Pandemi Covid-19 sudah berlangsung berbulan-bulan lamanya, hampir
satu tahun tenaga kesehatan di Indonesia menjadi tameng yang berdiri di garda
terdepan menangani ratusan ribu pasien positif Covid-19. Bukan hal yang mustahil
jika para nakes mengalami kelelahan baik secara psikis maupun fisik, atau
bahkan berubah status menjadi pasien. Menurut catatan LaporCOVID-19 hingga 28 Desember 2020, total ada 507 nakes dari 29
provinsi di Indonesia yang telah gugur karena Covid-19 dan sebanyak 96 di
antaranya meninggal dunia pada Desember 2020 yang merupakan angka kematian
nakes tertinggi dalam sebulan selama pandemi berlangsung di Tanah Air. Ketua
Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi
mengatakan, kematian nakes di Indonesia tercatat sebagai kematian paling tinggi
di Asia (Kompas.com). Sedangkan menurut Inisiator Pandemic Talks, Firdza
Radiany dalam webinar, Kamis, 3 Desember 2020, jumlah nakes yang meninggal di
Indonesia jauh lebih besar dari kematian Covid-19 warga Singapura, Thailand,
Vietnam, Kamboja, Brunei, Laos. Menurut Firdza, data tersebut menunjukkan bahwa
penanganan pandemi di Indonesia belum maksimal atau sangat buruk. Bahkan, positivity
rate atau tingkat penularan di Indonesia konsisten 14-15 persen
selama beberapa bulan. Padahal standar WHO itu maksimal 5 persen (Tempo.com).
Abainya
negara harus dibayar mahal dengan nyawa, seruan protokol kesehatan dan
kebijakan-kebijakan penanganan pandemi dibuat dengan mengutamakan sektor
perekonomian yang jelas hanya menguntungkan segelintir orang. Kematian seolah
hanya angka yang terus bertambah, nyawa jadi satu hal yang tidak ada harganya.
Padahal dalam Islam, penjagaan nyawa (hifzhu an-nafsi) menjadi hal yang
sangat diperhatikan. Islam menjaga nyawa lebih berharga dari dunia dan
seisinya. Allah SWT berfirman:
مَن
قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ
النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan
karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di
muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Siapa saja yang
memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya (QS al-Maidah [5]: 32).
Nabi saw. pun pernah bersabda:
لَزَوَالُ
الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Sungguh dunia ini hancur lebih ringan di sisi
Allah daripada seorang Muslim yang terbunuh (HR an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Pemimpin
adalah Raa’in yang tidak boleh
meremehkan pengurusan rakyat dalam hal apapun termasuk pemeliharaan atas nyawa.
Perlindungan dan pemeliharaan syariah Islam atas nyawa manusia dilakukan dengan
serius dan diwujudkan melalui berbagai hukum dan kebijakan salah satunya dalam
bidang kesehatan. Pelayanan Kesehatan dalam
sejarah Khilafah Islam terbagi menjadi tiga aspek yaitu:
pembudayaan hidup sehat, pemajuan ilmu dan teknologi kesehatan, serta
penyediaan infrastruktur dan fasilitas kesehatan. Pembudayaan hidup sehat telah
dicontohkan oleh Rasulullah untuk mencegah penyakit seperti menekankan
kebersihan, mengkonsumsi madu; dll. Kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup
sehat menjadi kunci majunya teknologi kesehatan, hadirnya tenaga professional
kesehatan, dan juga terbangunnya sarana dan prasarana pendukung dalam bidang
kesehatan. Kaum Muslim secara sadar melakukan
penelitian-penelitian ilmiah di bidang kedokteran dan memberikan kontribusi
yang luar biasa di bidang kedokteran. Kaum Muslim benar-benar memimpin dunia di
bidang kedokteran, baik secara preventif maupun kuratif, baik di teknologinya
maupun manajemennya. Misalnya Jabir al-Hayan atau Geber (721-815 M) yang menemukan
teknologi destilasi, pemurnian alkohol untuk disinfektan, serta mendirikan
apotik yang pertama di dunia yakni di Baghdad, Abu al-Qasim az-Zahrawi yang
merupakan Bapak ilmu bedah modern, dan Ibnu an-Nafis yang merupakan Bapak
Fisiologi peredaran darah sebagai
perintis bedah manusia. Prestasi yang ada tidak lain karena negara
mendukung aktivitas riset kedokteran untuk kesehatan umat. Tidak
main-main, negara juga membangun rumah sakit di hampir semua kota di Daulah
Khilafah untuk mempercepat penyembuhan pasien di bawah pengawasan staf yang terlatih
serta untuk mencegah penularan kepada masyarakat. Pada zaman Pertengahan, hampir
semua kota besar Khilafah memiliki rumah sakit. Di Cairo, rumah sakit
Qalaqun dapat menampung hingga 8000 pasien sekaligus digunakan untuk pendidikan
universitas serta untuk riset.
Contoh-contoh di atas hanya sedikit gambaran dari majunya
bidang kesehatan dalam daulah Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa kaum Muslim
terdahulu memahami bahwa sehat tidak hanya urusan tenaga kesehatan, tetapi juga
menjadi kesadaran dan urusan masing-masing untuk menjaga kesehatan. Selain itu
ada pula sinergi yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen
kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan Muslim yang memikul tanggung
jawab mengembangkan teknologi kedokteran. Negara menganggap kesehatan sebagai
kebutuhan primer rakyat yang wajib dijamin pemenuhannya oleh negara.
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ اْلْ ِمَامُ ر
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya (H.R. Bukhari).
Post a Comment