IMPOR KEDELAI DAN KETAHANAN PANGAN


Penulis : Hasriati, S.Pi 
(Pegawai Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe)

Drama hilangnya tahu tempe di pasaran di awal tahun, berakhir pada naiknya harga tahu tempe.  Ini disebabkan karena lonjakan harga bahan baku tahu tempe, yaitu kedelai. Langkah aksi mogok produksi ditempuh para pengrajin tahu tempe dengan harapan  pemerintah bisa segera mengendalikan  lonjakan harga kedelai tidak terwujud.  Padahal tahu tempe merupakan menu harian di nusantara.

Badan Pusat Statistik mencatat rata-rata komsumsi perkapita sebulan di Indonesia  tahu sebanyak 0,65 kg senilai Rp. 5.252 dan tempe sebanyak 0,60 kg senilai Rp. 5.324 (Publikasi Pengeluaran Untuk Komsumsi Penduduk Individu Per Provinsi, 2020 dari data Susenas Maret 2020)

Di Balik Lonjakan Harga Kedelai

Lonjakan harga kedelai secara nasional dipengaruhi oleh kenaikan harga kedelai di pasar dunia.   Data The Food and Agriculture Organization (FAO), menyebutkan harga rata- rata kedelai Desember 2020 naik 6 persen dibanding bulan sebelumnya, yaitu US$461 per ton dari US$435 per ton di bulan November 2020.  (cnbcindonesia.com,3/1/2021)

Salah satu faktor utama kenaikan harga kedelai adalah lonjakan permintaan kedelai dari China kepada Amerika Serikat selaku eksportir kedelai terbesar di dunia.  Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan menyebut, kenaikan permintaan  kedelai Tiongkok kepada Amerika Serikat, dua kali lipat dari biasanya.     Akibatnya ekspor Amerika ke negara lainnya terganggu, termasuk Indonesia.

Jika dilihat secara rinci komposisi ketersediaan kedelai nasional didominasi oleh kedelai impor.  Jumlahnya bahkan mencapai 90 persen.    Impor kedelai terbanyak berasal dari Amerika Serikat.  Badan Pusat Statitik mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang semester I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai 510,2 juta dolar AS atau sekitar Rp.7,24 triliun (kurs Rp.14.200). Sebanyak  89,8 persen atau 1,14 juta ton diantaranya berasal dari Amerika Serikat.

Mencermati kondisi besarnya volume impor kedelai.  Sementara kedelai  merupakan pangan penduduk Indonesia, tentu menyisakan pertanyaan pada publik.  Bagaimana dengan produksi kedelai dalam negeri? Bukankah Indonesia  merupakan negara agraris?

 Menurut Anis Byarwati, Anggota DPR, Kementerian Pertanian sempat menargetkan produksi kedelai pada 2019 bisa mencapai 2,8 juta ton untuk memenuhi kebutuhan yang diperkirakan mencapai 4,4 juta ton.  Namun, hingga Oktober 2019 hanya mencapai 480.000 ton (16,4 % dari target). Pada tahun 2018 juga sama, dari target 2,2 juta ton, produksi kedelai hanya terealisasi 982.598 ton.  Nampaknya, pemerintah kesulitan menggenjot produksi dalam negeri. (Bisnis.com 6 Januari 2021)

Ketergantungan Impor, Ancam Ketahanan Pangan

Ketidakstabilan harga komuditi  produk impor, bukan pertama kali terjadi.  Lonjakan harga barang impor selain kedelai, memperlihatkan fenomena yang sama, seperti gula pasir, bawang putih dan lainnya.  Harga komuditas tersebut sulit untuk dikendalikan.  Harga komuditas impor dipengaruhi oleh nilai mata uang  dan supply and demand .  Nilai mata uang rupiah yang tidak stabil dan cenderung melemah, sehingga Indonesia membutuhkan banyak rupiah untuk membeli barang impor.  Akhirnya harga yang dilepas di dalam negeri pun melonjak.  Belum lagi pengaruh saat  permintaan naik  di pasar dunia sementara persediaan tetap, apalagi terbatas, menjadikan harga komuditas tersebut  terus melambung.

Dampak kenaikan harga kedelai  yang signifikan tentu akan  memberatkan masyarakat, baik petani, industri olahan kedelai maupun konsumen. Terlebih tahu tempe merupakan  sumber protein masyarakat akar rumput.    Karena mayoritas masyarakat Indonesia tak mampu memenuhi kecukupan protein yang berasal dari hewani.  Hal ini  semakin mengancam   kecukupan kebutuhan protein.

Dengan demikian kebijakan yang bertumpu pada impor sangatlah mengkhawatirkan.  Menggantungkan diri pada impor, juga mengancam ketahanan pangan.  Tentu sangat menyedihkan, negeri yang kaya raya dengan kesuburan tanahnya malah mengimpor pangan dari negara lain.

Visi mewujudkan kemandirian pangan dan jaminan pasokan pangan, selayaknya senantiasa harus menjadi prioritas perhatian semua pihak, terutama pihak  pemerintah.   Dengan visi kemandirian pangan, tentu pemerintah akan bekerja keras meningkatkan produksi kedelai lokal dengan kualitas unggul dan tidak mengandalkan impor, melalui berbagai kebijakan baik intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian.  Hal ini demi mewujudkan pemenuhan salah satu kebutuhan dasar rakyat berupa pangan.  Karena sudah menjadi tugas negara, memberi perlindungan bagi rakyatnya.

Beragam kebijakan baik intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian harus ditingkatkan.  Intensifikasi dilakukan dengan meningkatkan produktifitas lahan yang sudah ada.  Negara dapat mengupayakan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di kalangan petani, membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk  dan faktor pendukung lainnya seperti irigasi.  Karenanya pengembangan Iptek pertanian penting, agar negara secara mandiri bisa meningkatkan produktifikas dan kualitas unggul.  Sementara kebijakan ekstensifikasi berkaitan dengan menghidupkan tanah mati, yang bisa diberikan kepada petani yang tidak memiliki lahan. Dengan demikian bisa memperluas jumlah lahan yang ditanami kedelai.

Pelaksanaan kebijakan tersebut tentu demi mewujudkan kesejahteraan rakyat.  Salah satunya  pemenuhan  kebutuhan dasar rakyat berupa pangan.  Karena sudah menjadi tugas negara, memberi perlindungan dan pelayanan bagi rakyatnya.  Rasulullah saw telah mengingatkan, “ Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al Bukhari).

Wallahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post