BENCANA ALAM AKIBAT PEMBANGUNAN EKSPLOITATIF


Oleh : Haura Az-Zahra

Indonesia kembali diselimuti duka mendalam di awal tahun 2021. Belum berakhir pandemi Covid-19 yang semakin hari semakin meningkat jumlah kasus positifnya. Sekarang bencana pun tak hentinya terjadi di negeri ini. Mulai dari  tragedi pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang jatuh di Kepulauan Seribu, longsor di Subang, gempa bumi di Majene dan Mamuju Sulawesi Barat, hingga pada tanggal 14 Januari 2021 lalu terjadi banjir besar di Kalimantan Selatan. Innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun..

Dikutip dari tempo.co (18/01/21) BNPB mencatat bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan setidaknya merendam 7 kabupaten, diantaranya Kabupaten Tapin, Kabupaten Banjar, Kota Banjarbaru, Kota Tanah Laut, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Balangan dan Kabupaten Tabalong. Presiden Jokowi berkomentar bahwa banjir seperti ini merupakan banjir besar yang lama tak terjadi sudah hampir lebih dari 50 tahun di Kalimantan Selatan .

Tentu hal ini memicu pertanyaan, mengapa banjir besar bisa terjadi di Kalimantan Selatan setelah hampir 50 tahun tidak terjadi? 

Staf Advokasi dan Kampanye Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, M. Jefri Raharja menyampaikan bahwa banjir tahun ini merupakan banjir terparah daripada tahun-tahun sebelumnya. Jefri mengatakan bahwa curah hujan yang tinggi selama beberapa hari terakhir memang menjadi penyebab banjir secara langsung. Namun, masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus juga turut andil dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan (kompas.com 15/1/21). 

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga melakukan analisis penyebab terjadinya banjir bandang di Kalimantan Selatan (Kalsel). Lapan menilai banjir bandang ini akibat dari turunnya populasi hutan primer, sekunder, semak belukar dan sawah dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.  Lapan juga mencatat adanya perluasan area perkebunan secara signifikan sebesar 219 ribu hektar. Selain itu LAPAN juga menganalisis bahwa perubahan penutup lahan di DAS (Daerah Aliran Sungai) Barito sebagai respon terhadap bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan (cnnindonesia.com 19/1/21).

Berdasarkan laporan tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi. Belum lagi perkebunan kelapa sawit yang mengurangi daya serap tanah. Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono mengatakan dari total luas wilayah 3,7 juta hektar hampir 50 persen sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit (suara.com 15/01/21)

Hasil analisis yang dilakukan Lapan serta data-data yang di sampaikan, sungguh membuat kita mengelus dada. Bagaimana tidak? bencana yang terjadi, ternyata disebabkan oleh  tangan-tangan manusia yang serakah. Yang merasakan akibatnya justru masyarakat yang tak berdaya.

Perluasan lahan secara masif dan terus menerus inilah sebenarnya yang memperparah bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan. Apalagi di kondisi cuaca ekstrem dan curah hujan yang tinggi selama beberapa hari kemarin. Ditambah lagi, daya serap air yang kurang untuk menampung air hujan. Bencana alam akibat kerusakan ekologis seperti ini adalah bentuk dari sistem Kapitalisme yang mengiringi pembangunan eksploitatif.

Beginilah faktanya jika kita masih saja hidup di dalam sistem Kapitalisme. Dimana penguasa rela memberikan izin kepada korporasi untuk menguasai sumberdaya alam negara demi keuntungan semata. Akibat dari keserakahannya menguasai hutan, mereka dapat dengan leluasa membakar hutan-hutan tersebut hingga menjadi gundul, sehingga berkurang pula daya resap air oleh tanah.

Sesungguhnya bencana alam yang terjadi bukan hanya sekadar musibah atau takdir dari Allah SWT semata, tapi ada andil manusia di dalamnya. Kebijakan yang diterapkan,  justru mengabaikan perlindungan terhadap alam sekitar dan masyarakat. Penguasa di sistem kapitalis saat ini, lebih mementingkan para korporat demi memenuhi kepentingan mereka. Tidak peduli apa yang akan terjadi kedepannya, hingga menyengsarakan rakyat.

Lalu bagaimana Islam memandang terkait pengelolaan lingkungan, menyerasikan pembangunan dengan karakter alam dan tanggung jawab negara untuk melindungi rakyat dari bencana?

Dalam sistem Islam mengatur tentang kepemilikan harta, seperti kepemilikan individu, umum, dan negara. Sehingga negara tidak akan seenaknya menetapkan kebijakan sesuai kepentingannya. Sumber daya alam seperti hutan dan keanekaragaman hayati lainnya, tidak boleh dikuasai pada satu individu atau swasta. Karena hutan merupakan harta milik umum, yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang. Harta kepemilikan umum akan dikelola oleh Negara hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.

Negara dalam sistem Islam juga akan memetakan, mengkaji, dan menyesuaikan pembangunan infrastruktur dengan topografi dan karakter alam di wilayah tersebut. Negara akan memetakan wilayah mana saja yang pas untuk dijadikan eksplorasi tambang, pertanian, maupun perkebunan tanpa mengabaikan AMDAL di dalamnya.

Pemimpin dalam sistem Islam juga akan selalu melakukan muhasabah ketika terjadi bencana. Seperti yang dikisahkan pada saat masa kepemimpinannya Khalifah Umar bin Abdul Aziz, saat itu terjadi gempa bumi. Ia segera mengirim surat kepada seluruh wali negeri, yang isinya “Amma ba’du, sesungguhnya gempa ini adalah teguran Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barang siapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya.”

Begitulah gambaran jika hukum Islam diterapkan. Sungguh, jika negeri ini menerapkan syariat Islam secara total, keberkahan akan kita rasakan. Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-A’raf ayat 96 yang artinya :
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”. Wallahu’alam..

Post a Comment

Previous Post Next Post