Wanita dan Kepemimpinan


Oleh: Yeyet Mulyati | Ibu Rumah Tangga dan Pengemban Dakwah

 Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tengah menjadi salah satu sorotan publik yang menuai banyak protes dari berbagai pihak karena diselenggarakan masih dalam suasana pandemi Covid-19.

Terlepas dari pro dan kontra penyelenggaraan pilkada tersebut, penulis -sebagai Ibu Rumah Tangga-, hanya akan memberikan komentar terhadap salah satu pasangan calon kepala daerah (Cakada) dari kabupaten Bandung Nomor Urut 2, Yena Iskandar Ma'soem yang berpasangan dengan Atep.

Calon Bupati Bandung Nomor Urut 2, Yena Iskandar Ma’soem bertekad akan melakukan perubahan di Kabupaten Bandung. Ia memiliki cita-cita untuk mengubah Kabupaten Bandung lebih baik ke depannya di berbagai sektor.

Wanita muslim memang sejak lama telah ikut serta meramaikan perpolitikan dunia dan diantaranya banyak yang berhasil menjadi pemimpin di berbagai negara di dunia. Semakin terbukanya kesempatan bagi wanita muslim dalam mengenyam pendidikan lebih tinggi telah mendorong kaum muslimah di seluruh dunia untuk semakin terlibat di bidang politik. Hal ini dapat terlihat dari angka partisipasi perempuan muslim di bidang politik yang semakin meningkat.

Islam itu agama Allah Swt.  Ajaran-ajaran-Nya  yang  berupa  pokok-pokok  aqidah  (kepercayaan) dan  pokok-pokok  syariat  (peraturan)  telah disampaikan  kepada  Nabi  Muhammad  Saw. Islam memposisikan wanita sesuai dengan fitrahnya. Secara hak dan kewajiban sebagai hamba Allah Swt. tidaklah memiliki perbedaan. Wanita dituntut untuk menjadi hamba Allah Swt. yang taat. Perbedaannya hanya terletak pada teknis bagaimana beribadahnya kepada Sang Khaliq.

Di dalam Islam, tidak ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan politik atau agama dan kepemimpinan, semuanya satu kesatuan. Karena hidup kita ini diatur oleh agama dari hal yang paling kecil sampai pada hal yang terbesar. Hidup adalah tingkah laku, dan tingkah laku dibatasi oleh norma agama termasuk tingkah laku dalam berpolitik.

Lalu, apakah kepemimpinan perempuan diperbolehkan oleh agama Islam? Mari kita telaah beberapa potongan ayat suci Al-Qur’an dan Hadist berikut:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An Nisaa’: 34)

Oleh karena itu, kenabian hanya khusus diberikan pada laki-laki. Khalifah dan imam sholat pun diharuskan berjenis kelamin laki-laki. Hal ini juga didukung oleh sabda Rasulullah Saw. yang artinya: “Suatu kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits ‘Abdur Rohman bin Abu Bakroh dari ayahnya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim pada tafsir surat An Nisaa’ ayat 34).

Suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)? Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR. Muslim).

Hadis tersebut menjelaskan bagaimana Rasulullah Saw. menjawab sahabat Nabi, Abu Dzar Al-Ghifari Radhiyallahu Anhu yang menanyakan kenapa Abu Dzar tidak diangkat menjadi pemimpin.

Seorang sahabat Nabi yang mulia, yang luas ilmunya namun lemah dalam kepemimpinan tidak diangkat oleh Nabi sebagai pemimpin karena khawatir akan menjadi sesalan di akhirat. Lalu bagaimanakah dengan kondisi pemimpin yang keilmuan dan pemahaman terhadap syariahnya lemah, dan lemah pula kepemimpinannya? Maka wajar jika yang terlahir dari pemimpin dan wakil rakyat tersebut adalah aturan-aturan yang mengkhianati rakyat dan aturan yang dzolim yang akan menjadi sesalan bagi pemimpin dan wakil rakyat tersebut di akhirat.
 
Allah telah menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini dengan keseimbangan. Ini pun berlaku bagi peran laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam banyak aspek. Namun, laki-laki memiliki beberapa keunggulan pula di atas perempuan, salah satunya dalam hal kepemimpinan. 

Kepemimpinan cenderung menuntut pribadi yang tegas dan berpikiran rasional. Sedangkan fitrah perempuan adalah lemah lembut dan emosional. Sama sekali bertolak belakang dengan kriteria pemimpin.

Lalu, apakah perempuan benar-benar dilarang memimpin? Ini tidak adil!
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab atas kepemimpinanmu. Laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan dia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya itu. Perempuan adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan diapun bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari Ibnu Umar)

Sekali lagi, sebuah hadist mematahkan teori ‘ketidakadilan’ yang kita, orang awam, lontarkan begitu saja tanpa pikir panjang. Dalam hadist tersebut telah jelas dikatakan bahwa perempuan pun adalah pemimpin, yaitu pemimpin dalam rumah suaminya. Artinya, ruang lingkup kepemimpinan wanita hanyalah dalam rumah suaminya, sebagai pemimpin bagi anak-anaknya dan urusan rumah tangga.

Hanya dengan pemimpin yang amanah dan menjalankan aturan yang bersumber dari Kitabullah dan as-Sunnah saja, umat akan diurus dengan sebaik-baiknya.

Wallahu'alam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post