Politisasi Agama dalam Demokrasi


Oleh : Eti Setyawati
(Pegiat Literasi dan Member AMK)

Presiden Ir. H. Joko Widodo baru saja merombak kembali kabinetnya. Presiden melantik enam menteri baru dan lima wamen pada Rabu, 23/12/2020. Yaqut Cholil Qoumas terpilih menjadi Menteri Agama menggantikan Fachrul Razi, yang menjabat hanya satu tahun lebih.

Gus Yaqut, begitu akrab disapa, demikian sapaan akrab tokoh NU yang pernah menjabat sebagai anggota DPR dari Fraksi PKB. Beliau juga mantan Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Anshor yang acapkali menjadi sorotan. Komentar-komentarnya kontroversial, bahkan rawan memecah belah. 

Belum sehari dilantik, dalam akun Facebook resminya, Menag menulis, “Jangan ada lagi pemanfaatan agama untuk membenturkan kelompok satu dengan yang lain. Jangan ada lagi agama sebagai kendaraan untuk 
pencapaian tujuan politik yang mengganggu stabilitas negara." Pernyataan Menag menyoal pemilu beberapa waktu lalu, yang mana tidak sedikit calon legislatif maupun presiden yang memainkan isu berlatar agama dalam kampanye mereka.

Kompetisi politik di Indonesia memang terasa panas ketika pembahasan berkisar isu agama. Narasi agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik sebagai sumber perebutan suara. Bukan saja pada partai Islam, bahkan oleh partai berhaluan nasionalis.

Lihat saja gaya para kontestan yang terpampang di spanduk, baliho atau poster. Rata-rata menggunakan
peci dengan senyum menawan penuh santun. Mendadak tampak islami sekalipun mereka nonmuslim. Bukan rahasia lagi jika politisasi agama menjadi strategi utama untuk meraup sebanyak-banyaknya suara. Terutama suara umat Islam dengan penganut terbesar di Indonesia.

Menjadi hal yang lumrah bila jelang pemilu banyak politisi yang sowan pada para ulama, menyambangi pesantren, adu ayat Al-Qur’an atau hadis. Bahkan menggandeng tokoh agama sebagai pasangannya maju ke kancah politik. Tak peduli apakah kapabel atau tidak di bidangnya. 

Inilah potret demokrasi, apa saja bisa terjadi. Karena yang dipakai adalah aturan manusia dengan segala
keterbatasannya. Termasuk pemanfaatan agama untuk meraih tujuan-tujuan politiknya.

Namun, mirisnya para pengusung demokrasi kerap menyerang kelompok-kelompok Islam politik. 
Menudingnya sebagai pelaku politisasi agama. Menyematkan istilah radikalisme sebagai bentuk propaganda agar masyarakat ramai-ramai memusuhinya. Seolah-olah Islam politik membahayakan kehidupan dan mencederai keberagaman.

Sesungguhnya ini adalah bentuk ketakutan kaum sekuler akan bangkitnya Islam. Mereka berusaha menjauhkan Islam dari penganutnya. Umat digiring untuk menjalankan agama (Islam) dalam perspektif Barat. Yang mana agama hanya menyangkut hubungan privat antara manusia dengan Tuhan, mengatur hanya pada aspek terbatas seperti ibadah ritual dan moralitas.

Perlu dipahami bahwa agama tidak bisa dilepaskan dari politik. Sebaliknya, politik semestinya bersandar pada tata aturan Agama. Islam adalah agama sempurna, mengatur segala aspek kehidupan mulai dari urusan politik, ekonomi, hukum, sumber daya alam, hankam, dan lain-lain. Pengaturan seluruh urusan umat dengan syariat Islam itulah yang disebut sebagai politik Islam.

Apa jadinya bila politik dijauhkan dari Islam. Kehidupan masyarakat akan rusak, sagala aturan akan ditabrak. Alih-alih mewujudkan kesejahteraan masyarakat, yang ada semakin menyengsarakan rakyat. Kata sejahtera hanya milik golongan tertentu saja.

Penerapan sistem demokrasi pada kenyataannya tak mampu menyejahterakan rakyat. Aturan bisa saja diubah sesuai kepentingan penguasa. Yang tampak saat ini adalah banyak kebijakan lebih berpihak pada korporasi.

Berbeda dengan sistem Islam yang bersandar pada aturan Allah Swt. Tak pernah berubah dan diterapkan secara adil merata sampai kapan pun. Firman Allah Swt. dalam QS. al-Maidah ayat 50, "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?"

Saatnya mencampakkan sistem kufur dan kembali pada kemuliaan Islam dalam naungan Daulah Khilafah Ala Minhajin Nubuwwah.

Wallaahu a'lam bishshowaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post