Narkoba Mengoyak Jantung Kepolisian


Oleh Nur Fitriyah Asri
Pengurus BKMT Kabupaten Jember, Penulis Opini AMK

Peringatan Kapolri diabaikan. Belum genap setahun, tepatnya tanggal 7 Februari 2020. Jenderal Idham Azis saat masih menjabat sebagai Kapolri sering mengingatkan anggotanya agar tidak terlibat kasus narkoba. Beliau tidak segan mengatakan bahwa hukuman mati merupakan hal yang tepat bagi personil tersangka.
Seharusnya polisi sebagai aparat yang mengetahui hukum tidak melanggar hukum.

Nasehat Kapolri Idham masih terngiang begitu jelas. Ironisnya, setahun kemudian pada Selasa (16/2/2021), Kapolsek Astanaanyar, Kota Bandung, Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi bersama sebelas anggotanya, ditangkap oleh petugas profesi dan pengamanan (Propam) Polda Jawa Barat dan Mabes Polri.
Mereka terjerat  mengonsumsi narkoba jenis sabu.

Skandal yang mengoyak jantung kepolisian tersebut, tentu mendapat kecaman berbagai kalangan. Termasuk Indonesia Police Watch (IPW). "Kasus polisi terlibat narkoba selalu berulang. Namun, ini yang pertama kali ada serombongan polisi ditangkap karena terlibat narkoba. Kedua belas polisi itu, seperti gerombolan mafia narkoba yang sedang beraksi yang dipimpin Kapolseknya," ujar Ketua Presidium IPW, Neta S. Pane, saat dihubungi MNC portal, (17/2/2021).

Seperti yang dikatakan Kapolri Jendral Tito Karnavian bahwa pada 2018, anggotanya yang mengonsumsi narkoba meningkat. Dalam catatan Polri terdapat 244 anggotanya yang diproses pidana dan 297 anggotanya ketahuan   mengonsumsi narkoba.
Dengan adanya penangkapan Kapolsek Antanaanyar, Kompol Yuni Purwanti beserta sebelas anak buahnya, menambah daftar panjang. Membuat pelanggaran disiplin dan pidana terkait narkoba di tubuh kepolisian grafiknya bertambah meningkat.

Wajar, jika ada korelasi yang signifikan dengan jumlah pengguna dan pengedar narkoba yang menggurita di Indonesia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) bahwa jumlah pengguna narkoba tahun ini meningkat menjadi 3,6 juta orang. 

Tidak heran, jika masalah narkoba dari tahun ke tahun mengalami peningkatan hingga  merambah ke semua kalangan dan menyasar di berbagai jenjang usia. Hal ini disebabkan sistem hukum yang cacat dari asasnya. 

Di samping itu, pecandu narkoba tidak dipandang sebagai pelaku tindak kriminal (kejahatan). Melainkan, dianggap seperti orang sakit. Sebagaimana yang dituturkan oleh Gories Mere, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), "Pecandu narkoba seperti orang yang terkena penyakit lainnya. Mereka harus diobati, tetapi menggunakan cara yang khusus." (Kompas.com, 4/10)

Di sisi lain, sanksi hukum yang diberikan terlalu lunak. Bahkan, bukan rahasia lagi hukum bisa dibeli. Vonis hukuman mati pun yang diharapkan bisa memberi efek jera, justru dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) dan grasi presiden. Pun demikian, bandar dan pengedar yang menjalani hukuman berpeluang mendapat potongan masa tahanan di setiap peringatan hari besar agama maupun di hari peringatan kemerdekaan Republik Indonesia.
Lemahnya sistem peradilan dan pengawasan yang diterapkan di Indonesia, menjadikan surga bagi koruptor dan narkoba.

Tidak heran, jika pencegahan dan pemberantasan narkoba selama ini jauh panggang dari api, gagal alias tidak berhasil. Buktinya, di rumah tahanan pun bisa berlangsung transaksi narkoba seperti di Lapas.

Mereka bebas melakukan apa saja, merasa aman karena polisi yang seharusnya menjaga dan mengawasi ternyata ikut bermain di dalamnya. Jaringan narkoba di lingkup lapas seakan menjadi fenomena "gunung es". Sebab, para pelakunya profesional, mempunyai jaringan yang rapi hingga manca negara. Terjadi transaksi, ada permintaan tentu ada pemasok, ada bandar dan ada yang memasarkan. Para napi bisa leluasa karena ada yang memberi akses. Siapa? 

Untuk membongkarnya tentu sulit, tidak cukup memidanakan dan mengganti oknumnya, artinya hanya bersifat tambal sulam. Sejatinya kerusakan disebabkan dari asasnya yaitu sekularisme yang diadopsi negara ini. Sistem yang meminggirkan aturan Allah. Agama tidak boleh mengatur kehidupan di ranah publik, baik kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Wajar, jika individu-individunya tidak takut berdosa. Mereka menginginkan kebebasan dalam segala hal. Inilah yang menjadi pangkal kerusakan di semua lini kehidupan.

Di samping itu, umat tidak menyadari adanya skenario busuk musuh-musuh Islam. Mereka sengaja merusak umat Islam dengan mencekoki ide-ide kufur, narkoba dan lainnya. Agar akalnya lemah dan mudah diadu domba. Dijauhkan dari agamanya, dirusak akidahnya, sehingga umat Islam menjadi islamofobia yakni takut, bahkan membenci agamanya. Itulah upaya musuh-musuh Islam dan antek-anteknya yang terus berusaha menghadang dan membendung tegaknya khilafah.

Oleh sebab itu, untuk menghapus ide-ide kufur dan memutus mata rantai distribusi serta penggunaan narkoba sampai seakar-akarnya, tidak lain hanya dengan mengganti sistemnya. Yakni, kembali pada sistem Islam yang diridai Allah.

Sistem Islam yang berasaskan akidah Islam. Dalam hal ini, syariat mewajibkan semua individu, masyarakat dan negara dalam beraktivitas apa pun harus berlandaskan akidah Islam. Dengan akidah yang kokoh akan menjadi insan takwallah yaitu menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah.

Terhadap narkoba, Islam tidak memandang remeh.  Di kalangan ulama sepakat narkoba diharamkan karena dua hal, yakni ada nash yang mengharamkan dan menimbulkan bahaya bagi manusia karena dapat menghilangkan akal.

Seperti hadis dari Abdullah bin Umar ra. menuturkan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Syariat Islam melarang jual beli barang haram. Bahkan terkait khamr dan narkoba, "Rasulullah mengutuk sepuluh golongan yang terkena imbas dosanya yaitu pembuatnya, pengedarnya, peminumnya, pembawanya, pengirimnya, penuangnya, penjualnya, pemakan hasil penjualnya, pembelinya dan pemesannya." (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)

Bagi yang melakukan pelanggaran tersebut di atas, akan dikenai sanksi ta'zir. Secara syar'i ta'zir bermakna sanksi yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had dan kafarat. 

Sanksi yang diberikan baik bentuk, jenis, dan kadarnya diserahkan kepada ijtihad khalifah atau qadhi yang mewakilinya. Sanksi bisa berupa:  nasehat dan peringatan, pewartaan (disiarkan di masyarakat umum), dicambuk, pengasingan, dipenjara, penyitaan harta, ganti rugi, salib, hingga hukuman mati. Semuanya itu, dengan mempertimbangkan tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat.

Hukum Islam sangat adil karena berasal dari Zat Yang Maha Adil. Jika pelaku jarimah (kejahatan) sudah mendapatkan sanksi sesuai dengan ketentuan hukum syarak, maka baginya besok di akhirat tidak dihisab atau dimintai pertanggungjawaban. Sebab, hukum Islam sebagai jawabir (penebus dosa). Juga sebagai zawajir (pencegahan),
karena pelaksanaannya begitu adil dan dipersaksikan oleh khalayak umum, sehingga menimbulkan efek jera. 

Kedua sifat yang dimiliki oleh hukum Islam yakni jawabir dan zawajir tidak ada dalam sistem sekuler. Artinya, meskipun di beri sanksi hukuman mati pun, tetap besok di akhirat dimintai pertanggungan jawab oleh Allah.

Syariat Islam juga mewajibkan negara menerapkan Islam kafah, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah, ayat 208.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا ادۡخُلُوۡا فِى السِّلۡمِ کَآفَّةً ۖ وَلَا تَتَّبِعُوۡا خُطُوٰتِ الشَّيۡطٰنِ‌ؕ اِنَّهٗ لَـکُمۡ عَدُوٌّ مُّبِيۡنٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS. al-Baqarah [2]: 208)

Ketika syariat Islam diterapkan secara sempurna, maka keagungan, kemuliaan Islam baru bisa dirasakan. 
Sebab, negara diwajibkan untuk memenuhi dan menyediakan kebutuhan pokok rakyatnya (pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan keamanan).

Di samping itu, semua bentuk 
pelanggaran akan diberi sanksi yang tegas dan adil, otomatis peluang pelanggaran hukum syarak  tertutup. 

Jadi, syariat Islam adalah problem solving yang dapat menyelesaikan masalah narkoba seakar-akarnya dengan tuntas dan semua masalah lainnya tanpa menimbulkan masalah baru.

Wallaahu a'lam bishshawaab

Post a Comment

Previous Post Next Post