Pilkada Jalan Terus Meski Pandemi


Oleh : Tita Rahayu Sulaeman

Kontradiktif Pilkada dan Pandemi

"Ada apa gerangan dengan pemerintah ?"

Mungkin itu yang ada dibenak rakyatnya ketika mengetahui pemerintah tetap memutuskan untuk menggelar pilkada di tengah pandemi. Grafik jumlah korban virus covid-19 belum juga melandai. Pemerintah mengambil keputusan seolah pandemi ini tak pernah ada. 

Komisi II DPR RI bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu sepakat pelaksanaan Pilkada 2020 tetap digelar pada 9 Desember 2020 (kompas.com 21/09/2020). Meski diikuti dengan sejumlah peraturan tambahan, keputusan tetap menggelar Pilkada di tengah wabah tetap saja dirasa kurang tepat. Penolakan juga disampaikan beberapa pihak. Namun pemerintah tak bergeming. Pilkada tetap jalan di masa pandemi. 

Sungguh miris. Selama ini rakyat mengira bahwa karantina total wilayah tak pernah jadi opsi karena keterbatasan keuangan yang dimiliki negara. Nyatanya, negara bukan tak memiliki cukup harta untuk menafkahi rakyatnya di masa pandemi. Negara lebih memilih menghabiskan uang dengan jalan Pilkada ketimbang mengambil keputusan karantina total wilayah dan memenuhi kebutuhan rakyat yang terkena dampaknya. 

Sementara itu, menggelar pilkada di masa pandemi adalah dua hal yang kontradiktif. Selama ini pemerintah mengkampayekan pada masyarakat untuk tetap di rumah dan menjauhi kerumunan. Namun kerumunan dalam Pilkada hampir sebuah kenisyacaan. Mulai dari kampanye hingga antrian di TPS. Sementara kedisiplinan masyarakat terhadap protokol kesehatan tak bisa diandalkan untuk mencegah peningkatan kasus penyebaran virus covid-19.

Terbukti, dalam kampanye yang digelar di hari pertama dan kedua telah dilanggar beberapa paslon di beberapa daerah. Anggota Bawaslu RI, Mochammad Afiffudin menyampaikan, terdapat 8 kegiatan yang dilakukan oleh tim kampanye pasangan calon yang melanggar ketentuan penerapan protokol kesehatan. 8 daerah tersebut di antaranya; Tanjung Jabung Barat, Sungai Penuh, Bandung, Purbalingga, Mojokerto, Dompu, Kaimana, dan Medan. (Okezone 28/09/2020). 

 

Ilusi Demokrasi 

Demokrasi menjanjikan keadilan melalui slogan yang selalu diagung-agungkannya. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Peraturan hidup kemudian diatur oleh penguasa legislatif dan yudikatif. Sementara eksekutif yang berasal dari rakyat diharapkan mampu membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi rakyatnya dengan hukum-hukum yang telah disepakati bersama. 

Jika disadari lebih dalam, disinilah letak kesalahan terbesar demokrasi. Bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Bukan pada Allah Swt pemilik semesta ini. Dengan demokrasi manusia menjalankan kehidupan berdasarkan hukum-hukum yang disepakati bersama. Padahal manusia, hanyalah hamba yang memiliki segala keterbatasannya. Tapi hukum-hukum Allah disingkirkannya. 

Pilkada sebagai jalan lahir pemimpin dalam demokrasi nampaknya tak bisa ditawar lagi. Meski dengan anggaran yang tak sedikit dan nyawa rakyat jadi taruhannya. Demikianlah demokrasi mensyaratkan kelanggengan keberadaannya. Sementara keadilan dan kesejahteraan dalam demokrasi selamanya hanyalah ilusi. Berpuluh tahun negri ini menganut sistem demokrasi, keadilan dan kesejahteraan tak pernah terwujud. 

 

Pilkada Dalam Sistem Islam Tak Pernah Ada 

Pengangkatan pemimpin daerah dalam pemerintahan islam dilakukan tidak dengan jalan Pilkada. Tapi dengan penunjukan oleh Khalifah. Syaikh Taqiyyudin An Nabhani dalam kitab Nidzomul Islam memberikan gambaran tentang sistem pemerintahan islam. Khalifah menunjuk pempimpin daerah yang diusulkan rakyat melalui Majelis Umat. Sosok pemimpin yang dicalonkan tentunya adalah sosok yang telah nyata perannya di masyarakat meski belum menjabat di pemerintahan. Bukan sosok yang hanya dicitrakan dekat dengan masyarakat. 

Masyarakat dalam sistem pemerintahan Islam juga tidak akan merasa khawatir pada pemimpin yang tidak amanah. Karena masyarakat beserta pemimpinnya telah terbina keimanan dan ketaqwaannya. Sehingga jabatan atau kekuasaan hanya benar-benar digunakan untuk menegakkan syariat Allah. Kehidupan seperti ini hanya ada dalam naungan khilafah. 

Tidak ada yang bisa diharapkan dari pemimpin yang lahir dari demokrasi. Umat tak hanya butuh pemimpin yang mensejahterakan di dunia tapi juga menyelamatkannya di akhirat dengan menegakan syariat-Nya. Untuk itu sudah sepatutnya umat kembali pada sistem kehidupan dan bernegara yang hanya berasal dari Allah SWT saja. 

“Hendaknya kamu [Muhammad] menerapkan hukum [pemerintahan] berdasarkan apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka yang akan memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepada kamu. Jika kalian berpaling [tidak mengikuti titah ini], ketahuilah [Muhammad] sesungguhnya Allah hanya ingin menimpakan musibah kepada mereka karena sebagian dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia itu fasik” (QS al-Maidah [5]: 49).

Post a Comment

Previous Post Next Post