MELAKSANAKAN HUKUM ALLAH KEWAJIBAN SETIAP MUSLIM


By :   Nurul Khotimah

Undang - undang yang baru di sahkan oleh DPR memicu pro-kontra. Memacu konflik antara rakyat dan Pemerintah/DPR. Pasalnya, Pemerintah/DPR mengklaim UU ini demi kepentingan rakyat. Sebaliknya, rakyat menuding UU tersebut sangat merugikan mereka dan hanya menguntungkan para pengusaha.

Sebelumnya, ada UU Minerba yang makin memberikan keleluasaan kepada asing dan aseng untuk makin menguasai kekayaan alam milik rakyat. Ada UU KPK yang justru makin melemahkan KPK dan makin ramah terhadap para koruptor, dll. Selain UU, sejumlah RUU pun dinilai bermasalah. Seperti RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila), dll.

Intinya, banyak UU/RUU yang bermasalah. Selain beraroma sekular dan liberal, banyak UU/RUU yang hanya menguntungkan asing dan aseng, memperkuat oligharki kekuasaan dan abai terhadap kepentingan rakyat kebanyakan.

 

 

      Sesungguhnya pangkal keterpurukan negeri ini adalah penerapan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sekularisme meniscayakan penolakan terhadap campur tangan Tuhan (agama) dalam mengatur kehidupan. Karena itu dalam sistem sekular, hukum-hukum Allah SWT senantiasa dipinggirkan. Bahkan dicampakkan.

Pilar utama sekularisme adalah demokrasi. Demokrasi meniscayakan hak membuat hukum ada di tangan manusia. Itulah yang disebut kedaulatan rakyat. Karena itu secara teoretis, dalam demokrasi, rakyatlah pemilik kedaulatan. Rakyatlah yang menentukan hitam-putih, benar-salah, baik-buruk dan halal-haram.

Demokrasi nyaris selalu didominasi oleh kekuatan para pemilik modal. Mereka inilah yang selalu sukses mencuri kedaulatan rakyat. Dengan demikian rakyat sendiri sesungguhnya tidak memiliki kedaulatan.  Akhirnya, kedaulatan rakyat hanya jargon kosong belaka. Pasalnya, yang berdaulat pada akhirnya selalu para pemilik modal.

Lihatlah negeri ini. Kekuatan para pemilik modal atau para cukong sering berada di balik pembuatan banyak UU. Para cukong pula yang diyakini berada di balik pengesahan Omnibus Law/UU Cilaka oleh DPR/Pemerintah. UU ini diyakini hanya menguntungkan para cukong yang jumlahnya segelintir dan sebaliknya merugikan mayoritas rakyat.

Karena pada faktanya Parlemen/DPR sering dikuasai oleh segelintir elit politik, yang didukung oleh para pemilik modal, suara mayoritas yang dihasilkan hanyalah mencerminkan suara mereka yang sesungguhnya minoritas. Tidak mencerminkan suara mayoritas rakyat. Artinya, di sini yang terjadi sebetulnya adalah tirani minoritas.

Karena itu wajar jika kemudian banyak UU, keputusan hukum atau peraturan yang lahir dari Parlemen/DPR lebih mewakili kepentingan mereka yang sesungguhnya minoritas itu. Tidak mewakili kepentingan mayoritas rakyat. Di Indonesia, lahirnya UU Migas, UU Minerba, UU SDA, UU Penanaman Modal, termasuk Omnibus Law/UU Cilaka dll jelas lebih berpihak kepada para pemilik modal bahkan pihak asing dan merugikan mayoritas rakyat.

Lalu bagaimana menurut pandangan Islam??

     Allah SWT berfirman "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah perselisihan itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhir. Yang demikian adalah lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya (TQS an-Nisa [4]: 59).

Ayat ini setidaknya mengandung empat pengertian. Pertama: Perintah kepada kaum Mukmin untuk mentaati Allah SWT, Rasul-Nya dan ulil amri yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya,yaitu dengan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, yang wajib maupun yang sunnah, dan menjauhi larangan keduanya. Allah SWT pun memerintahkan kaum Mukmin untuk mentaati ulil amri, yakni para pemimpin manusia baik para amir, penguasa atau para mufti (ulama). Dengan syarat, ulil amri tersebut tidak memerintahkan kemaksiatan kepada Allah SWT.

Kedua: Perintah kepada kaum Mukmin untuk mengembalikan semua urusantermasuk semua perselisihan, khususnya antara rakyat dan ulil amrikepada al-Quran dan as-Sunnah (yakni hukum-hukum Allah SWT/syariah Islam).

Ketiga: Keharusan mengembalikan semua persoalan kepada Allah SWT (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) merupakan konsekuensi keimanan.

Keempat:  Penegasan atas keunggulan hukum Allah SWT dan Rasul-Nya dibandingkan dengan hukum buatan manusia. Imam as-Sadi lalu menutup penjelasan ayat ini dengan menyatakan: Hal demikian (mengembalikan semua persoalan pada al-Quran dan as-Sunnah, red.) adalah sikap yang paling baik dan paling bagus. Pasalnya, hukum-hukum Allah SWT dan Rasul-Nya pastilah hukum terbaik, paling adil dan paling layak bagi manusia baik terkait urusan agama mereka maupun urusan dunia mereka…” (As-Sadi, Taysir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan, 1/183. Lihat pula: Asy-Syarawi, Tafsir asy-Syarawi, 1/1614).

 

Jelas, mengembalikan semua urusan dan persoalan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya adalah kewajiban kaum Mukmin. Artinya, al-Quran dan as-Sunnah wajib dijadikan rujukan kehidupan. Konsekuensinya, semua urusan kehidupan wajib diatur dengan syariah Islam. Apalagi urusan perundang-undangan yang mengatur kehidupan banyak orang. Wajib menggunakan syariah Islam. Ini adalah bukti keimanan setiap Muslim.

Lagi pula, tidak ada yang lebih baik dari syariah Islam. Sebabnya, syariah Islam berasal dari Allah SWT, Pencipta manusia. Pencipta pasti lebih hebat daripada yang dicipta. Pencipta pasti lebih tahu daripada yang dicipta. Apalagi sebagai Pencipta, Allah SWT tidak punya kepentingan apapun dengan syariah-Nya selain demi kemaslahatan manusia. Ini adalah bentuk kasih-sayang-Nya kepada manusia. Sebaliknya, hukum buatan manusia sering dipengaruhi oleh dorongan hawa nafsunya dan sarat dengan ragam kepentingan dirinya. Mahabenar Allah Yang berfirman:

"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya selain hukum Allah SWT bagi orang-orang yang yakin?"  (TQS al-Maidah [5]: 50).  []

Wallahu 'alam bi asshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post