Eksploitasi Perempuan Atas Nama Kesetaraan


Oleh: Safiatuz Zuhriyah, S.Kom 
Aktivis Dakwah Muslimah 

Wanita dijajah pria sejak dulu
dijadikan perhiasan sangkar madu
namun ada kala pria tak berdaya
tekuk lutut di kerling wanita
(Sabda Alam, Ebet Kadarusman)

Lirik lagu di atas kurang lebih menggambarkan bagaimana nasib perempuan di sistem kapitalis ini. Kehidupan perempuan sering diasumsikan sebagai pihak yang terdzolimi, tak berdaya, dan selalu dikalahkan laki-laki.  Sehingga menjadi keharusan bagi perempuan untuk bersaing dengan laki-laki di segala sektor kehidupan. Apalagi pada musim pandemi.

Dilansir dari kumparan.com, ditemukan fakta bahwa hingga saat ini kebanyakan perempuan masih banyak berada di pekerjaan informal. Sehingga ketika ada pandemi seperti sekarang ini, tak sedikit pekerja perempuan yang harus hidup tanpa memiliki asuransi kesehatan dan perlindungan sosial. 

Tak hanya itu, pekerjaan mereka pun juga banyak mengalami hambatan, karena ada banyak perempuan yang bekerja di industri yang terdampak Covid-19, mulai industri akomodasi, hingga penjualan dan manufaktur.

Data di Indonesia menunjukkan bahwa perempuan memperoleh pendapatan 23 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki. Data yang sama juga menyatakan bahwa perempuan yang sudah memiliki anak, angka selisih gajinya jauh lebih besar dengan laki-laki. Tentu saja perbedaan upah tersebut berdampak buruk bagi ekonomi perempuan. 

Di kalangan berpendidikan pun tidak jauh berbeda. Banyak perempuan yang memiliki gelar D3/D4 atau sarjana, tapi upahnya masih lebih kecil dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi tidak mengurangi angka kesenjangan upah berdasarkan gender.

Berangkat dari isu ini, untuk pertama kalinya Indonesia bersama dengan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), turut berpartisipasi dalam merayakan Hari Kesetaraan Upah Internasional yang jatuh pada 18 September. Perayaan tersebut juga sebagai bentuk komitmen dari PBB untuk memperjuangkan hak asasi manusia dan menentang segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan.

Angin Surga Kesetaraan

Peringatan Hari Kesetaraan Upah hanyalah basa-basi khas kapitalis dalam mengatasi masalah perempuan. Peringatan ini memang memberi angin surga tentang kesetaraan dan mengentaskan perempuan dari kesengsaraan. Di tangan feminis, isu ini kencang digaungkan. Tuntutannya pun tidak berubah dari masa ke masa. Yaitu minta dihargai dan disetarakan dengan kaum pria. Namun sayang, kesejahteraan yang didamba tidak kunjung dirasa.

Sebenarnya, berbagai masalah kesejahteraan justru muncul karena penerapan sistem kapitalis itu sendiri. Sistem ini terbukti tidak mampu menyejahterakan perempuan. Apatah lagi menyejahterakan laki-laki. Penyelesaian masalah kesejahteraan perempuan, dilakukan dengan cara yang eksploitatif. Yaitu dengan mendorong perempuan bekerja dan bersaing secara terbuka dengan laki-laki di berbagai bidang. Termasuk dalam bidang yang menyalahi kodratnya sebagai perempuan. 

Perempuan didorong untuk produktif, tanpa khawatir dengan kesenjangan upahnya. Pemerintah juga berusaha menghilangkan hambatan berupa peran domestik perempuan dengan menerbitkan berbagai peraturan. Nampak disini, bahwa perempuan dibiarkan untuk berusaha sendiri memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan berpartisipasi penuh di dunia kerja. 

Padahal, partisipasi penuh perempuan ini tentu saja akan mengganggu bahkan merusak peran kodrati perempuan sebagai istri dan ibu. Kita jumpai begitu banyak perempuan yang harus menghadapi dilema antara meneruskan karir atau mengurus rumah tangga dan mendidik buah hatinya. Akibatnya, ia tidak bisa maksimal dalam keduanya.

Ada juga perempuan yang dituntut berperan ganda karena tidak ada pilihan lain. Kehidupan kapitalis ini mengharuskan semua pihak berperan dalam menghasilkan pundi-pundi rupiah, atau tergilas oleh kehidupan materialistik. Di sisi lain, perempuan menghadapi ancaman bahaya serius di tempat kerja, berupa pelecehan.

Kehidupan keluarga pun terancam menuai masalah, akibat hilangnya peran Sang Ratu Rumah Tangga. Perceraian marak. Anak-anak kurang kasih sayang, tidak ada yang membimbingnya sehingga kehilangan arah dalam menatap masa depan. 

Maka, berharap kesejahteraan dengan cara menyetarakan upah dalam sistem kapitalis, adalah jauh panggang dari api. Tidak akan berhasil. 

Aturan Islam Tentang Perempuan

Islam memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama bila dilihat dari potensi kemanusiaannya. Allah Swt. berfirman: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS al-Hujurat [49]: 13).

Ayat ini menyinggung tentang kontribusi kaum perempuan bersama dengan kaum laki-laki untuk membangun manusia dan peradaban di seluruh dunia. Dengan kata lain, Islam tidak pernah merendahkan derajat manusia, baik laki-laki maupun perempuan.

Keduanya mendapatkan pahala dan dosa sesuai dengan amal perbuatannya masing-masing. Allah Swt. berfirman:"Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." (QS an-Nahl [16]: 97).

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa keadaan fisik pria dan wanita itu jauh berbeda, bahkan berlawanan. Siapa pun tahu bahwa wanita diciptakan Allah penuh kelembutan, halus, dan peka terhadap keadaan lingkungan. Keadaan ini membuat mereka cocok untuk tugas yang halus dan lembut. Sementara itu, laki-laki yang kokoh dan kuat lebih memungkinkan bekerja keras dan berat. Karena keadaan fisik ini pula, lelaki dan wanita mempunyai fungsi dan peran khusus yang sama sekali berbeda dan tidak akan pernah sama.

Perbedaan fungsi tersebut, membuat kaum perempuan dan laki-laki tidak mungkin berada dalam satu kedudukan yang sama. Bila terjadi, maka hal tersebut justru merupakan penyimpangan dari fitrah dan sunnatullah. 

Dalam rumah tangga, suami menjadi pemimpin dan istri sebagai pihak yang dipimpin. Sebagai pemimpin, maka suami wajib memenuhi kebutuhan nafkah orang-orang yang berada dalam tanggungannya, termasuk istri dan anak-anaknya. 

Sedangkan istri, dengan sifat lembut dan kasih sayangnya, diberi tugas sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Di pundaknya diletakkan tanggung jawab sebagai madrasatul ula, pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Dengan ini, kedudukannya dimuliakan sebagai pembangun peradaban. Bahkan surga diletakkan di bawah telapak kakinya. 

Untuk memelihara fitrah dan tanggung jawab besar tersebut, maka perempuan dibebaskan dari tugas mencari nafkah. Ia selamanya menjadi tanggungannya suami atau walinya. Jika tidak ada, maka negara menjadi pihak yang harus menanggung nafkahnya. 

Namun demikian, bukan berarti bahwa perempuan tidak boleh bekerja dan mengelola harta. Banyak contoh para sahabiyah yang bekerja di berbagai sektor sesuai fitrahnya. Misalnya menjadi pedagang, pengusaha, petani, perawat, pendidik, ilmuwan, dll. Dengan catatan, bekerjanya mereka adalah untuk mengamalkan ilmu dan menebar kebaikan di tengah-tengah umat. Bukan karena tuntutan menanggung nafkah keluarga. 

Selain itu, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh perempuan dalam bekerja, yaitu:
1. Ada ijin suami/mahram. 
2. Menutup aurot secara sempurna dengan jilbab dan kerudung ketika keluar rumah. 
3. Tidak berkhalwat dan berikhtilat dengan laki-laki ajnabi. 
4. Pekerjaannya sesuai dengan fitrah perempuan. 
5. Tetap bisa menjalankan fungsi utamanya sebagai istri, ibu dan pengatur rumah tangga. 

Dalam masalah upah, Islam menentukan standarnya sesuai dengan manfaat/ keahlian yang bisa diberikan oleh seorang pekerja. Standar ini berlaku sama baik bagi laki-laki maupun perempuan. Islam juga memenuhi hak perempuan dalam berbagai bidang kehidupan sesuai dengan tuntunan hukum syara'. Dengan demikian, perempuan hanya akan mengenyam kesejahteraan dalam syariat Islam. Bukan yang lain.

Post a Comment

Previous Post Next Post