Musibah Ajang Muhasabah


Oleh: Erna Ummu Azizah

Belum usai pandemi di Bumi Pertiwi, kini dihadapkan dengan berbagai bencana alam di musim penghujan. Salah satunya musibah banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan.

Pilu, melihat para korban yang berjatuhan. Anak-anak dan bayi pun tak luput dari beban penderitaan. Kedinginan, kelaparan juga berbagai penyakit datang menyerang.

Sebagai seorang Muslim tentu kita yakin bahwa Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Dia tidak mungkin membebani di luar kemampuan hamba-Nya.(QS. Al-Baqarah: 286)

Namun, kenapa banyak musibah dan bencana terjadi. Allah SWT berfirman:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Artinya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (dampak) perbuatan mereka. Semoga mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini bisa menjadi renungan bahwa kerusakan di muka bumi dan di lautan tidak lain terjadi karena buah tangan manusia. Dampak dari kerusakan ini kemudian berimbas kepada bukan hanya pelaku kerusakan, tetapi juga kepada semuanya.

Bisa kita lihat faktanya hari ini. Sejumlah daerah di Kalimantan Selatan (Kalsel) terendam banjir pada beberapa hari terakhir. Setidaknya 1.500 rumah warga di Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalsel kebanjiran. Ketinggian air mencapai 2-3 meter.

Saat dikonfirmasi, Staf Advokasi dan Kampanye Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, M. Jefri Raharja menegaskan banjir tahun ini lebih parah daripada tahun-tahun sebelumnya.

Curah hujan yang tinggi selama beberapa hari terakhir jelas berdampak dan menjadi penyebab banjir secara langsung. Kendati demikian, masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus juga turut andil dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan selama ini.

Jadi, bencana semacam ini terjadi akibat akumulasi dari bukaan lahan tersebut. Fakta ini dapat dilihat dari beban izin konsesi hingga 50 persen dikuasai tambang dan sawit. (Kompas.com, 15/01/2021)

Seperti kita ketahui, akar-akar pohon dari hutan heterogen dapat membantu tanah mengikat dan menyimpan air hujan. Nah, berkurangnya secara drastis pohon-pohon, jelas akan membawa bencana.

Tak dipungkiri sistem sekuler kapitalis yang diterapkan di negeri ini telah menjadikan materi sebagai standar kebahagiaan. Manusia berlomba-lomba mengejar harta dan tahta tanpa peduli halal haram, dosa maupun siksa.

Wajar jika manusia menjadi miskin empati. Berbuat sesuka hati, tak peduli meski itu menzolimi. Hal ini nampak dari perilaku individu, masyarakat maupun penguasanya.

Maka, benarlah ketika Allah memperingatkan bahwa musibah yang terjadi bukan semata takdir, namun ada ulah tangan manusia. Disinilah pentingnya kita muhasabah, merenungi dan introspeksi agar kondisi ini tidak terus terjadi.

Sesungguhnya Allah SWT, Sang Pencipta dan Pengatur manusia telah menyiapkan seperangkat aturan yang sempurna dan paripurna untuk kebaikan manusia, itulah sistem Islam. Aturan di dalamnya mencakup semua aspek kehidupan. Mulai dari masalah akidah, ibadah, akhlak, ekonomi, pendidikan, kesehatan, peradilan, juga pemerintahan.

Semuanya begitu lengkap, dan jika diterapkan akan menghadirkan kebaikan dan keberkahan. Sebagaimana firman-Nya di dalam Al-Qur'an:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. Al-A’raf: 96)

Namun sayang, saat ini aturan-Nya diabaikan. Maka jangan heran jika berbagai musibah dan kesempitan terus terjadi. Sudah saatnya kita berbenah. Jadikan musibah sebagai ajang muhasabah, agar kita kembali kepada syariat-Nya. Semoga Allah berkenan menurunkan ampunan dan keridhoan-Nya. 
Berharap negeri tercinta ini menjadi baldatun thoyyibatun wa robbun ghofûr. Wallahu a'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post