Berhijab Sejak Dini pebiasaan, bukan Pemaksaan


Oleh: Halida Almafazah
 (aktivis muslimah peduli umat) 
 
“Apakah anak-anak yang dipakaikan jilbab itu memiliki pilihan atas apa yang ia kenakan?” cuit akun Twitter Deutch Welle (DW) Indonesia (25/09 2020) sebagai keterangan konten video mereka. Alhasil, media asal Jerman tersebut menuai ribuan hujatan dari warganet dan para tokoh, yang menyinyalir video tersebut penuh tuduhan miring terhadap ajaran Islam.

Di video tersebut, DW Indonesia menyoal fenomena berhijab sejak dini di Indonesia. DW mewawancarai orang tua yang mewajibkan putrinya menggunakan hijab sejak dini, serta mewawancarai psikolog yang mengulas dampak negatif yang akan dialami anak jika berhijab dari kecil.

“Mereka menggunakan atau memakai sesuatu tapi belum paham betul konsekuensi dari pemakaiannya itu. Permasalahannya apabila di kemudian hari bergaul dengan teman-temannya, kemudian agak punya pandangan yang mungkin berbeda, boleh jadi dia mengalami kebingungan,” ucap Rahajeng Ika, psikolog tersebut. (pikiran-rakyat[dot]com 26/09/2020)
 Sesuatu yang wajar jika seorang ibu mengharuskan anaknya memakai hijab sejak kecil, namun hal demikian bisa dikatakan pemaksaan. 

Pembiasaan bukan Pemaksaan

“Dan hendaklah takut kepada Allah SWT orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An-Nisa: 9)

Para mufasir menafsirkan ayat tersebut sebagai ayat tentang kewajiban orang tua mendidik anak-anaknya dan menanamkan akidah agar tertancap kuat keimanan dalam dada-dada mereka. Sebab, sesungguhnya pendidikan pertama dan utama berasal dari rumah. Allah SWT sematkan amanah besar ini pada kedua orang tuanya, terkhusus ibunya.

Menanamkan adab pada anak sejak dini tentu sangatlah perlu, agar mereka mampu bersikap ahsan baik kepada orang tuanya, guru, saudara, hingga teman-temannya, agar terjalin hubungan sosial yang baik 

Begitu pun hal yang wajib bagi orang tua mendampingi pembiasaan anak dalam menerapkan syariat. Sebab, pembiasaan disertai penjelasan terhadap syariat akan menumbuhkan iman yang luar biasa terhadap ajaran agamanya. Hingga tertanam dalam benak anak sejak kecil bahwa dirinya adalah muslim yang harus “taat tanpa tapi” pada Rabnya.
Islam memang agama yang berbeda dengan agama lainnya. Para pemeluknya wajib meyakini agama Islamlah satu-satunya agama yang benar dan akan membawa kehidupannya pada keberkahan.

Para orang tua harus bisa memahamkan pada anak-anak perempuan mereka bahwa hijab itu bukan pilihan, tapi kewajiban. Pemahaman yang benar disertai penerapan Islam kafah pada diri anak tak mungkin ada jika akidah belum bersemayam dalam dada-dada mereka.

Narasi jahat Liberalis Sekulerisme 

Narasi jahat yang dilontarkan kaum liberal sungguh tak masuk akal. Pembiasaan tentu berbeda dengan pemaksaan. Sebelum balig, anak-anak belum terkena beban taklif. Artinya, kewajiban mereka untuk menutup seluruh auratnya belumlah ada pada pundaknya. Jika ada anak yang ingin melepaskan kerudungnya saat di pasar, karena kegerahan misalnya, maka hal demikian jelas bukanlah sesuatu yang dilarang.

Selain bukanlah paksaan, pembiasaan dan pemahaman yang diberikan sejak dini kepada anak-anaknya adalah bentuk tanggung jawab orang tua. Karena kelak di yaumulhisab, kita sebagai orang tua akan dimintai pertanggungjawaban atas anak-anak kita.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap engkau adalah pemelihara, dan setiap engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya: Seorang pemimpin adalah pemelihara, ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Seorang laki-laki juga pemelihara dalam keluarganya, ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Dan seorang perempuan adalah pemelihara dalam rumah suaminya, ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya.” (HR al-Bukhâri)


Lahir dari peradaban Barat

Pendidikan yang serba bebas lahir dari peradaban Barat. Sering kita temui cara mendidik anak ala Barat itu adalah dengan tidak mengganggu kebebasannya dalam bertingkah laku. Seperti teori Barat yang tidak boleh mengatakan “tidak” pada apa yang dilakukan anak-anaknya, karena dianggap dapat menghambat daya kreativitas.

Bila cermati, teori ini lahir dari pemahaman liberal yang tak mengenal aturan Sang Pencipta, serba boleh dan mendewakan kebebasan. Berbeda dengan Islam. Jika anak melakukan sesuatu yang dapat mencelakakannya atau melakukan hal yang ditentang syariat, maka wajib bagi orang tuanya untuk melarang dan menjelaskan. Bahkan, nasihat Nabi Luqman kepada anak-anaknya diawali dengan kata ‘jangan’.
“(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’.” (QS Luqman: 13)

Islam mengajarkan pada umatnya untuk senantiasa taat pada seluruh aturan agamanya. Bagi muslim yang taat, aturan tersebut tak akan dimaknai sebuah pengekangan. Justru aturan tersebut merupakan wujud kasih sayang Allah SWT pada umat manusia. Dengan mengikuti aturan Sang Pembuat Kehidupan, kita bisa berjalan dengan selamat di dunia juga akhirat.

Islamofobia
 Inilah yang dinamakan upaya menebar islamofobia, yaitu perasaan takut dengan agamanya sendiri.
Islamofobia terus ditumbuhkan ke kaum muslim dari segala arah. Apa yang dilakukan DW adalah bentuk serangan media sekuler. Mereka berupaya sedemikian rupa membentuk opini di tengah-tengah umat, bahwa Islam kafah adalah agama yang berdampak buruk bagi masyarakat.

Begitu pun serangan dari kaum feminis liberal. Mereka coba menanamkan pada umat bahwa pembiasaan berhijab sejak dini adalah bentuk pemaksaan yang dapat berdampak buruk pada psikologi anak dan sosialnya,
Islamofobia pun semakin jelas menjangkiti pemerintah negeri ini. Lihat saja bagaimana penguasa terus menerus memjelaskan Islam sebagai agama intoleran. Radikalisme menjadi alat membangun opini bahwa Islam kafah adalah musuh bersama.
Indonesia, sebagai negeri muslim terbesar di dunia, seharusnya memuliakan agamanya dan melindungi kaum muslim dari segala macam marabahaya.

Serangan ideologi sekuler 
Inilah makar para pembenci agama. Geliat hijrah kaum muslim membuat mereka gerah. Umat makin sadar bahwa peradaban besar yang menaungi kehidupan kaum muslim saat ini bukanlah peradaban yang menerima Islam secara kafah.

Dunia, khususnya Indonesia, sedang di bawah cengkeraman ideologi sekuler kapitalis yang memisahkan agama dengan kehidupan. Peradaban inilah yang menghimpun para korporasi mengendalikan dunia semau mereka.
Adanya Islam politik dianggap menghambat penjajah untuk menguasai dunia khususnya negeri muslim, maka mereka merasa wajib untuk menghilangkan pemahaman ini dalam benak kaum muslim, salah satunya menebar islamofobia.

Oleh karena itu, islamofobia yang menjangkiti umat bukanlah penyakit biasa. Harus ada upaya luar biasa dan sistematis untuk menghancurkan penyakit ini peradaban hari ini untuk bisa bangkit dari keterpurukan.

Oleh karena itu, mari kita kembalikan syariat Islam pada posisinya semula. Dengan menerapkan islam secara Kafah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk bernegara.
Wallahu 'alam bis shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post