Dihantui Sertifikat


Oleh: Sumiati | Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif

Ketika bujuk rayu sampai kepada orang awam, maka sangat mudah mereka percaya. Namun, seharusnya jadilah orang yang cerdas, mampu melihat sesuatu dibalik manisnya sebuah ucapan. 

Dilansir Dara.com, 09/11/2020. Kata Jokowi, sertifikat tanah tersebut tanda bukti hak kepemilikan. Jangan sampai rusak, apalagi hilang. ”Kepastian hukum atas tanah tersebut sudah jelas terjamin, sehingga jika tanah mau diagunkan, dipikirkan secara matang tujuannya, misalnya kalau untuk penambahan modal dan meminjam ke bank jangan sampai menjadi kredit macet, karena tanah tersebut bisa disita bila tidak kebayar kreditnya,“ ujar Jokowi, Senin kemarin (09/11/2020).

Pemberian banyak Sertifikat ibarat jebakan bagi masyarakat. Apalagi jika diperuntukkan agar bisa diagunkan. Jelas hal ini adalah fasilitas untuk melakukan maksiat kepada Allah. Pelanggaran hukum syara terkait riba pun difasilitasi oleh negara. Bahkan hal ini akan menjadikan sertifikat diambil bank. Lalu bagaimana kepemilikan tanah pun terancam disita oleh pemilik modal. Lagi-lagi negara abai kepada rakyat, lepas tangan dari tanggungjawabnya. Bahkan cenderung seperti lintah darat.

Dalam kondisi sempit ekonomi, pastinya masyarakat awam tak akan pikir panjang untuk menggadaikan sertifikat. Mereka akan berpikir sesaat, maka keputusan yang diambil pun akhirnya membelit mereka, seperti dalam lingkaran setan. Dan yang paling parah adalah masyarakat tidak paham, jika ini adalah jebakan yang menggerogoti kebahagiaan mereka. Seolah ditolong, padahal sesungguhnya mereka dibunuh perlahan. Ibarat sebuah analogi, "seekor katak yang ditaruh di dalam panci, kemudian dipanaskan dengan api sedang, pada mulanya katak merasa hangat dan nyaman, tetapi akhirnya ia akan menemui ajalnya karena terpanggang". Na'udzubillaahi min dzaalik. Apakah kita pun memilih senasib dengan katak itu?

Cara-Cara Memperoleh Kepemilikan Tanah dalam Islam 

Menurut Abdurrahman Al-Maliki, tanah dapat dimiliki dengan 6 (enam) cara menurut hukum Islam, yaitu melalui : (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah, (4) ihya`ul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), (6) iqtha` (pemberian negara kepada rakyat). (Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hal. 51).
Mengenai jual-beli, waris, dan hibah sudah jelas. Adapun ihya`ul mawat artinya adalah menghidupkan tanah mati (al-mawat). Pengertian tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Menghidupkan tanah mati, artinya memanfaatkan tanah itu, misalnya dengan bercocok tanam padanya, menanaminya dengan pohon, membangun bangunan di atasnya, dan sebagainya. Sabda Nabi saw. ”Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Bukhari) (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 79).

Tahjir artinya membuat batas pada suatu tanah. Nabi saw. bersabda, ”Barangsiapa membuat suatu batas pada suatu tanah (mati), maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Ahmad).

Sedang iqtha`, artinya pemberian tanah milik negara kepada rakyat. Nabi saw. pada saat tiba di kota Madinah, pernah memberikan tanah kepada Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Nabi saw. juga pernah memberikan tanah yang luas kepada Zubair bin Awwam. (Al-Nabhani, ibid., hal. 119).
Wallaahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post