh akar masalah. Sejatinya alih fungsi lahan terjadi karena tidak jelasnya visi ketahanan dan kedaulatan pangan pemerintah.

Sesungguhnya, negara lebih berpihak pada korporasi, sementara dukungan dan perlindungan kepada rakyat termasuk petani sangat minim. Hal ini menyebabkan petani sulit sejahtera, karena berjuang menghadapi raksasa korporasi sendiri tanpa hadirnya negara.

Kemiskinan dan mahalnya beban hidup serta biaya produksi pertanian yang juga tinggi adalah faktor utama yang mendorong petani menjual lahannya sehingga memicu alih fungsi lahan.

Absennya negara dan gurita korporatisasi menimbulkan ketimpangan tajam antara petani tradisional dengan korporasi dalam kepemilikan aset pertanian, permodalan, hingga saprodi pertanian.

Bahkan distorsi pasar pangan karena praktik kartel dan pedagang-pedagang besar, jelas-jelas merugikan petani, namun tidak bisa diatasi pemerintah.

Harus ada perubahan yang mendasar dalam tata kelola pertanian. Sistem kapitalisme neoliberal hari ini telah gagal menghentikan alih fungsi lahan yang berlangsung masif.

Berbeda dengan pemerintahan neoliberal, pemerintahan Islam yaitu Khilafah hadir untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah, sekaligus mengurusi seluruh urusan umat termasuk pangan.

Ketahanan pangan menjadi salah satu pilar ketahanan negara, dalam kondisi damai maupun kondisi perang. Karenanya, ketahanan dan kemandirian pangan menjadi hal yang mutlak diwujudkan Khilafah.

Peran utama untuk mewujudkannya ada di pundak Khalifah atau pemerintah. Rasulullah Saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari).

Dalam hadis lain Beliau Saw. bersabda, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).

Karena itu, Khalifah tidak boleh mengalihkan peran ini kepada pihak lain apalagi korporasi. Dan untuk merealisasikannya akan mengacu pada syariat Islam yang berlandaskan Alquran dan Sunah Rasulullah Saw..

Terkait peningkatan produksi pangan, Khilafah diperbolehkan melakukan kebijakan ekstensifikasi lahan yang akan memperhatikan konsep pengaturan lahan dalam Islam.

Selain itu, kebijakan tersebut diambil semata untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir pihak oligarki maupun kepentingan penguasa sendiri, serta tanpa menimbulkan kemudaratan lebih.

Sebagaimana hadis dari Rasulullah Saw.: لاَ ضَرَرَ Ùˆَلاَ ضِرَارَ yang artinya: “Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.” (HR Imam Ahmad).

Pelaksanaan hukum-hukum ini akan menjaga terdistribusikannya lahan pertanian kepada orang-orang yang membutuhkan. Semua lahan pertanian akan terus hidup, terkelola, dan tercegah dari masifnya alih fungsi. Kebijakan ekstensifikasi yang mungkin diambil Khalifah, tidak akan menimpa lahan-lahan milik umum seperti hutan.

Hanya saja, implementasi konsep ini harus sejalan dengan aturan-aturan Islam lainnya, baik bidang politik, ekonomi, keuangan, pendidikan, dsb. Tidak mungkin dijalankan kecuali oleh pemerintahan Islam yakni Khilafah.

Sebab hanya khilafahlah institusi yang akan melaksanakan syariat Islam secara kaffah dan sungguh-sungguh dalam meri’ayah urusan umat. Wallaahu a’lam bi ash shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post