UN Diganti, Pendidikan di Indonesia Semakin Maju?

Oleh: Milawati
 (Aktivis BMIC Malang)

Menteri  Pendidikan  dan  Kebudayaan Indonesia, Nadiem  Makariem  membahas tentang Ujian Nasional (UN) bahwa dia tidak akan menghapus UN tapi menggantinya dengan sistem  penilaian  baru atau Asesmen Kompotensi Minimum. Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam rapat Komisi X DPR di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/12/2019). "Beberapa hal agar tidak ada mispersepsi, UN itu tidak dihapuskan. Mohon maaf, kata dihapus itu hanya headline di media agar diklik, karena itu yang paling laku. Jadinya, UN itu diganti jadi asesmen kompetensi," kata Nadiem dalam rapat bersama. 

Nadiem menjelaskan, perubahan mendasar pada Asesmen Nasional adalah tidak lagi mengevaluasi capaian murid secara individu, tetapi mengevaluasi dan memetakan sistem pendidikan berupa input, proses, dan hasil. Asesmen Nasional dirancang tidak hanya sebagai pengganti ujian nasional dan ujian sekolah berstandar nasional, namun sebagai penanda perubahan paradigma tentang evaluasi pendidikan.

Nadiem menuturkan, Asesmen Nasional mencakup tiga aspek penilaian, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. Asesmen Kompetensi Minimun dirancang untuk mengukur capaian peserta didik dari hasil belajar kognitif yaitu literasi dan numerasi.

hal yang membuat Ujian Nasional (UN) diganti yaitu sebagaimana yang telah dipaparkan langsung oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno di depan perwakilan guru yang hadir dalam acara Beranda Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan yang membahas tentang Asesmen Kompetensi Minimum di Kemendikbud, Jakarta, Kamis, 19 Desember 2019. 

Bahwa “UN masih didominasi dengan level rendah tingkat kognitifnya. Maka dibutuhkan konten yang ke arah level kognitif lebih tinggi,” tutur Totok. “Bagaimana arah dan strategi  dari asesmen kompetensi minimum sebagai pengganti Ujian Nasional (UN). Bukan soal penghapusan UN-nya.”

Menurut Totok, dulu mungkin UN merupakan hal yang tepat. Namun dalam perkembanganannya, yang diperlukan siswa bukan lagi penguasaan informasi, tapi bernalar. Selain itu, Totok melanjutkan, mengutamakan tantangan terhadap penalaran jangan sampai membuat anak stres karena di akhir pendidikan. Hal itu harus diletakkan pada konteks lebih luas yaitu perbaikan kultur belajar, banyak kajian UN telah mengubah pola belajar anak. Belajar itu tidak hanya tentang latihan soal, harus juga diberikan kuis yang lebih bervariasi. “Jangan malah belajarnya materi UN saja, dan kegiatan lain itu seolah-olah bukan prestasi kalau UN-nya jelak,” kata Totok. “Dan ini harus dikenali oleh guru masing-masing.”

Bahkan karakter anak itu, Totok berujar, yang bisa mengenali adalah guru, yang menentukan anak bisa lanjut atau tidak dan perlu bimbingan. Ujian dalam bentuk apapun, tidak akan mengendepankan pendapat anak. “Dalam konteks memperbaiki kultur belajar, UN diubah menjadi nalar pemahaman tentang informasi. Tidak hanya sekadar membaca, ada levelnya, memahami dan memaknai bacaan tidak hanya tertulis tapi semua informasi. Numerik, harus mampu menggunakan konsep matematika untuk diterapkan di kehidupan,”

Totok juga mengatakan, yang terpenting adalah bagaimana membuat anak menjadi rajin belajar dan memberikan penjelasan bahwa belajar itu adalah sebuah perjalanan panjang. Tidak boleh hanya pada pengganti Ujian Nasional (UN). “Belajar itu perjalanan panjang, maka anak harus diberikan tantangan yang tepat setiap saat, kesehariannya harus diberikan tantangam,” ujar Totok. 

Menurut Peneliti dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) Anindito Aditomo, asesmen secara terminologi umum adalah aktivitas sistematis yang dilakukan untuk memahami sesuatu. Asesmen pendidikan di Indonesia itu lebih ingin memahami sebuah unit sekolah atau kualitas suatu daerah. “Aktivitas sitematis tujuannya untuk memahami. Di sini belum ada tolok ukurnya, ujian bisa dilihat sebagai salah satu bentuk asesmen, ujian adalah asesmen untuk menilai gagal berhasilnya sekolah. Tapi asesmen kompetensi ini lebih umum lagi, tidak selalu berujung pada penilaian gagal berhasil,” kata Anindito.

Dengan adanya penggantian Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Kompotensi Minimum nyatanya pendidikan di Indonesia tetaplah memprihatinkan. Fakta membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia belum bisa membuat bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki karakter yang kuat untuk mendidik anak-anak penerus bangsa. Kurangnya kualitas pendidikan yang merata ke seluruh pelosok tanah air, membuat kualitas anak didik kurang maksimal dalam menyerap ilmu yang diperoleh.

Kurangnya tenaga pengajar di Indonesia membuat pengajaran di kelas tidak maksimal. Guru pengajar yang bukan di bidangnya dipaksa mengajar pelajaran yang tidak dikuasainya. Biaya Pendidikan yang Mahal, banyak sekali anak-anak Indonesia yang berhenti sekolah karena tingginya biaya pendidikan yang mahal sehingga mereka harus banting tulang untuk mencukupi kehidupan sehari-harinya dan putus sekolah. Fasilitas yang tidak memadai dan tidak merata di beberapa sekolah-sekolah teruma sekolah yang berada di pelosok desa. Pengajaran moral kepada siswa yang masih kurang. Itulah beberapa masalah jika negeri ini tetap menggunakan sistem kapitalisme untuk mengatur pendidikan.

Dalam sistem kapitalisme pendidikan lebih menitik beratkan pada materi ajar yang bisa memberikan manfaat materiil termasuk memenuhi keperluan dunia usaha. Pendidikan akhirnya lebih menitik beratkan pada penguasaan sains teknologi dan keterampilan. Prestasi dan keberhasilan pendidikan pun hanya diukur dari nilai-nilai akademis, tanpa memperhatikan bagaimana keimanan, ketakwaan,
akhlak, perilaku, kepribadian dan krakter anak didik. Itulah yang dibuktikan selama proses UN. Bukan hanya siswa, namun sampai orang tua bahkan guru dan pihak sekolah melakukan berbagai cara termasuk kecurangan untuk mengejar nilai-nilai akademis.

Sedangkan dalam sistem islam tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah) peserta didik serta membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan. Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi sebagaimana kebutuhan makan, minum, pakaian, rumah, kesehatan, dan sebagainya. Program wajib belajar berlaku atas seluruh rakyat pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.

Negara wajib menjamin pendidikan bagi seluruh warga dengan murah/gratis. Negara juga harus memberikan kesempatan kepada warganya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara murah/gratis dengan fasilitas sebaik mungkin (An Nabhani,Ad-Dawlah al-Islâmiyyah, hlm. 283-284). Konsep pendidikan murah/gratis ini telah diterapkan oleh Khilafah Islam selama kurang lebih 1400 tahun, yaitu sejak Daulah didirikan di Madinah oleh Rasulullah saw. hingga Khilafah Ustmaniyah di Turki diruntuhkan oleh imperialis kafir pada tahun 1924 M. Selama kurun itu pendidikan Islam telah mampu mencetak SDM unggul yang bertaraf internasional dalam berbagai bidang. 

dalam sistem Islam, hubungan Pemerintah dengan rakyat adalah hubungan pengurusan dan tanggung jawab. Penguasa Islam, Khalifah, bertanggung jawab penuh dalam memelihara urusan rakyatnya. Setiap warga negara harus dijamin pemenuhan kebutuhan dasarnya oleh negara, termasuk dalam pendidikan. Hal ini disandarkan pada sabda Rasulullah saw.: Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya (HR al-Bukhari dan Muslim). Darimana Khalifah mendapatkan sumber dana untuk menjalankan pendidikan gratis dan bermutu? Sumber dana untuk pendidikan bisa diambil dari hasil-hasil kekayaan alam milik rakyat. Dalam pandangan syariah Islam, air (kekayaan sungai, laut), padang rumput (hutan), migas, dan barang tambang yang jumlahnya sangat banyak adalah milik umum/rakyat.

Post a Comment

Previous Post Next Post