PERTANGGUNGJAWABAN PENGUASA ATAS HILANGNYA SATU NYAWA


Oleh : Ummu Aqeela

Kisah Rangga (9) bocah Sekolah Dasar (SD) asal Aceh Timur ini mendadak viral di media sosial lantaran tewas saat berusaha melindungi DN (36) ibu kandungnya yang hendak diperkosa SB (28), Sabtu 10 Oktober 2020. Viralnya kisah bocah SD ini, lantaran semasa hidupnya, Rangga adalah siswa kelas 3 SD berprestasi. Bahkan, Rangga disebut sebagai bocah yang rajin mengaji. Rangga, tewas oleh SB pelaku pemerkosa ibu kandungnya dengan cara dibacok 10 kali di kediamannya di Kecamatan Birem Bayeun, Kabupaten Aceh Timur. Saat itu, Rangga terbangun dan melihat ibunya akan diperkosa, lalu Rangga berteriak dan melindungi ibunya. Pelaku yang panik, lantas menyerang Rangga berkali-kali. Pada saat pelaku akan membacok lagi ditangkis Rangga dengan tangan, namun karena tubuhnya yang masih kecil dan darah dari lehernya terus bercucuran dia kalah dan pelaku terus membacok Rangga. Tak cukup sampai disitu, kesadisan pelaku juga berlanjut, setelah mengetahui Rangga tewas dan memperkosa ibunya, pelaku membawa jenazah Rangga ke sungai. Dua hari kemudian, jenazah bocah malang tersebut ditemukan mengapung di sungai masih dalam kawasan desa korban tinggal, pada Minggu 11 Oktober 2020. ( https://isubogor.pikiran-rakyat.com/gaduh/amp/pr-45835681/viral-kisah-rangga-bocah-sd-yang-tewas-karena-lindungi-ibunya-saat-hendak-diperkosa?page=2). 

Sungguh sebuah peristiwa yang memilukan, calon generasi tangguh itu harus kehilangan nyawanya di usia yang sangat belia. Namun satu yang patut dibanggakan, dia kehilangan nyawanya untuk melindungi kehormatan ibunya, Insyaallah surga sudah menantinya.

Diakhir-akhir ini, tampak di hadapan kita berbagai peristiwa tentang mudahnya seseorang menghilangkan nyawa orang lain. Bahkan untuk sebuah kepentingan seseorang bersedia menghilangkan nyawa orang dengan sangat keji. Ini tentu tidak bisa terus dibiarkan, terlebih lagi jika suatu negara tidak peduli dan abai nyawa rakyatnya hilang melayang, seakan nyawa manusia tidaklah berharga sama sekali.

Islam memberikan perhatian sangat serius tentang persoalan nyawa manusia ini, bahkan perlindungan atas nyawa manusia merupakan salah satu dari maksud tujuan utama diturunkannya syariat (maqasid syar'iyah), yaitu hifdun nafs, menjaga dan melindungi jiwa, diri manusia. Hal ini menandakan bahwa penghargaan islam yang sangat tinggi dan serius atas nilai sebuah nyawa manusia. Nilai nyawa dalam Islam sangat tinggi dan begitu berharga di hadapan Allah swt dan Rasul-Nya, terlebih nyawa ummat Muhammad. Bahkan dalam ranah Ushul Fiqih , persoalan nyawa manusia masuk dalam kategori   al Dharuriyat al khamsah (lima hal primer yang wajib dipelihara). Artinya, pada hukum asalnya, nyawa manusia tidak boleh dihilangkan begitu saja tanpa ada alasan yang jelas. Tak peduli, apakah nyawa orang muslim maupun kafir.
Terkait dengan masalah ini, Allah swt firman :

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya . Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Ma’idah: 32)

Dalam ayat ini dengan sangat jelas bahwa orang yang menghilangkan nyawa seseorang tanpa ada kesalahan yang jelas sesuai syariat maka seolah-olah seperti membunuh semua manusia. Meski ayat ini terkait dengan Bani Israil, namun pesannya tetap berlaku hingga akhir zaman.

Jika suatu negara sudah tidak lagi peduli dengan nyawa rakyatnya maka penguasa negeri itu telah nyata berbuat dhalim pada rakyatnya yang tentunya kelak akan berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah swt. Hal ini bisa jadi disebabkan karena sikap ketidakpedulian mereka atas aturan Allah swt dan karena mereka telah menjadikan kepentingan diri dan kelompoknya sebagai standar penilaian dalam meletakkan dasar keadilan dan kepedulian. Mereka telah meninggalkan aturan Allah swt dan memisahkannya dengan urusan kepentingan duniawinya, sekularisasi kehidupan. Sekulerisme telah menghancurkan nilai Islam dalam kehidupan dan mencabut fitrah manusia yang sejatinya memerlukan Rabb-nya untuk mengatur hidupnya. Dangkalnya pemahaman agama, memperparah keringnya kejiwaan. Materi lebih berharga dibandingkan iman. Hilang rasa kasih sayang di antara saudara. Alhasil, menyakiti hingga membunuh sesama manusia berasa biasa. 

Demikianlah jika aturan islam ditinggalkan maka yang akan terjadi adalah kekacauan dan penghargaan yang rendah terhadap harga diri dan jiwa manusia. Sementara sejatinya aturan islam adalah untuk memuliakan manusia dan menjadikan kehidupannya tenang bahagia. Sehingga setiap jiwa dan nyawa manusia sangat berharga. Pesan inipun tidak hanya dibebankan kepada individu semata, namun mempunyai makna yang lebih luas yaitu sebuah institusi negara. Karena negaralah tampuk utama yang menjamin keselamatan setiap warganya. Negara yang dipimpin seorang penguasa juga bertanggung jawab penuh dihadapan Allah atas apapun yang menimpa rakyat yang dipimpinnya.

Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits dari jalur Abu Hurairah radhiya-Llahu ‘anhu, bahwa Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama, bersabda:

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ ، وَإِنْ يَأْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ [رواه البخاري ومسلم]

“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]

Mengapa hanya Imâm/Khalîfah yang disebut sebagai Junnah [perisai]? Karena dialah satu-satunya yang bertanggungjawab sebagai perisai, sebagaimana dijelaskan dalam hadits lain:

«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».

“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]

Menjadi Junnah [perisai] bagi umat Islam, khususnya, dan rakyat umumnya, meniscayakan Imâm harus kuat, berani dan terdepan. Bukan orang yang pengecut dan lemah. Kekuatan ini bukan hanya pada pribadinya, tetapi pada institusi negaranya. Kekuatan ini dibangun karena pondasi pribadi dan negaranya sama, yaitu akidah Islam. Inilah yang ada pada diri Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama dan para Khalifah setelahnya.

Inilah perisai yang harus kita bangun kembali. Oleh karena itu umat Islam tidak boleh melupakan perisai ini. Jika umat melupakannya maka itu adalah musibah di atas musibah. Karena Agama itu pondasi, sedangkan kekuasaan itu adalah penjaga. Sesuatu yang tanpa pondasi akan roboh dan sesuatu yang tanpa penjaga akan hilang. Untuk itu memperjuangkan tegaknya syari’at Islam dalam bingkai Khilafah adalah sebuah kewajiban yang akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah kelak.

Wallahu’alam bishowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post