SISTEM ISLAM MENCEGAH LAHIRNYA KEPEMIMPINAN OTORITER


Oleh: Ulfah Husniyah, S.Pd

Democracy Index 2017 yang dirilis The Economist mencantumkan, dari 167 negara yang disurvei, penurunan terbesar dalam kebebasan demokrasi terjadi di Indonesia. Peringkat demokrasi Indonesia turun dari peringkat ke-48 di dunia ke peringkat ke-68 hanya dalam waktu satu tahun. Penurunan iklim demokrasi ini akibat gaya kepemimpinan otoriter Jokowi. Di mata para pengamat politik asing, “Sekarang para kritikus dan para pendukung Jokowi sama-sama bertanya, seberapa aman sebenarnya (demokrasi) Indonesia dari kemunduran menjadi Negara otoriter,” tulis Matthew Busch dalam artikelnya berjudul, “Jokowi’s Panicky Politics,” yang ditulis di laman Majalah Public Affairs.

Para pengamat asing menunjuk tindakan Jokowi membubarkan HTI, pembubaran berbagai aksi gerakan #2019GantiPresiden, penggunaan instrument hukum untuk menekan lawan politik, dan pelibatan kembali militer dalam politik sebagai indicator perubahan arah dan gaya pemerintahan Jokowi. “Jokowi terbukti menjadi pemimpin yang tidak sabar dan reaktif. Dia dengan mudah tersentak oleh ancaman politik. Seperti banyak politisi Indonesia, tampaknya dia nyaman menggunakan alat-alat tidak liberal untuk mempertahankan posisi politiknya,” tulis Eve Warburton dan Edward Aspinall dalam artikel berjudul, “Indonesian Democracy: from Stagnation to Regression?” di laman The Strategist yang diterbitkan Australian Strategic Policy Instititut. 

Salah satu indikasi matinya demokrasi yang ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dalam How Democracies Dies, adalah membungkam kelompok oposisi. Hal ini dilakukan rezim Jokowi terhadap kelompok-kelompok yang vocal menentang kebijakan Pemerintah. Tuduhan yang sering diberikan adalah upaya makar terhadap Pemerintah. Nama-nama seperti Sri Bintang Pamungkas, Aditya Warman hingga mantan Pangkostrad Kivlan Zein masuk di dalamnya. Semua menjadi tersangka percobaan makar. Pada tahun 2020, ketika sejumlah tokoh nasional mendeklarasikan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), yang melibatkan sejumlah nama seperti Said Didu, Syahganda Nainggolan, Rocky Gerung, MS Ka’ban, lagi-lagi mereka seperti jadi sasaran penangkapan. Tak berapa lama, sejumlah tokoh KAMI diciduk aparat. Lagi-lagi dengan tuduhan makar. Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana masuk dalam daftar penangkapan. 

Penyebab semua ini terjadi karena kesalahan otoritarianisme dan para penganutnya ialah memandang kekuasaan bukan sebagai sarana, melainkan untuk tujuan, yang penting bagi mereka adalah bagaimana kekuasaan berfungsi, digunakan dan ditampakkan. Apa yang hendak dicapai, bagaimana cara mencapainya, dan nasib orang-orang yang diikutsertakan dalam pencapaian tidaklah penting. Di dalam sistem sekular, penguasa menjadikan kekuasaan sebagai tujuan. Penguasa tersebut akan berusaha untuk melanggengkan kekuasaan. Untuk maksud itu, berbagai cara ditempuh, termasuk mengubah undang-undang yang mengatur masa jabatan.

Kekuasaan yang represif tidak selalu muncul dari penguasa yang merebut kekuasaan melalui jalur kudeta atau penggulingan penguasa yang sah secara paksa, tetapi justru berawal dari proses yang paling demokratis, yaitu pemilihan umum. Levitsky dan Ziblatt menuliskan bahwa Adolf Hitler, Benito Mussolini dan Hugo Chavez memang gagal meraih tampuk kekuasaan lewat kudeta, tetapi berhasil menjadi diktator usai melalui proses pemilihan umum. Proses tersebut sekaligus juga awal tumbuhnya otoritarianisme dan perilaku rezim yang repsesif. Sistem demokrasi yang bertumpu pada falsafah pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme) justru menjadi pintu masuk yang sangat efektif bagi tumbuh suburnya rezim yang otoriter dan represif. Dengan dalih atau klaim telah mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui proses demokratis (Pemilu), penguasa kemudian dapat mengambil kebijakan sesuai dengan kehendaknya. Menempuh segala cara, tanpa peduli batasan halal-haram, untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dan legitimasi atas setiap kebijakan yang diambilnya. Upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK, pelemahan institusi MK melalui revisi UU MK, kriminalisasi lawan-lawan politik melalui revisi UU ITE, dan sejumlah kenijakan lainnya, dilakukan untuk menguatkan legitimasi kekuasaannya sekaligus melemahkan kekuatan kelompok yang bersebrangan dengannya.

Disamping itu, para penguasa dalam sistem demokrasi yang dipilih melalui proses pemilihan umum memerlukan modal yang sangat besar agar dapat memenangkan kontestasi, karena biaya politik untuk memenangkan kontestasi sangat mahal (high cost politic), menjadikan setiap kontestan akan sangat bergantung pada keberadaan para pemodal yang bersedia menopang baiya politik untuk pemilihan. Di sinilah kemudian segelintir pemilik modal tersebut (oligarki) bersekutu dengan penguasa yang terpilih untuk meraih tujuannya, dengan mengabaikan kepentingan rakyat. Keberadaan rezim represif merupakan keniscayaan sejarah. Ini sebagaimana disabdakan oelh baginda Rasulullah saw.: ”Akan dating ke pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu pendusta dibenarkan. Orang yang benar didustakan. Pengkhianat diberi amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Saat itu Ar-Ruwaibidhah berbicara.” Ditanyakan, “Apakah Ar-Ruwaibidhah?” Beliau bersabda.”Seseorang yang bodoh tetapi sok mengurusi urusan orang banyak.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad).

Islam mempunyai sejumlah perangkat atau sistem yang dapat mencegah dan menangkal agar penguasa dalam sistem Islam tidak menjelma menjadi kekuasaan yang otoriter maupun represif. Politik Islam bermakna pengaturan urusan umat dengan aturan-aturan Islam, baik di dalam maupun luar negeri. Aktifitas politik dilaksanakan oleh rakyat (umat) dan pemerintah (Negara). Pemerintah/Negara merupakan lembaga yang mengatur urusan rakyat secara praktis. Umat mengontrol sekaligus mengoreksi (muhasabah) pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Penguasa dalam Islam diangkat untuk mengurusi berbagai kepentingan rakyat sesuai dengan syariah Islam seperti mengurus ekonomi (pemenuhan kebutuhan asasi rakyat, pertanian, perdagangan, perindustrian, pengelolaan keuangan serta pengelolaan pemilikan umum dan Negara), keamanan dalam negeri, hubungan luar negeri, jihad, hukum (uqubat), social budaya, dll. 

Proses pemilihan penguasa dalam Islam juga sederhana dan murah, sehingga tidak diperlukan adanya para pemodal untuk menyokong proses kontestasi. Dengan begitu para penguasa yang terpilih pun bisa fokus untuk mengurusi kepentingan rakyat, karena tidak terbebani untuk balas budi kepada para pemilik modal atau oligarki. Dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu Daulah Khilafah, penguasa atau Khalifah memerintah dengan bersandarkan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya atau hukum Syari’ah. Dengan demikian, standar hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan rakyat, khususnya dalam masalah muamalah sangat jelas, yaitu syariah Islam. Khalifah dalam kebijakannya harus selalu merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah. Kalau kebijakan atau perintah Khalifah menyimpang dari sumber hukum itu maka ia tidak wajib ditaati. Oleh karena itu, dalam Islam ada kewajiban untuk mengoreksi penguasa yang menyimpang. Islam mengingatkan pentingnya mengoreksi kezaliman penguasa meskipun taruhannya adalah kematian. Para Khalifah juga tak ragu-ragu untuk meminta diluruskan jika menyimpang dari syariah.

Post a Comment

Previous Post Next Post