Liberalisasi Hak Rakyat, Adilkah?




Oleh: Selviana
(Aktivis Dakwah Kampus)

Suara penguasa bagaikan suara tuhan, yang tidak boleh diganggu gugat.

Ya begitulah gambaran nasib saudara-saudara kita yang ada di tanah Lombok.
Dilansir oleh lombokpost.co, (13/11/2020) Perkara pembebasan lahan di Bandara International Lombok (BIL) sudah inkrah. Hakim Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi 17 warga yang mengajukan gugatan atas biaya pembebasan lahan di kawasan BIL tersebut. "Bidang Datun (Perdata dan Tata Usaha Negara) Kejati NTB yang mewakili  Angkasa Pura selaku tergugat menang di tingkat kasasi,” kata Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan.

Petikan putusan kasasi diterima bidang Datun, majelis hakim MA yang diketuai H Zahrul Rabain serta dua hakim anggota H Panji Widagdo dan Ibrahim memutuskan menolak permohonan kasasi penggugat. ”Putusan kasasi itu sudah dikeluarkan berdasarkan putusan Nomor: 817K/Pdt/2020” jelasnya.

Dalam petitumnya, warga meminta majelis hakim untuk membayar sisa tanah yang berjumlah 26 bidang tanah seluas 70.880 meter persegi dengan harga Rp 105 miliar. Menyatakan, perbutan yang dilakukan tergugat atau Angkasa Pura telah melakukan perbuatan melawan hukum. Serta menghukum tergugat membayar ganti rugi ke penggugat Rp 3,36 miliar. Namun, pada tingkat pertama, gugatan yang dilayangkan 17 warga itu mental. Majelis hakim PN Praya menolak petitum penggugat.

Dari sini kita bisa melihat bahwa kekuasaan tertinggi itu berada di tangan penguasa, bukan berada ditangan rakyat sesuai slogan demokrasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Tapi dari rakyat oleh rakyat dan untuk penguasa.

Selain itu, kita bisa melihat adanya pelanggaran HAM yang terjadi pada putusan kasasi tersebut, karena telah mempecundangi hak-hak milik rakyat.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi mencakup hak-hak sebagai berikut yaitu hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita dan hak anak.

Kini hak-hak di atas hanya lah tulisan kertas putih yang hanya dijadikan label tapi sedikit sekali diaplikasikan dalam kehidupan nyata, kebijakan yang dibuat hanya formalitas.

ketika sistem kapitalis telah mendarah daging dalam tubuh penguasa, maka jangan heran yang diagungkan dan hormati adalah pemilik modal yang banyak memberikan manfaat. Hak-hak rakyat diabaikan bahkan direnggut demi infastruktur negara, karena dalam sistem kapitalis kebebasan penguasa adalah segala-galanya.

Berbeda halnya dengan kepemimpinan dalam Islam, seperti yang kita ketahui dalam catatan sejarah pada masa Rasulullah saw. hingga sahabat tidak ada satu pun sejarah yang mengatakan bahwa pemimpin dalam sistem Islam menelantarkan rakyatnya demi infastruktur negara, pemimpin yang menzalimi rakyatnya dengan merenggut hak yang seharunya mereka dapatkan dari seorang pemimpin.

Salah satu contoh Umar bin Khattab seorang pemimpin yang terkenal sangat adil. Ketika melihat seorang wanita yang memasak batu untuk anak-anaknya. Umar bin Khattab lantas meneteskan air mata. Ia segera bangkit lalu mengajak Aslam kembali ke Madinah. Sampai di Madinah, Umar pun segera pergi ke Baitul Maal dan mengambil sekarung gandum. Umar langsung mengangkut karung gandum tersebut di pinggangnya. Sembari terseok-seok, khalifah Umar mengangkat karung itu dan diantarkan ke gubuk tempat tinggal perempuan itu, lalu memasak untuk wanita tersebut. 

Ini menandakan bahwa pemimpin dalam Islam, tidak ingin menelantarkan nasib rakyatnya dan tidak ingin mengambil hak rakyatnya.

Begitu indah dan sahajanya Islam menjadi sistem kehidupan. Tidak kah kita rindu merasakannya kembali?

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post