UU Ciptakerja Menghilangkan Hak dan Peluang Kerja


Oleh: Varida Novita Sari

Indonesia diselimuti hawa panas akibat keangkuhan dan kesewenangan para petinggi negeri. Dilansir dari media online Waspada.co.id bahwa Rapat Paripurna DPR RI yang digelar Senin (5/10) ini di Kompleks DPR secara resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang Undang. Sementara itu di depan Kompleks DPR aparat keamanan berjaga-jaga mengantisipasi demonstrasi elemen buruh dan masyarakat sipil.

“Kepada seluruh anggota, saya memohon persetujuan dalam forum rapat peripurna ini, bisa disepakati?” tanya Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin selaku pemimpin sidang paripurna di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta.

“Setujuuuu,” sahut mayoritas anggota yang hadir.

‘Tok,’ bunyi palu sidang diketok sebagai tanda disahkannya UU tersebut.

Rapat pengesahan RUU Cipta Kerja digelar langsung di Gedung DPR dengan setengah anggota dewan hadir sebagai bagian dari penerapan protokol kesehatan. Sebagian lain mengikuti rapat secara daring.

Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, mayoritas dari sembilan fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU Ciptaker ini. Fraksi-fraksi yang setuju adalah PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP, dan PAN. Hanya Fraksi Partai Demokrat dan PKS yang menolak pengesahan RUU Ciptaker.

Dalam pandangan mini fraksi, Partai Demokrat menyebut mekanisme pembahasan RUU Cipta Kerja yang ideal. Demokrat menilai RUU Cipta Kerja dibahas terlalu cepat dan terburu-buru. “Sehingga pembahasan pasal-per pasal tidak mendalam,” kata juru bicara Fraksi Demokrat Marwan Cik Asan.

Selain itu, RUU Cipta Kerja juga disebut telah memicu pergeseran semangat Pancasila. “Terutama sila keadilan sosial ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan terlalu neoliberalistik,” ujar dia. Demokrat menyatakan RUU Cipta Kerja memiliki cacat baik secara substansial maupun prosedural. Marwan mengungkapkan dalam pembahasannya RUU Cipta Kerja tidak melibatkan masyarakat, pekerja, dan civil society.

“Berdasarkan argumentasi di atas maka Fraksi Partai Demokrat menolak RUU Cipta Kerja. Banyak hal perlu dibahas lagi secara komprehensif agar produk hukum RUU ini tidak berat sebelah, berkeadilan sosial,” ujar dia.

Pengesahan RUU Cipta Kerja dihadiri langsung perwakilan pemerintah, di antaranya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. RUU Cipta Kerja mulai dibahas DPR dan pemerintah pada April 2020. Sepanjang pembahasannya RUU Ciptaker mendapat banyak penolakan dari masyarakat sipil.

Elemen buruh, aktivis HAM dan lingkungan, serta gerakan prodemokrasi menolak pengesahan RUU Ciptaker karena dianggap merugikan pekerja dan merusak lingkungan. RUU Ciptaker juga dituding lebih memihak korporasi, namun DPR dan pemerintah terus melanjutkan pembahasan RUU Ciptaker.

Pada Sabtu (3/10), DPR dan pemerintah akhirnya menyelesaikan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja di tingkat I atau tingkat badan legislasi (baleg) DPR, untuk selanjutnya disahkan di rapat paripurna.Pada masa pandemi pembahasan RUU Ciptaker dikebut. DPR dan pemerintah bahkan menggelar rapat di hotel demi merampungkan pembahasan ini.

Keputusan tingkat I diambil dalam rapat terakhir panitia kerja RUU Omnibus Law Cipta Kerja di DPR pada Sabtu malam. Perwakilan pemerintah yang hadir secara langsung dan daring antara lain Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menkumham Yasonna Laoly, Menaker Ida Fauziah. Kemudian, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri KLHK Siti Nurbaya Menteri ESDM Arifin Tasrif serta Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki.

“Apakah semuanya setuju untuk dibawa ke tingkat selanjutnya?” kata Ketua Baleg Supratman Andi Agtas.

“Setuju.” tutur para peserta rapat.

Hanya ada dua fraksi yang menolak dalam pengambilan keputusan tingkat I yakni Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS. Sedianya RUU Ciptaker akan disahkan dalam Rapat Paripurna Kamis, 8 Oktober mendatang. Namun secara tiba-tiba DPR dan pemerintah mempercepat agenda pengesahan RUU kontroversial ini.

Elemen buruh mengancam akan melakukan aksi mogok kerja nasional sebagai respons atas pengesahan RUU Ciptaker oleh pemerintah dan DPR. (cnnindonesia/ags/data3)

RUU ciptaker disahkan oleh DPR di tengah malam tanpa memperhatikan aspirasi penolakan publik. Lantas, bagaimana nasib para buruh dengan disahkannya RUU ciptaker? Untuk kepentingan Siapakah sehingga DPR berani mengesahkan RUU ciptaker ini walaupun masyarakat menolak dengan keras? Semakin ke sini semakin terlihat jika nasib rakyat kecil dibuat sewenang-sewenang. Apa ini yang dinamakan keadilan yang beradab bagi rakyat indonesia, namun nyatanya membuat rakyatnya menderita?

Kebutuhan hidup yang semakin mahal ditambah dengan disahkannya RUU ciptakerja membuat rakyat menderita secara sempurna. Belum hilang masalah virus covid-19 kini muncul masalah baru, yang ujung-ujungnya menyusahkan rakyat. Lagi, lagi dan lagi, rakyat menjadi korban abadi.

Nasib para buruh dipertaruhkan. Gelombang demonstrasi dan penolakan dilakukan di segala penjuru nusantara. Rakyat menuntut keadilan walaupun menggadaikan kesehatan di tengah pandemi covid-19. Namun, Pemerintah tidak mendengar jeritan rakyat. Penguasa condong pada kepentingan kaum kapitalis, investor asing dan aseng. Yang terlihat adalah pengkhianatan DPR dan pemerintah secara sistematis memenangkan kepentingan kaum kapitalis lantaran disystem ini merekalah yang berkuasa dan pemegang kendali negeri.

Hal tersebut berbeda dengan system islam, yakni khilafah. Negara khilafah berkewajiban mensejahterakan rakyatnya. Memenuhi lapangan kerja agar rakyat makmur dan sejahtera.

Dalam sistem khilafah, kasus ketenagakerjaan tergantung kontrak kerja (akad ijarah) antara pengusaha dan pekerja. Kontrak kerjasama harus memenuhi ridha wal ikhtiar artinya kontrak yang terjadi harus saling menguntungkan tidak boleh satu pihak mendzalimi pihak yang lain. Pengusaha di untungkan melalui jasa pekerja yang melaksanakan pekerjaan tertentu yang di butuhkan pengusaha. Sebaliknya pekerja di untungkan dengan perolehan penghasilan yang di berikan oleh pengusaha.

Kedzaliman dalam kontrak kerja yang dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja semisal tidak membayar upah dengan baik, memaksa pekerja bekerja di luar kontrak kerja yang di sepakati, melakukan PHK secara semena-mena, dan tidak memberikan hak-hak pekerja diantara hak menjalankan ibadah, hak cuti bagi wanita melahirkan dan sebagainya. Dalam rangka mencegah terjadinya kedzaliman tersebut, khilafah akan memberlakukan kebijakan tegas. Khilafah menyediakan wadah yang terdiri dari tenaga ahli (khubara’) yang di harapkan dapat menyelesaikan perselisihan diantara keduanya secara netral. Sehingga persoalan UMK, outsourcing, tunjangan kesejahteraan, atau PHK sewenang-wenang terhadap buruh tidak lagi menjadi perdebatan seperti saat ini.

Khilafah akan melaksanakan ekonomi Islam yang akan menjamin kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan sehingga rakyat dapat terjamin kesejahteraannya. Sehingga khilafah adalah satu-satunya solusi. Wallahu a’laam bi Ash shawab. 

Post a Comment

Previous Post Next Post