Demi Pesanan, Kesejahteraan Rakyat Digadaikan?


Oleh: Yan Setiawati, S.Pd.I., M.Pd. 
(Ibu Rumah Tangga dan Pengemban Dakwah)

Sudah Jatuh tertimpa tangga. Mungkin itulah peribahasa yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini, khususnya para buruh dan pekerja. Di tengah pandemi yang semakin meningkat dan berimbas kepada seluruh sektor, diantaranya sektor ekonomi. Masyarakat menengah ke bawah termasuk para buruh sudah merasakan dampaknya sejak beberapa bulan yang lalu,  seperti ada yang dirumahkan bahkan terkena PHK karena perusahaan-perusahaan terancam gulung tikar.  

Alih-alih demikian, pemerintah yang seharusnya membantu mencukupi kebutuhan pokok masyarakat, dengan sangat tergesa-gesa justru mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja  Klaster Ketenagakerjaan pada tanggal 5 Oktober 2020, lebih cepat dari jadwal yang sudah ditentukan yaitu pada tanggal 8 Oktober 2020.

Tentunya UU ini mengundang banyak penolakan dari berbagai serikat buruh. Mereka menyerukan mogok nasional jika RUU ini tetap disahkan dalam sidang paripurna DPR RI. 

Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI, Roy Jinto, dalam siaran persnya menyebut Omnibus Law bakal merugikan rakyat dan buruh khususnya. Beberapa hak buruh dikorbankan, seperti penerapan sistem alih daya (outsourcing), pengurangan nilai pesangon, penghapusan upah minimum sektoral, serta pemudahan PHK oleh perusahaan.

“Kami telah melakukan upaya-upaya konsep, lobi-lobi, dialog dengan pemerintah dan DPR RI tapi semua langkah itu tidak membuahkan hasil sesuai harapan buruh. Oleh karena itu dengan terpaksa jalan terakhir kami mengambil langkah mogok nasional,” kata Roy. (ayobandung.com, 02/10/2020). 

Pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut dirasa tergesa-gesa dan tidak ada urgensinya, terlebih di tengah pandemi seperti ini.  Lagi-lagi rakyat yang akan menjadi korban dari aturan yang ditetapkan pemerintah yang tidak memihak pada rakyat,  bahkan mencekik dan menyengsarakan rakyat.  Seruan dan aspirasi rakyat tidak didengar pemerintah. Bukankah demokrasi itu "dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat?", tapi nyatanya "dari kapital, oleh kapital dan untuk kapital". 

Perwakilan rakyat hanya bicara atas nama kepentingan oligarki dan partainya saja, mereka tidak memperdulikan suara rakyat yang telah memilih mereka menjadi perwakilan atas suara rakyat. 

Sejatinya, kondisi seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Khilafah.  Sebab Khilafah hadir sebagai pelayan umat bukan korporat. Hukum yang diterapkan bersumber dari hukum syari'at, bukan buatan manusia. Maka dalam masalah ketenagakerjaan juga tidak akan lepas dari hukum syari'at yang mengaturnya.  

Dalam Islam, masalah ketenagakerjaan sepenuhnya tergantung pada kontrak kerja (akad ijarah) antara pengusaha dan pekerja. Sebagaimana hukum akad, kontrak kerja juga harus memenuhi Ridho Wal Ikhtiar, artinya kontrak yang terjadi seharusnya saling menguntungkan, tidak boleh ada pihak yang mendzolimi dan merasa didzolimi pihak lain. 

Pengusaha diuntungkan melalui jasa pekerja yang melaksanakan pekerjaan tertentu yang dibutuhkan pengusaha. Sebaliknya, pekerja diuntungkan dengan memperoleh penghasilan dari imbalan yang diberikan pengusaha. 

Adapun kedzaliman dalam kontrak kerja dapat dilakukan pengusaha terhadap pekerja dan sebaliknya dapat dilakukan pekerja terhadap pengusaha. Kedzaliman pengusaha terhadap pekerja diantaranya seperti tidak membayar upah pekerja dengan baik, memaksa bekerja di luar kontrak kerja, melakukan PHK semena-mena, termasuk tidak memberikan hak pekerja untuk menjalankan ibadah,  hak istirahat ketika sakit, dan lain sebagainya. Sedangkan kedzaliman pekerja terhadap pengusaha adalah jika pekerja tidak menunaikan kewajibannya seperti bekerja tidak sesuai jam kerja yang ditentukan, melakukan pengrusakan terhadap aset milik pengusaha, dan lain sebagainya. 

Dalam mencegah kedzaliman dalam kontrak kerja tersebut, negara Khilafah akan memberlakukan hukum-hukum tegas kepada siapa saja yang melakukan kedzaliman,  baik itu pengusaha maupun pekerja. Jika masih ada perselisihan, Khilafah menyediakan wadah yang terdiri dari tenaga ahli (Khubara') yang diharapkan dapat menyelesaikan perselisihan di antara keduanya secara netral. Buruh dan pengusaha sama-sama diuntungkan tanpa regulasi dzalim yang hanya menguntungkan kapitalis terlebih investor asing. 

Khilafah juga akan melaksanakan politik ekonomi Islam yang akan menjamin secara mutlak kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, serta sumber energi untuk keperluan rumah tangga. Sehingga apapun  pekerjaan rakyat, dapat terjamin kesejahteraannya.

Selain itu, dalam Khilafah ada mekanisme muhasabah atau mengoreksi kepada penguasa jika rakyat mendapati peraturan atau aktivitas-aktivitas penyimpangan yang dilakukan bukan oleh negara.  Mereka dapat melakukan muhasabah kepada penguasa melalui Majelis Umat. 

Majelis Umat dalam Khilafah merupakan perwakilan kaum muslim yang dipilih bukan dari pihak pemerintahan,  melainkan dari kalangan kaum muslim sendiri baik laki-laki maupun perempuan. Aktivitas Majelis Umat adalah melaksanakan kewajiban Amar Ma'ruf Nahi Munkar untuk mengoreksi para pejabat pemerintahan. Mereka akan menyampaikan nasihat, masukan, pendapat, serta saran-saran dari rakyat pada penguasa. Bahkan mereka akan mendebat dan menyampaikan keberatan/protes terhadap aktivitas menyimpang yang dilakukan negara. Selain perwakilan kaum muslim, kalangan non muslim juga berhak menjadi anggota Majelis Umat. Hanya saja non muslim tidak memiliki hak menyampaikan pendapat dalam masalah-masalah hukum syari'at karena syari'at Islam hanya terpancar dari Aqidah Islam. 

Selain itu, dalam Khilafah juga terdapat Qadhi Mudzalim yang memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara kedzaliman apapun. 
Seperti kedzaliman yang berkaitan dengan komplen rakyat terhadap peraturan administratif yang berhubungan dengan kemaslahatan rakyat, kedzaliman berkaitan dengan penetapan kewajiban pajak atau kedzaliman yang berkaitan dengan masalah lainnya. Alhasil,  jaminan dalam menyampaikan aspirasi atau kontrol aturan penguasa dalam Khilafah akan benar-benar terjamin.  

Begitulah jika aturan dibuat oleh manusia akan menghadirkan kekecewaan dan kesengsaraan, seperti yang kita rasakan saat ini di negara kita tercinta, Indonesia.  

Aturan yang adil dan rahmat bagi seluruh alam hanyalah aturan Islam, aturan yang bersumber dari Pemilik Semesta Alam. Saatnya masyarakat bangkit memperjuangkan kepentingan umat yaitu perubahan menuju Islam Kaffah.  

Wallaahu 'alam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post