Omnibus Law: Pil Pahit di Tengah Covid


Oleh: Yosi Eka Purwanti (Aktivis Muslimah) 

Rakyat kembali di paksa kembali menelan pil pahit. Pasalnya, senin 5 oktober 2020 para elit negeri sedang tergopoh-gopoh di tengah malam menggodok RUU Ciptaker  menjadi UU Omnibus Law Ciptaker. Sontak pengesahan RUU yang terkesan terburu-buru itu mendapat banyak sekali respon dari berbagai kalangan, mulai dari buruh hingga mahasiswa. Demonstrasi besar-besaran di gelar oleh kalangan buruh dari tanggal 6-8 oktober, sedangkan mobilisasi masa oleh mahasiswa di gelar pada tanggal 8 oktober. 

Dengan jelas UU ini sangatlah pro pengusaha dan memangkas hak-hak para pekerja. Beberapa poin dalam UU omnibus law yang sangat merugikan buruh: 1) upah didasarkan per satuan waktu. Ketentuan ini membuka ruang adanya upah per jam. Ketika upah di bayarkan per jam, maka otomatis upah minimun akan hilang. 2) upah minimun hanya didasarkan pada UMP. Upah minimun Kabupaten/Kota (UMK), dan Upah Minimun Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapus. 3) sanksi pidana bagi pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimun dihilangkan. 4) tidak ada denda bagi pengusaha yang terlambat membayar upah. 5) pekerja yang di PHK karena mendapatkan Surat Peringatan Ketiga tidak lagi mendapatkan pesangon. 6) Pekerja yang mengundurkan diri tidak mendapatkan apa-apa. 7) pekerja yang di PHK karena terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan tidak lagi mendapatkan pesangon. 8) pekerja yang di PHK karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian terus-menerus selama 2 tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), tidak lagi mendapatkan pesangon. 9) pekerja yang di PHK karena perusahaan pailit tidak lagi mrndapatkan pesangon. 10) pekerja yang meninggal dunia, kepada ahli warismya tidak lagi diberikan sejumlah uang sebagai pesangon. 11) pekerja yang di PHK karena memasuki usia pensiun tidak lagi mendapatkan pesangon. 12) pekerja yang di PHK karena sakit berkepanjangan, cacat akibat kecelakaan kerja ketika di PHK tidak lagi mendapatkan pesangon. 13) membebaskan kerja kontrak di semua jenis pekerjaan. 14) outsourcing bebas dipergunakan di semua jenis pekerjaan dan tidak ada batas waktu. 15)kewajiban TKA untuk memahami budaya Indonesia hilang. Dengan demikian TKA tidak di wajibkan berbahasa Indonesia. 

Walaupun sejumlah poin di atas dibantah oleh petinggi negeri karena draf UU Omnibus Law tersebut dianggap hoax, nyatanya penguasa tidak mampu membuktikan dan menunjukkan draf UU Omnibus Law asli yang disahkan. Rakyat pun sudah tak percaya lagi dengan pemerintah. Rekam jejak pemerintah terlalu buruk di mata rakyat. Tindakan abai terhadap buruh, namun royal terhadap pengusaha (kaum kapital) menjadi keseharian petinggi negeri. 

Sungguh patut dicurigai, di tengah pandemi covid yang terus merebak, para penguasa terkesan sangat terburu-buru untuk mengesahkan RUU ini. Rakyat pun bertanya, dimanakah hati nurani para penguasa? Layakkah mereka di sebut sebagai wakil rakyat? 

Dari peristiwa ini, untuk kesekian kalinya membuktikan bahwa wakil rakyat dalam sistem demokrasi yang diklaim pejuang kepentingan rakyat hanyalah ilusi. Meskipun ada sebagian kalangan yang menyampaikan keberatan. Namun jika suara mayoritas mengatakan sebaliknya, maka dalam sistem demokrasi, suara mayoritas yang akan menjadi pemenangnya. 

Semboyan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat juga merupakan ilusi belaka. Buktinya rakyat secara terang-terangan menolak pengesahan RUU ini, namun mereka yang menyebut dirinya sebagai wakil rakyat tetap mengesahkan RUU ini menjadi UU. 

Inilah kecacatan aturan dalam sistem demokrasi. Aturan sistem ini didasarkan pada pendapat manusia yang penuh kepentingan. Bukan didasarkan pada aturan Allah SWT. Sistem demokrasi adalah sistem pendukung bagi para korporat yang menjadi pemain utama dalam kekuasaan negara. 

Kekuasaan dalam sistem ini hanya dapat diraih jika memiliki modal yang besar. Disinilah proses simbolis mutualisme antara korporat dengan negara terjadi. Alhasil negara yang dihasilkan dari sistem demokrasi adalah negara korporatokrasi yaitu dominasi kekuasaan bukan lagi pada negara melainkan pada perusahaan besar. Sehingga pemimpin di pimpin secara afiliasi korporasi.

Khilafah adalah sistem yang akan menjadi solusi atas cacatnya sistem demokrasi.  Khilafah hadir sebagai pelayan ummat. Hukum yang di terapkan bersumber dari hukum syariat. Dalam islam kasus ketenagakerjaan tergantung kontrak kerja (akad ijarah) antara pengusaha dan pekerja. Kontrak kerjasama harus memenuhi ridha wal ikhtiar artinya kontrak yang terjadi harus saling menguntungkan tidak boleh satu pihak mendzalimi pihak yang lain. Pengusaha di untungkan melalui jasa pekerja yang melaksanakan pekerjaan tertentu yang di butuhkan pengusaha. Sebaliknya pekerja di untungkan dengan perolehan penghasilan yang di berikan oleh pengusaha. 

Kedzaliman dalam kontrak kerja yang dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja semisal tidak membayar upah dengan baik, memaksa pekerja bekerja di luar kontrak kerja yang di sepakati, melakukan PHK secara semena-mena, dan tidak memberikan hak-hak pekerja diantara hak menjalankan ibadah, hak cuti bagi wanita melahirkan dan sebagainya. Dalam rangka mencegah terjadinya kedzaliman tersebut, khilafah akan memberlakukan kebijakan tegas. Khilafah menyediakan wadah yang terdiri dari tenaga ahli (khubara’) yang di harapkan dapat menyelesaikan perselisihan diantara keduanya secara netral. Sehingga persoalan UMK, outsourcing, tunjangan kesejahteraan, atau PHK sewenang-wenang terhadap buruh tidak lagi menjadi perdebatan seperti saat ini.

Khilafah akan melaksanakan ekonomi Islam yang akan menjamin kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan sehingga rakyat dapat terjamin kesejahteraannya. Sehingga khilafah adalah satu-satunya solusi. Wallahu a’laam bi Ash shawab. 

Post a Comment

Previous Post Next Post