UU Omnibus Law Memantik Api Pergolakan Rakyat


Oleh: Nur Laily (Aktivis Muslimah)

Indonesia memanas. Dengan disahkan UU Cipta kerja/omnibuslaw ini, penguasa seolah sedang bermain api dengan rakyat. DPR nampaknya tidak lagi mewakili suara rakyat. Justru mereka merampas hak rakyat. Karena peraturan yang mereka buat, bukan hanya menyengsarakan para buruh pabrik dan semua rakyat saat ini,  tetapi juga mengancam masa depan anak cucu bangsa.

Dikutip dari media Seuramoe jakarta, bahwa Fraksi Partai Demokrat DPR walk out saat rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja untuk menjadi undang-undang. Anggota Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman menilai, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin sudah sewenang-wenang dalam memimpin forum tersebut.

"Jadi karena pimpinan sewenang-wenang tidak dikasih kesempatan kami untuk sampaikan pandangan, maka kami mengambil sikap walk out," ujar Benny di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10).

Menurutnya, pengambilan keputusan tingkat II pada RUU Cipta Kerja harus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Namun masih ada dua fraksi yang menolak, yakni Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Sungguh sangat disayangkan upaya legislasi Omnibus Law Cipta Kerja ini. Seharusnya, pemerintah fokus pada penyelesaian masalah kesehatan akibat Covid-19.

Ada yang aneh bukan, kenapa Pemerintah dam DPR mengesahkan RUU ditengah malam? Kenapa mereka seolah-olah ingin segera RUU itu sah? Demi kepentingan siapa RUU ini ada?

Kenekatan pemerintah untuk tetap mengesahkan RUU tersebut di tengah gelombang kecaman rakyat, tak bisa lepas dari keuntungan yang bakal diperoleh kaum kapitalis, investasi asing dan aseng.

Sungguh culas, petinggi negeri menandatangani kebijakan yang menyangkut hajat hidup rakyat tanpa persetujuan rakyat. Bukankah yang paling merasakan langsung dampak penerapan RUU ini adalah rakyat? Terutama kaum buruh. Karena isi dari RUU yang merugikan mereka seperti pesangon tanpa kepastian, perluasan status kontrak dan outsourcing, semakin mudahnya perusahaan melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan upah sektoral (UMSK), serta aturan pengupahan berdasarkan jam kerja, hingga hilangnya jaminan kesehatan dan pensiun.

Dengan adanya UU ini mengindikasikan aspirasi rakyat tak berlaku. Meski mayoritas rakyat menolak, toh tetap disahkan juga. Pertanyaannya, wakil rakyat itu sesungguhnya mewakili siapa? Suara rakyat hanya dibutuhkan dan dimanfaatkan saat pemilu saja. Setelah menang, mereka acuh tak acuh. Rakyat tak didengar, UU tetap disahkan.

Dimanakah demokrasi yang katanya pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”? Nyatanya “dari kapital, oleh kapital, dan untuk kapital”. Rapat baleg atau paripurna DPR lebih mirip drama yang dipertontonkan seolah mereka bicara atas nama rakyat. Praktiknya, mereka bicara atas nama kepentingan oligarki dan partainya sendiri.

UU Cipta Kerja adalah produk nyata perselingkuhan penguasa, pengusaha, dan oligarki kekuasaan. Rakyat menjadi tumbal keserakahan kapitalis. Undang-undang dibuat hanya untuk memenuhi kehendak kapitalis.

Sifat dasar kapitalisme yang rakus mewujud dalam bentuk regulasi dan kebijakan yang ditetapkan. Tak ada kamus kepentingan rakyat dalam kapitalisme. Sebab, prinsip dasar kapitalisme hanya peduli pada persoalan untung rugi. Yang menguntungkan harus diwujudkan, yang merugikan wajib dihilangkan. Hal ini terbukti dengan hadirnya UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Dengan melihat fakta tersebut, bukankah semestinya menyadarkan kita bahwa pemerintah tak benar-benar memihak pada rakyat. Produk hukum yang dihasilkan pun hanya untuk mengeksekusi kepentingan pemodal.

Beda dengan Islam yang mampu menyelesaikan problematika kehidupan. Dalam sistem ekonomi Islam menerapkan seperangkat aturan yang berkeadilan. Dari aturan kepemilikan harta hingga distribusi harta kepada rakyat. Islam tidak mengenal kebebasan kepemilikan. Islam membolehkan kepemilikan harta dengan menjadikan halal haram sebagai standarnya. Pengaturan harta ini terbagi dalam tiga aspek, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara.

Dalam menentukan standar gaji buruh, maka Islam menetapkannya berdasarkan manfaat tenaga yang diberikan pekerja, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.

Negara tidak perlu menetapkan UMK. Penetapan seperti ini tidak dibolehkan sebagaimana larangan menetapkan harga. Karena keduanya sama-sama kompensasi yang diterima seseorang. Jika harga adalah kompensasi barang, maka upah adalah kompensasi jasa.

Untuk mengatasi pengangguran, negara akan membuka seluas-luasnya lapangan kerja bagi semua rakyatnya. Yang tidak mempunyai modal, akan diberi modal oleh negara agar bisa bekerja.

Dalam hal ini negara akan membuka lapangan pekerjaan untuk tenaga laki-laki. Perempuan tidak akan dibebani dengan masalah ekonomi. Karena tugas utamanya adalah mendidik generasi. Negara juga memberi jaminan pemenuhan kebutuhan dasar yang layak. Seperti jaminan kesehatan, pendidikan, keamanan, sandang, pangan, serta papan.

Yang tidak punya keterampilan bekerja juga akan diberi pelatihan agar ia memiliki kemampuan dan skill. Sebab, dalam Islam, pengangguran dan bermalas-malasan itu dilarang. Setiap kepala keluarga wajib mencari nafkah.

Begitu indahnya jika Islam diterapkan di negara kita. Kesejahteraan bisa terwujud manakala kebutuhan dasar rakyat terpenuhi. Buruh sejahtera hanya jika Islam diterapkan secara kaffah. Mari kita bersama-sama memperjuangkan tegaknya syariat Islam dalam institusi negara. Wallahu'alam bi shawab. 

Post a Comment

Previous Post Next Post