UU KONTROVERSI, KAPAN BERAKHIR?


Oleh : Fitria A, S.Si

Selama setahun terakhir kepemimpinan Presiden Jokowi Makruf Amin, berbagai Undang-undang lahir. Dan tidak kurang dari tiga Undang-Undang memicu kontroversi di tengah masyarakat. UU KPK menjadi polemik pertama di awal periode kedua Jokowi. Pembahasannya telah dimulai jauh sebelum pelantikan periode kedua Jokowi. Rencana revisi UU itu pertama kali muncul di DPR pada 2015 yang memasukkan revisi UU KPK dalam prioritas Program Legislasi Nasional. Namun berbagai penolakan dari masyarakat berbuntut penundaan. Usai Jokowi melakukan pertemuan dengan pimpinan DPR. UU Nomor 19 Tahun 2019 itu akhirnya berhasil disahkan pada 17 September 2019, selang sebulan sebelum pelantikan periode kedua Jokowi. Prosesnya sangat cepat. Usai diketok di paripurna, draf UU tersebut langsung dikirimkan ke presiden di hari yang sama. Pasal-pasal kontroversi yang disorot publik di antaranya soal pembentukan dewan pengawas, pengajuan izin penyadapan, hingga penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Desakan penerbitan Perppu untuk mencabut UU KPK pun mencuat. Namun Jokowi berkukuh tak bakal menerbitkan Perppu.
Pengesahan selanjutnya adalah UU Minerba yang juga mendapat penolakan dari kalangan masyarakat sipil. RUU Minerba yang menjadi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba itu disahkan pada 13 Mei 2020. Sejumlah poin dalam beleid tersebut dinilai hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Beberapa ketentuan yang diubah diantaranya soal penghapusan sanksi bagi pihak yang mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan hingga penghapusan kewajiban untuk melaporkan hasil minerba dari kegiatan eksplorasi dan studi kelayakan. Sistem kebut pengesahan juga terjadi pada revisi UU MK. Pembahasan UU hanya berjalan tiga hari mulai 25-28 Agustus. Perubahan pasal dalam UU tersebut juga mengundang kritik publik. Sejumlah pasal dihapus, diantaranya soal masa jabatan hakim yang sebelumnya lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Sebagai gantinya, hakim dapat diberhentikan dengan hormat apabila berusia 70 tahun. Revisi UU itu disahkan DPR pada awal September di tengah hujan kritik sejumlah kalangan. Koalisi masyarakat sipil menilai materi dalam UU baru itu sarat barter kepentingan antara DPR dan MK.
Teranyar, adalah pengesahan UU Ciptaker yang berujung gelombang demo di berbagai daerah. Kritik dan aksi protes bahkan telah digelar sejak tahun lalu untuk menggagalkan pembahasan RUU Ciptaker. Namun pembahasan terus bergulir di DPR. Pengesahan justru dipercepat menjadi 5 Oktober dari jadwal semula pada 8 Oktober. Pandemi covid-19 menjadi alasan bagi DPR untuk mempercepat proses pengesahan. Penerapan Omnibus Law sendiri telah disampaikan Jokowi sejak dilantik sebagai presiden di periode kedua. Ia selalu menyampaikan bahwa aturan sapu jagat itu bisa memudahkan investasi masuk sehingga tercipta lapangan kerja. Presiden ke-7 RI itu bahkan memberi target 100 hari bagi DPR untuk menyelesaikan pembahasan. Selama hampir kurang lebih enam bulan DPR membahas draf RUU itu bersama pemerintah dan pakar. Hingga akhirnya pemerintah dan DPR sepakat membawa RUU Ciptaker ke rapat paripurna dan disahkan menjadi UU. (www.cnn.indonesia.com)
Apakah Undang-Undang Kontroversi semacam ini hanya lahir di masa pemerintahan Jokowi-Makruf saja?  Di masa pemerintahan SBY, juga pernah terjadi kontroversi UU Pilkada. Presiden SBY saat itu tidak mau menandatangani UU Pilkada, Dalam menolak pengaturan pilkada tidak langsung, Presiden seharusnya menggunakan mekanisme dan tata cara formal yang ada, bukan dengan cara beropini di media sosial sementara wakil resminya mendukung dua opsi yang ada di DPR.
Langkah menyatakan ketidaksetujuan dan menarik diri sebelum masuk ke Pembicaraan Tingkat II pernah dilakukan oleh Presiden SBY baru-baru ini pada pembahasan RUU Tabungan Perumahan Rakyat pada 23 September 2014 lalu. Langkah itu akhirnya menghentikan kelanjutan pembahasan RUU tersebut. Selain itu, keinginan Presiden SBY untuk tidak mengesahkan atau tidak menandatangani UU Pilkada merupakan tindakan yang sama sekali tidak memiliki dampak hukum terhadap keabsahan undang-undang itu. Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 menentukan bahwa sebuah RUU yang telah disetujui bersama tetapi tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak persetujuan bersama itu akan tetap sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan
Jika demikian, maka permasalahannya bukanlah karena siapakah yang sedang menjabat. Kebijakan penuh kontroversi tidak cukup dievaluasi mekanisme lahirnya.  Namun harus dikoreksi secara mendasar dari sumber lahirnya regulasi tersebut. . Dalam sistem Demokrasi, Presiden bersama DPR memang berhak membuat Undang-Undang. Pembuatan Undang-Undang ini tidak jarang dengan melakukan studi banding ke Negara lain, RUU juga harus disertai dengan naskah akademik, dan seterusnya. Undang-Undang yang dibuat tidak hanya menyangkut permasalahan teknis. Namun juga permasalahan-permasalahan pokok yang semuanya disandarkan bukan kepada bagaimana sebenarnya agama mayoritas ini mengatur.
Akan selalu muncul kontroversi dalam  sepanjang pemberlakuan sistem demokrasi baik di aspek substansi, yakni isi yang tdk mewujudkan kemaslahatan publik atau pun di aspek prosedur yang nihil rasa keadilan dan mengabaikan aspirasi rakyat.
Lantas bagaimana seharusnya Islam memberikan aturan mengenai legislasi Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar. Dalam Islam hak membuat hukum hanya untuk Allah saja. Sebagaimana dalam QS 6:57, inil hukmu illa lillah, tak ada Hukum kecuali milik Allah. Maka manusia diberikan kekuasaan di bumi ini, tidak lain hanya untuk menjalankan hukum yang telah Allah tetapkan. Mengenai teknis pelaksanaan rincinya, Rosululloh dan para shahabat telah mencontohkan. Demikian juga para tabiin, tabiut tabiin juga mengikuti jejak yang sama. Tidak akan pernah sama sekali mengadopsi hukum yang tidak berasal dari Islam.

Selain itu, secara alamiah, memang manusia jika dibiarkan membuat hukum, maka yang ada adalah terjadi perselisihan, perpecahan dan pertengkaran. Hal ini sudah Nampak nyata dalam negeri demokrasi manapun. Jargon musyawarah untuk mufakat tidak pernah terjadi. Yang terjadi adalah penghitungan suara terbanyak yang secara tidak langsung memaksa orang yang tidak sepakat untuk sepakat.
Sistem Islam pasti akan melahirkan Undang Undang yang selaras dengan fitrah dan memenuhi kemasalahatan seluruh pihak karena bersumber dari Allah Yang Maha Tahu, Maha Adil dan Maha Mengatur / Al Mudzabir.
Wallohu ‘alam bi Ash Showab.

Post a Comment

Previous Post Next Post