Bencana Alam Akibat Pembangunan Eksploitatif


Oleh:
Wa Ode Rahmawati
(Pemerhati Sosial)
 
Hutan ibarat paru-paru dunia. Hutan merupakan kawasan yang ditumbuhi pepohonan lebat yang banyak memberi manfaat untuk sekitar, tak terkecuali manusia dan menjadi tempat tinggal satwa langka.  Salah satu manfaat hutan sebagai pemberi oksigen terhadap manusia. Disisi lain, Hutan berfungsi mencegah banjir. Akar pepohonan di hutan akan menjadi penahan air ketika hujan lebat. Akar-akar pohonnya membantu tanah menyerap  laju air yang berpotensi menciptakan banjir bandang. 
 
Kalimantan  (Borneo) adalah salah satu wilayah Indonesia yang disebut juga sebagai salah satu paru-paru dunia, tersebab hutannya yang luas. Namun  sepertinya  “paru-paru dunia” tersebut sudah tak layak lagi disandang oleh Borneo sebab meluasnya konversi hutan menjadi lahan pertambangan dan perkebunan dari tahun ke tahun. Dilansir dari suara.com  (15/1/2021), berdasarkan laporan tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi, belum lagi perkebunan kelapa sawit yang mengurangi daya serap tanah. Dari total luas wilayah 3,7 juta hektar hampir 50 persen sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
 
Pembangunan Eksploitatif yang Sekuler Kapitalistik
 
Bencana alam yang melanda beberapa wilayah di Indonesia bukanlah hal yang baru terjadi. Utamanya bencana banjir yang berulang setiap tahunnya, seolah menjadi kado tahunan bagi Indonesia. Begitu pula di awal tahun 2021 ini. Curah hujan yang tinggi disebut sebagai penyebab dari bencana banjir yang merendam ribuan rumah warga dengan ketinggian air antara 2-3 meter.
 
Namun, berbeda dengan Koordinator Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional Eko Rakhman, mengatakan bahwa curah hujan yang tinggi bukanlah penyebab utama terjadinya banjir besar yang merendam sejumlah daerah di Kalimantan Selatan beberapa hari terakhir. Ada faktor lain yaitu berkurangnya wilayah hutan  yang beralih fungsi menjadi tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Banjir yang terjadi, tambahnya menjadi tanda bahwa Kalimantan Selatan sudah berada dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis sebab dari 3,7 juta hektar wilayah hutan yang ada di Kalimantan Selatan, hampir setengahnya sudah ada izin konsesi di atasnya.
 
"Ketika sebuah ekosistem rusak dan dampaknya berimbas ke masyarakat, bukan ke para pemegang izin. Kami mengindikasikan sangat kuat bahwa itu ada korelasinya dengan banjir yang besar hari ini." (voaindonesia.com, 21/1/2021)
 
Staf Advokasi dan Kampanye Lingkungan Hidup Walhi Kalsel M. Jefri Raharja Jefri juga mengatakan  masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus-menerus turut andil dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan Selatan selama ini. “Antara 2009 sampai 2011 terjadi peningkatan luas perkebunan sebesar 14 persen dan terus meningkat di tahun berikutnya sebesar 72 persen dalam 5 tahun sedangkan untuk tambang, bukaan lahan meningkat sebesar 13 persen hanya 2 tahun. Luas bukaan tambang pada 2013 ialah 54.238 hektar,” ujarnya.
 
“Pembukaan lahan atau perubahan tutupan lahan juga mendorong laju perubahan iklim global. Kalimantan yang dulu bangga dengan hutannya, kini hutan itu telah berubah menjadi perkebunan monokultur sawit dan tambang batu bara. Akhirnya juga mempengaruhi  dan memperparah  bencana di kondisi ekstrem cuaca karena berkurangnya secara drastis pohon-pohon yang akarnya mengikat dan menyimpan air  pada musim penghujan.” Imbuhnya (kompas.com, 15/1/ 2021).
 
Bencana alam yang menimpa  manusia adalah takdir dari Allah, itu adalah area yang tidak dikuasai manusia. Namun, sesungguhnya dibalik itu semua adalah ulah perbuatan tangan manusia. Sebagaimana Allah swt  berfirman: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”  Qs. Ar-Rum: 41.
 
Bencana alam akibat kerusakan ekologis  adalah buah yang mengiringi pembangunan eksploitatif ala sekuler kapitalistik. Pembangunan yang dilakukan serampangan menyebabkan hutan yang semestinya menjadi kawasan resapan air dialihfungsikan menjadi kawasan bisnis pertambangan dan perkebunan, dengan mengabaikan keseimbangan alam dan tanpa melihat dampak ekosistem yang terjadi terhadap masyarakat hingga bencana pun tak terelakkan setiap tahunnya.
 
Hal ini diperangaruhi  oleh sistem kapitalis sekuler yang menjadikan kebebasan kepemilikan sebagai dasar mengatur ekonomi, hingga membuat hutan yang seharusnya berfungsi sebagai  daerah resapan diubah menjadi lahan bisnis. Pengambilan kebijakan dibuat dengan mempertimbangkan ada tidaknya pemasukan bagi kantung pemerintah, bukan lagi kondisi lingkungan. Sebab, sistem ini meniscayakan adanya orang-orang yang hanya menginginkan keuntungan  materi belaka hingga mengorbankan rakyat sebagai penerima dampak dari kebijakan salah yang diambilnya. Konversi hutan tidak akan terjadi  apabila  keputusan dan kebijakan yang diambil pemerintah tegas dalam menata tata ruang atau lahan.
 
Namun, berharap  pada sistem kapitalis sekuler adalah bagai pungguk merindukan bulan, mustahil. Maka, rakyat membutuhkan sistem yang mampu menata tata lahan dengan memperhatikan keseimbangan alam dan dampak pada lingkungan serta masyarakat.
 
Islam Sebagai Solusi Tata Kelola Lingkungan
 
Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam. Tidak ada perkara yang tidak diatur oleh Islam termasuk menata tata ruang atau lahan. Islam  mengatur  hak kepemilikan  individu, umum dan negara. Hutan adalah salah satu milik umum yang harus dikelola oleh negara bukan individu, swasta ataupun asing, untuk kepentingan rakyat. Pembangunan yang dilakukan pun memperhatikan karakter alam, dengan tidak mengalifungsikan lahan-lahan yang menjadi daerah resapan air hujan menjadi lahan bisnis perkebunan maupun pertambangan.
 
Negara  membuat keputusan dan mengambil kebijakan pembangunan berdasarkan penelaahan para ahli sesuai dengan ketentuan syariat, untuk kemashlahatan masyarakat bukan untuk memenuhi kepentingan  segelintir orang, individu, swasta atau asing demi mencapai materi. Negara bertanggung jawab melindungi rakyat sebab negara sebagai peri'ayah dan penanggung jawab urusan rakyat.
 
Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam: “Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
 
Tata kelola hutan dan lingkungan dalam Islam mengutamakan keselamatan masyarakat. Negara dengan tegas akan melarang adanya pembukaan lahan oleh swasta sebab hutan adalah milik umum dan berpotensi menjadi penahan laju air hujan dan memberi sanksi jera bagi siapapun yang tidak mengindahkan aturan itu. Jikapun ada pertambangan, lubang-lubang bekas tambangnya akan direklamasi dan dilakukan reboisasi, tidak akan ditinggalkan begitu saja. Semua itu hanya bisa terwujud hanya dengan menerapkan tata kelola Islam secara menyuluruh. Wallahu a'lam bish-shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post