Sistem Sekuler Lahirkan New Malin Kundang


Oleh : Etti Budiyanti
Member AMK dan Komunitas Muslimah Rindu Jannah

Siapa yang tak kenal cerita Malin Kundang? Cerita asal Sumatera Barat yang berkisah tentang seorang anak durhaka yang dikutuk menjadi batu. Syahdan, tersebutlah seorang janda Mande Rubayah yang hidup bersama anak laki-lakinya bernama Malin Kundang. Saat Malin Kundang beranjak dewasa, ia memohon izin pada ibu tercintanya untuk merantau. Meski dengan berat hati, akhirnya keinginan tersebut dikabulkan ibunya. Namun sayang, saat ia telah sukses, justru tak mengakui ibunya. Akhirnya keadilan Tuhan-lah yang bicara. Doa ibu yang dizalimi dikabulkan Tuhan. Badai menghantam kapal Malin Kundang, hingga terkutuklah ia menjadi batu. 

Cerita itu sudah lama terjadi. Seharusnya bisa diambil ibrahnya bahwa kita harus menjadi anak yang berbakti kepada orangtua. Tapi ternyata, di era milenial ini kejadian anak durhaka bak Malin Kundang masih marak terjadi.

Dilansir oleh detik.news, Sabtu, 9 Januari 2021, berawal cekcok soal baju, seorang anak di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, melaporkan ibunya ke polisi. Pihak kepolisian akhirnya menahan ibunya, karena berkasnya sudah lengkap atau P21.

Di Nusa Tenggara pun, seorang anak melaporkan ibunya gegara uang warisan jatah ibunya dibelikan sepeda motor. Untungnya pihak Kasat Reskrim Polres Lombok Tengah AKP Priyo Suhartono masih bisa berpikir jernih. Laporan M (40), warga asal Lombok Tengah, NTB, yang melaporkan ibu kandungnya, K (60), ditolak. Priyo meminta permasalahan ini diselesaikan secara kekeluargaan. 

Kasus-kasus di atas adalah yang terungkap media. Sungguh memilukan. Seorang ibu yang seharusnya mendapat penghormatan tertinggi, justru dizalimi oleh anak yang dilahirkannya. Sejatinya, apa sebenarnya penyebab merebaknya kasus anak durhaka ini?

Sekularisme Biang Keladi Fenomena Anak Durhaka

Akar masalah perseteruan ibu dan anak seperti kasus di atas sejatinya adalah akibat kesalahan sistem. Sistem sekuler yang memisahkan agama dalam kehidupan, telah menjadikan aturan-aturan agama tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Yang diinginkan oleh sistem sekuler adalah kebebasan. Baik kebebasan berakidah, berpendapat, berkepemilikan ataupun bertingkah laku. 

Agama menempatkan ibu sebagai seorang yang harus dihormati. Bahkan penghormatannya sampai tiga kali dibanding terhadap ayah. Namun, sistem sekuler menafikan hal itu. Bagi para penganut sekularisme, menjalankan interaksi keluarga itu selalu bernilai materi, karena manfaat menjadi asas ideologi ini.  Hubungan anggota keluarga diukur untung dan rugi. Hingga bukan hal yang aneh, bila ada permasalahan tidak diselesaikan secara kekeluargaan tapi justru mencari keadilan di kepolisian. Tak heran bila seorang anak melaporkan ibunya ke polisi adalah hal yang lumrah dalam sekularisme. Keharmonisan dalam keluarga adalah hal yang langka.

Nilai-nilai kebebasan atau liberal yang menginginkan kebebasan sebesar-besarnya, gagal menghasilkan penghormatan kepada ibu. Bagaimana akan muncul ketenteraman dan ketenangan dalam keluarga jika hidup tak mau diatur dengan aturan sang pencipta manusia. Yang muncul justru generasi bak Malin Kundang karena tak mengenal takut akan dosa. 

Islam Mewujudkan Terciptanya Fungsi Keluarga

Keluarga adalah bagian terkecil dari masyarakat. Sebuah keluarga akan menjadi harmonis manakala antaranggota keluarga saling mendukung, menolong,  dan menghormati.

Idealnya keluarga itu mempunyai delapan fungsi, yaitu: 

Pertama, fungsi reproduksi. 
Melalui pernikahan, keluarga memiliki tujuan untuk melestarikan keturunan. Tentu saja yang kita inginkan adalah keturunan yang bertakwa. Generasi bertakwa hasil dari didikan orangtua yang bertakwa. Oleh karena itu, saat memilih pasangan hidup pun, Allah sudah memberikan kriteria. Mendahulukan agama daripada rupa atau harta.  

Kedua, fungsi ekonomi. 
Dengan berkeluarga, kemandirian ekonomi diharapkan terbentuk. Keluarga yang mandiri dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya.

Ketiga, fungsi edukasi. 
Keluarga seharusnya adalah tempat pertama dan utama dalam membina anak menjadi insan beriman dan bertakwa. Di sinilah peran penting ayah dan ibu dalam pendidikan buah hatinya, bukan sekadar menyerahkan pada sekolah. 

Keempat, fungsi sosial. 
Keluarga mencerminkan status sosial seseorang, bahkan kadang prestise keluarga. Contohnya:  anggota keluarga yang punya pendidikan, menunjukkan sebuah keluarga intelektual. Anggota keluarga yang saleh dan salihah,  menunjukkan keluarga baik-baik. Rumah yang nyaman, rapi,  dan bersih, mencerminkan taraf hidup keluarga. Namun, sekarang banyak dijumpai keluarga yang cuek dengan masing-masing anggota keluarganya, apakah anggotanya berperilaku baik atau buruk. Ketika anak berperilaku tak terpuji, nama baik orangtua hancur. Seperti anak terlibat narkoba, hamil di luar nikah atau melakukan tindak kriminalitas.

Kelima, fungsi protektif.
Melindungi anggota keluarga dari berbagai ancaman adalah tanggung jawab keluarga. 

Keenam, fungsi rekreatif. 
Keluarga merupakan pusat rekreasi untuk anggota keluarganya. Penting berprinsip rumah adalah surgaku. Setiap anggota keluarga berperan mewujudkan tawa, canda, dan kegembiraan. 

Ketujuh, fungsi afektif. 
Keluarga sebagai tempat bersemainya kasih sayang, empati dan kepedulian. Meski hal ini fitrah, namun banyak keluarga yang mengabaikannya. Banyak keluarga yang terasa formal saat berinteraksi dengan anggota keluarga yang lain. Seorang ayah, setelah lelah seharian bekerja, hanya menjadikan rumah sebagai tempat tidur saja. Anak-anak yang telah menjadi remaja dan menemukan dunianya, menjadikan rumah sekadar tempat singgah. Hanya sebatas minta uang saku jika ingat ayah dan ibu.

Kedelapan, fungsi religius. 
Keluarga adalah tempat pertama anak mengenal nilai keagamaan. Anak-anak dididik agama sejak dini, ayah menjadi imam dan ibu mengenalkan anak-anak pada generasi sahabat. Ayah dan ibu menjadi penyampai ajaran Islam, anak-anak menjadi sasaran pertamanya. 

Jika kedelapan fungsi di atas bisa terlaksana, niscaya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, akan tercapai. 

Tetapi, semua aturan Islam itu hanya bisa dicapai dengan ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan peran negara. 

Individu-individu bertakwa akan berupaya membentuk keluarga sakinah, mawaddah,  warahmah, yang hanya bisa terealisasi bila menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. 

Kontrol masyarakat dengan senantiasa beramar makruf nahi mungkar. 

Peran negara dengan membuat aturan-aturan yang tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadis serta memastikan terlaksananya aturan tersebut. Sanksi akan diberikan kepada siapa pun yang melanggar aturan tanpa tebang pilih.  Sehingga, dengan penerapan Islam kafah dalam naungan sistem Islam, akan terwujud keluarga samawa. Tidak akan ada lagi generasi new Malin Kundang.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post