Dualisme Rezim Saat Ini



Oleh: Mulyaningsih
(Pemerhati Masalah Anak, Remaja, dan Keluarga)

Hari berganti hari, Februari kini telah menyapa kita. Berbagai kejadian mewarnai negeri ini dan silih berganti kebijakan menjadi suatu hal yang pasti terjadi. Termasuk pada permasalahan yang hilir mudik mewarnai negeri ini.

Seperti yang baru-baru ini menjadi sorotan publik adalah terkait dengan dinar dan dirham. Pekan ini Bareskim Mabes Polri resmi menahan Zaim Saidi (Pendiri Pasar Muamalah) di Depok, Jawa Barat. Zaim menjadi tersangka setelah pemberitaan terkait koin dinar dan dirham yang menjadi alat traksaksi pembayara di pasar. (cnnindonesia.com, 07/02/2021)

Zaim ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan berdasarkan ketentuan pasal 9 UU No 1 tahun 1946 tentang peraturan Pidana dan/atau pasal Pasal 33 UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Di sisi lain, PP Muhammadiyah mempertanyakan proses hukum terhadap aktivitas Pasar Muamalah yang menggunakan dinar dan dirham dalam bertransaksi. Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ekonomi (KH Anwar Abbas) membandingkan hal tersebut dengan banyaknya penggunaan uang asing termasuk dolar, dalam transaksi wisatawan asing di Bali. Menurutnya, jika transaksi menggunakan uang asing berlangsung masif di Indonesia, maka kebutuhan rupiah tentu akan menurun. Sehingga bisa-bisa nilai tukar rupiah akan menurun dan tidak baik bagi perekonomian nasional. (kumparan.com, 05/02/2021)

Terkait hal ini, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyatakan transaksi menggunakan koin dinar dan dirham di Pasar Muamalah tersebut melanggar aturan sistem keuangan Indonesia. Menurut Ma’ruf, penggunaan mata uang Rupiah sudah diatur dan menjadi alat transaksi yang sah dalam sistem keuangan Indonesia. Karena itu, pemakaian dinar dan dirham untuk alat transaksi dianggap tak sesuai aturan.

Kombes Pol Ahmad Ramadhan mengatakan, Zaim Saidi menjalankan Pasar Muamalah untuk komunitas masyarakat yang ingin berdagang dengan aturan yang mengikuti tradisi pasar di zaman Nabi. (kumparan.com, 04/02/2021).

Fakta di atas bagai dua sisi mata uang. Di sisi yang lain pemerintah berupaya menggaungkan syariat islam lewat Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Namun, di sisi yang lain justru pemerintah dengan tegasnya menolak syariat Islam. Padahal sejatinya hal tersebut hanya bagian kecil saja. Sebut saja pada kasus dinar dirham, kriminalisasai para ulama, represif terhadap ASN, dan kasus jilbab di SMK N 2 Padang.

Semua yang dilakukan sebagai bentuk upaya untuk menghilangkah sisi syar’i yang melekat erat pada Islam. Telah nyata bahwa rezim kian gencar untuk melakukan berbagai macam upaya untuk mengeluarkan berbagai kebijakan anti-Islam. Dan tentunya kembali lagi, mengkriminalisasi pada istilah syar’i. Ataukah juga ingin membendung keberadaan atau posisi umat yang sekarang kian dekat dengan aturan Islam, walaupun jika ditakar masih dalam sisi individu semata. Di sisi lain apakah juga rezim ingin membuat definisi sendiri terkait dengan syar’i itu sendiri? Sehingga menggiring umat untuk terus menuju pada pengertian sesuai atau merujuk pada versi rezim.

Allah Swt. berfirman, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisaa: 59)

Makna syar’i yang sesuai tentunya berasal dari sumber yang benar, bukan berasal dari akal manusia semata. Sumbernya jelas yaitu berasal dari Al-Quran dan Sunah serta dalil-dalil syariat (Al-Quran, Sunah, Ijmak Sahabat, dan Qiyas). Sehingga tidak terlontar definisi tanpa ada sumber secara pasti. Tentunya kita semua mengerti bahwa dalam sistem sekarang ini (sekuler) semua hal boleh dilakukan alias ‘bebas’ dan tak ada istilah halal serta haram. Tolak ukur yang ada dalam benak mereka adalah sisi manfaat (maslahat) saja. Utamanya dari kaca mata ekonomi, yaitu mendatangkan tambahan ‘income’ bagi mereka. Sebagaimana saat sebelumnya, dana haji telah digunakan secara pasti untuk proses pembangunan negeri. Dan saat ini kembali melirik dengan tajam pada sisi wakaf umat yang dinilai begitu banyak kisarannya. Sehingga antusias untuk mengelolanya dengan baik.

Sedih memang, jika kita melihat hal tersebut. Namun, apa yang kemudian bisa kita lakukan? Tentunya tetap berada pada koridor yang sesuai dengan syar’i dan senantiasa menyampaikan kebenaran. Maka insyaAllah lambat laun umat akan sadar dan paham akan makna sesungguhnya tanpa peduli lagi terhadap definisi dari penguasa yang sedang berkuasa.

Berbagai istilah yang sering kita dengar nampaknya menjadi deretan kata yang dianggap tak sesuai atau selalu di framing jahat. Seperti istilah khilafah, jihad, poligami, jilbab, dan khimar di posisikan sebagai deret kata pesakitan yang keberadaannya mengancam dari HAM (Hak Asasi Manusia).

Begitulah gambaran nyata rezim saat ini, ibarat dua sisi mata uang yang saling bertentangan. Ssatu sisi melirik pada Islam, namun pada sisi sebaliknya bersikeras bahkan menentang dengan segenap jiwa raga terkait dengan hal tersebut. Padahal sejatinya Islam adalah jawaban atas seluruh persoalan kehidupan manusia. Sebagaimana pernah diterapkan selama 1300 tahun lamanya.

Walhasil, sekarang makin membuka mata kita bahwa rezim saat ini benar-benar telah anti-Islam.
Innalillahi, Astagfirullah. [ ]

Post a Comment

Previous Post Next Post