ILUSI PELARANGAN MINOL MELALUI LEGISLASI DEMOKRASI


Oleh : Enung Sopiah
(Ibu Rumah Tangga)

Rancangan Undang-Undang Minol (larangan minuman beralkohol) banyak menuai kontroversi, terutama dikalangan anggota DPR dan pemerintah. Banyak diantaranya yang menanyakan urgensi dari diberlakukannya UU Minol ini. Menurut mereka bahwa minuman beralkohol tidak ada hubungannya dengan tindak kejahatan sehingga menurutnya tidak ada urgensinya untuk diberlakukan UU Minol. Bagi para pengusaha pariwisata tentunya minol ini menjadi pelengkap hiburan dan pemikat wisatawan mancanegara, sehingga akan banyak pemasukan bagi usahanya, bagi para investor perusahaan, minol menghasilkan deviden yang tinggi. Begitu pula bagi pemerintah, bahwa pajak minol ini merupakan salah satu sumber pajak yang menjanjikan. 

Bagi mereka yang mementingkan keuntungan materi saja tidak akan setuju dengan diberlakukannya UU Minol ini. Bahkan menurut anggota DPR dari praksi PKB, Daniel Johan mengatakan RUU Larangan Minuman Beralkohol berkaitan dengan berbagai macam tradisi yang ada di Indonesia, menurutnya RUU Minol ini akan bersinggungan dengan berbagai macam tradisi yang ada di masyarakat.

Seperti yang dilansir oleh tempo.co, Fraksi Golkar dan Fraksi PDIP mengisyaratkan akan menolak RUU Larangan Minuman Beralkohol. Ketua kelompok Fraksi Golkar dibaleg, Firman Soebagjo RUU Larangan minol ini telah dibahas sejak DPR periode 2014-2019, tapi pembahasannya mentok lantaran perbedaan pendapat antara DPR dan pemerintah. 

"Pemerintah ketika mempertahankan terkait pengaturan, tetapi pengusul kukuh terhadap pelarangan,” kata Firman pada Kamis 12 November 2020. Firman juga mengingatkan ada persoalan keberagaman yang perlu diperhatikan.

Namun lain halnya dengan pengusung RUU Minol, mereka dengan gigih terus menyampaikan bahwa minol lebih banyak menciptakan kemudharatan. Menurut salah satu pengusul RUU Larangan Minol, Illiza Sa'aduddin Djamil mengatakan RUU ini bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban dan ketentraman di masyarakat dari para peminum minuman ber-alkohol, Illiza juga mengklaim, bahwa dengan adanya RUU tersebut akan menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol.

Minuman ber-alkohol didalam Islam disebut khomr, dan hukum mengkonsumsinya adalah haram, sesuai dengan firman Allah Swt. yang artinya : "Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khomr (minuman keras), berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan)  itu agar kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu, syetan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?" (QS. Al-Maidah [5] : 90-91)

Dalam Al-Quran jelas sekali bahwa Allah Swt. memberi peringatan kepada umat-Nya akan bahaya khomr, dan Allah Swt. memerintahkan untuk menjauhinya. Faktanya, bahwa minuman beralkohol selain merusak kesehatan juga adalah pangkal dari semua kejahatan, karena ketika meminum minuman beralkohol ini manusia akan tidak sadar dengan apa yang dilakukannya, dengan kata lain lepas kontrol. Khomr menurut bahasa artinya "menutupi", karena orang yang mabuk biasanya tidak sadar akan apa yang diperbuat seakan-akan akalnya tertutup.

Perdebatan pro kontra mengenai pelarangan minuman beralkohol di DPR dan pemerintah sebenarnya hal biasa didalam sistem demokrasi, karena itu sangat tidak mungkin ketika hukum syariat Islam lahir melalui proses demokrasi, karena akan selalu ditentang oleh berbagai pihak, termasuk pihak-pihak yang bernaung dalam parpol Islam, karena sistem demokrasi kapitalis yang berideologi sekularisme itu memisahkan agama dari kehidupan, sehingga Sang Khaliq tidak boleh ikut campur dalam aturan yang akan diterap kan dalam masyarakat, dan sangat ironi ketika hukum syariat Islam digodok di DPR, padahal seharusnya hukum syariat Islam berada diatas  segalanya. 

Firman Allah Swt., artinya : "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu..."(QS. Al-Maidah [5] : 49).

Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman, yang artinya: "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (QS. Al-Maidah [5] : 50).

Jelaslah bahwa hukum syariat Islam tidak akan lahir melalui proses legislasi demokrasi, melainkan tegak bersamaan dengan sistem Islam dalam Daulah Islamiyah.
Wallahu al’am bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post