Larangan Mudik Yang Tak Tentu Arah Disistem Kapitalis



Oleh Desi Anggraini 
(Pendidik Palembang)

Pengamat Transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata (UNIKA) Semarang, Djoko Setijowarno menyarankan, agar pelarangan mudik Lebaran 2021 berjalan efektif, pemerintah diminta terbitkan Peraturan Presiden(Perpres). Penerbitan Perpres itu, bertujuan untuk keberlangsungan usaha di bisnis transportasi umum darat wajib mendapatkan bantuan subsidi, seperti halnya moda udara, laut dan kereta.

lebih lanjut Djoko menjelaskan, bahwa Keputusan pelarangan mudik sebenarnya empirik based on data. Setiap kali selesai liburan panjang, angka penularan covid-19 pasti meningkat signifikan.Sebelumnya, pemerintah kembali melarang mudik Lebaran 2021. larangan ini juga dilakukan pada tahun lalu dengan alasan untuk mencegah naiknya angka positif Covid-19.

Menurutnya, hal ini secara psikologis akan membuat menurunkan kepercayaan (low trust) terhadap kebijakan pandemi covid-19, utamanya vaksinasi. Vaksinasi bisa dianggap gagal jika terjadi ledakan penderita covid pasca Lebaran dan akan semakin membuat masyarakat tidak percaya kepada pemerintah. 
( Liputan6, 28 /03/2021)

Ribuan orang lolos bisa sampai ke kampung halaman. Meski dalam pemberitaan, ada penyekatan antar wilayah, tetap saja, pemudik dengan segala daya usahanya bisa menembus aneka barikade itu, mulai dari praktek komuflase hingga pemanfaatan jalur-jalur "tikus".

Kucing-kucingan pemilik kendaraan pribadi yang menjadi sarana biro perjalanan (travel) gelap karena menggunakan plat kendaraan pribadi/hitam dengan petugas jamak terjadi.

Karena itu, agaknya wajar saja jika rencana pelarangan mudik tahun ini layak mendapatkan masukan dan pertanyaan kritis dari pihak terkait.

Bukannya menghasilkan kebijakan yang dapat menyelamatkan rakyat namun, malah semakin membingungkan rakyat. Inilah kondisi negeri jika dipimpin oleh pemimpin yang menganut sistem kapitalis.

Kebijakan yang “asal jadi” akan makin membingungkan publik dan berakhir pada kegagalan mereka menjaga nyawa rakyat.

Setiap episode dari kebijakan yang diterapkan oleh rezim kapitalis biasanya sudah dapat ditebak oleh publik jalan ceritanya. Lagi-lagi rakyat yang nanti disalahkan, sementara para pejabatnya pintar bersilat lidah menyatakan bukan tanggung jawab mereka.

Publik hanya gigit jari sekuat-kuatnya sambil menahan setiap derita yang dialami. Inilah kisah manusia yang akan terus berulang selama masih hidup dalam kegelapan sistem kapitalis. Tak ada cahaya harapan kehidupan yang tenang dan damai. Selalu penuh penderitaan dan kesulitan. Bukankah ini yang telah Allah Swt firmankan pada umat-Nya,

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (TQS Thaha:24)

Dalam kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, ayat ini menjelaskan bahwa barangsiapa menolak setiap apa yang diingatkan Allah melalui Alquran dan kitab lainnya, maka baginya di dunia itu kehidupan yang sulit dan sempit serta penuh kegelisahan.

Adapun orang yang beriman, maka dia adalah orang yang dirinya nyaman. dan Kami jadikan orang yang menolak itu buta pada hari kiamat karena kebingungan dan tersesat.

Sejatinya, tugas utama penguasa adalah sebagai pelayan rakyat bukan pelayan para kapitalis. Sebagai pelayan rakyat ia fokus dalam dua hal, yaitu hirasatuddin (melindungi agama mereka) dan siyasatuddunya (mengatur urusan dunia). (Al-Ahkam as-Sulthoniyah, juz I, h 3)

Hirasatuddin berupa jaminan setiap warga negara agar memahami ajaran agamanya masing-masing, mampu mengamalkannya dengan baik, dan melindungi agama mereka dari berbagai bentuk kesesatan.

Sementara tidak lupa ia melakukan siyasatuddunya berupa pelayanan terhadap rakyat agar bisa hidup layak sebagai manusia yang bermartabat. Menjamin rakyat mendapatkan hak-haknya yaitu dengan memenuhi sandang, pangan dan papan dengan murah serta pendidikan, kesehatan, juga keamanan yang gratis serta berkualitas.

Sebagai pelayan umat pemimpin dalam Islam memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Khalifah Umar ra “sayyidul qaumi khadimuhum” (pemimpin kaum di antaranya diukur dari mutu pelayanannya). Bukan khadi’uhum (pandai menipu mereka).

Bahkan, jika ada salah seorang warganya yang mengeluhkan pola kepemimpinannya, ia akan bermuhasabah diri hingga tak bisa memejamkan mata semalam suntuk.

Penting bagi kita untuk memahami bahwa kualitas kepemimpinan seseorang tidak ditentukan oleh katsratur riwayah (banyaknya meriwayatkan, berpidato), tetapi katsratur ri’ayah wal istima’ (banyak melayani dan banyak mendengar)

Sayang, pemimpin seperti ini tidak mungkin lahir dari rahim sistem demokrasi sekuler yang jauh dari tuntunan Islam. Sistem zalim ini hanya bisa menghasilkan para pemimpin zalim, tidak amanah dan bertanggung jawab. Karena pemimpin yang banyak melayani dan mendengar hanya mungkin lahir dari rahim sistem yang baik yaitu sistem Islam atau Khilafah.

Sebagaimana pada masa kepemimpinan Khalifah Umar ra, yang mengangkat Amr bin Ash sebagai gubernur Mesir untuk merampungkan masalah wabah tha’un. Tak butuh waktu lama untuk ia melihat keadaan yang terjadi di Amwas, ia menyerukan kepada seluruh penduduk untuk mengisolasi dirinya masing-masing.

Amr berkhutbah di depan rakyatnya dan memerintahkan agar pergi jauh hingga rakyat-rakyatnya memencar ke berbagai penjuru. Ada di antara mereka yang pergi ke gunung, bukit, dan ke daerah-daerah terpencil. Inilah yang saat ini kita kenal sebagai social distancing.

Akhirnya wabah tha’un dapat terselesaikan. Rakyat mampu memahami tujuan kebijakan yang diputuskan pemimpinnya. Di samping itu ia juga bertanggung jawab penuh atas konsekuensi pemberlakuannya.

Tidakkah kita merindukan kembali kehadiran sistem Islam di tengah-tengah kita yang bisa melahirkan para pemimpin yang melayani rakyat dan bertanggung jawab?
Wallaahu a’lam bi ash shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post