Polemik Pembelajaran Daring Saat Pandemi


Oleh: Misliani A
(Pendidik di Banjarbaru)

Pandemi Covid-19 terus mengalami peningkatan hampir di semua daerah. Sementara proses pembelajaran sudah berlangsung kurang lebih dua minggu tahun ajaran baru 2020/2021, dengan sistem pembelajaran jarak jauh atau dalam jaringan.

Tentu hal ini bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan baik oleh peserta didik, orang tua, guru dan juga pihak sekolah. Namun, menurut Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kemendikbud Evy Mulyani menegaskan, dalam pelaksanaan dimulainya tahun ajaran baru tidak ada kegiatan belajar mengajar secara tatap muka di sekolah.

Menurutnya yang menjadi prioritas adalah kesehatan dan keselamatan warga sekolah (siswa, guru dan orang tua) sehingga sekalipun pembukaan kembali sekolah di wilayah zona hijau tidak serta merta dibuka, tetapi akan dilakukan dengan sangat hati-hati, dan tetap mengikuti protokol kesehatan. "Saat ini model pembelajaran jarak jauh  akan menjadi pilihan utama sehingga bagi sebagian besar  sekolah  akan melanjutkan pembelajaran jarak jauh seperti yang sudah dilakukan 3 bulan terakhir,” lanjutnya. (Pikiran Rakyat, 7/6/2020)

Kebijakan sistem pembelajaran jarak jauh untuk tahun 2020/2021 yang diterapkan oleh pemerintah akibat pandemi Covid-19 ternyata banyak mendapat kendala dan keluhan dari para orang tua siswa khususnya mereka yang berpenghasilan menengah ke bawah.

Mereka menilai sistem pembelajaran daring atau online ini terkesan diskriminasi. Pasalnya, tidak semua orang tua siswa punya kemampuan membeli atau memiliki smartphone berbasis android dan kuota internet. Di samping itu, tidak semua orang tua siap membantu memberikan pelajaran kepada anaknya.
(KlikKalimantan, 23/07/2020)

Di sisi lain, para peserta didik juga tampaknya banyak yang belum siap menerima pelajaran melalui smartphone. Kemudian terkait sinyal yang tidak stabil, apalagi yang jauh dari perkotaan dan berada di pinggiran kota atau di pedalaman, sangatlah menjadi kendala dalam proses pembelajaran. Seperti yang disampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tabalong, H Mahdi Noor, yang dihubungi lewat telepon, Kamis,23/7/2020 malam. Menurutnya, dari hasil pemantauan proses pembelajaran di tiga SLTP dan tiga SD di wilayah utara Tabalong, keluhan sinyal ini menjadi satu persoalan yang muncul. Persoalan jaringan dalam penerapan pelaksanaan pembelajaran secara daring sepertinya memang menjadi persoalan yang didapati di beberapa daerah. Termasuk pula di Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).
“Memang di sekolah ada indihome dan juga yang memanfaatkan punya diskominfo, tapi yang jadi masalah di tempat siswa yang tidak ada sinyal,” ujar Mahdi yang baru dilantik sebagai kadisdik ini. (Borneo24.com, 24/07/2020)

Selain adanya beberapa kendala dalam pembelajaran jarak jauh atau daring, menurut Kepala Bidang Dikdas, Ahmad Yani, tidak menyangkal bahwa sistem pembelajaran ini dapat membawa dampak buruk bagi psikologis perkembangan peserta didik,1 ketika mereka nanti ke sekolah.

Dampak buruk itu misalnya tumbuhnya rasa malas, dan peserta didik menjadi merasa bebas karena selama ini tidak terikat peraturan yang ketat dari pihak sekolah. Dan menurutnya, untuk mengantispasi dampak tersebut Disdik bekerjasama dengan orang tua akan berupaya secara maksimal melakukan pendampingan dan pengawasan kepada peserta didik. Untuk mendatangkan psikolog kan tidak mungkin, karena jumlah siswa juga sangat banyak. Paling tidak kita maksimalkan pendampingan dan pengawasan,” pungkasnya. (Tribunnews.Banjarmasin, 28/07/2020)

Jika dicermati dari kenyataan di atas, pembelajaran jarak jauh atau daring yang berlangsung selama pandemi Covid-19 hingga saat ini masih berjalan, memang banyak ditemukan berbagai kendala. Meskipun dikatakan menjadi pilihan utama yang lebih memprioritaskan kepada kesehatan dan keselamatan warga sekolah. Bahkan saat pandemi berlangsung, pembelajaran jarak jauh inilah yang bisa dijalankan agar siswa tetap bisa mendapatkan pembelajaran atau pendidikannya. 

Namun, jika mau jujur, pilihan pembelajaran jarak jauh saat ini bukanlah pilihan yang ideal. Bagaimana tidak. Dalam perjalanannya banyak sekali ditemukan berbagai kendala dan masalah  yang dihadapi. Dari para guru, siswa dan orang tua yang mengeluhkan proses daring ini. Banyak dari mereka yang stres karena tuntutan sistem yang tak jelas. Sekolah daring menjadi tambahan beban tersendiri bagi para orang tua, baik secara ekonomi maupun mental.

Para orang tua yang kadang berpikir mendidik adalah kewajiban sekolah, tiba-tiba harus bertanggung jawab penuh terhadap sekolah anaknya. Tak hanya soal pendidikan agama dan moral, tapi dengan berbagai mata pelajaran yang mereka pun tak mengerti bagaimana dan apa manfaat riilnya.

Bahkan juga ketidakmampuan membeli kuota internet untuk anaknya. Adapun para siswa, bersekolah di tengah wabah menjadi penderitaan tersendiri bagi mereka. Karena selain dipaksa melahap begitu banyak target pembelajaran di rumah, juga dihadapkan pada tidak selalu baiknya sinyal atau jaringan apalagi jauh dari perkotaan. Dan juga siswa harus berhadapan dengan “guru” baru yang tak paham bagaimana mendidik dan mengajar. Baik dari sisi mental maupun kemampuan.

Sementara bagi pihak pendidik dan sekolah, situasi wabah juga tak serta-merta meringankan beban mereka. Masih banyaknya guru yang kurang kapabel dalam pembelajaran daring, fasilitas gadget yang tidak memadai, bahkan situasi ini membuat mereka harus berpikir keras, karena dukungan fasilitas sangat minim, sementara pembelajaran harus tetap dijalankan meski insentif tambahan tak diberikan. Bahkan, guru terancam dipotong tunjangannya jika tak masuk kerja. Sehingga pembelajaran daring ini menjadi hal yang tidak diidamkan baik oleh guru, siswa dan juga orangtua.

Mengapa demikian? Hal ini terjadi dikarenakan sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini adalah sistem pendidikan kapitalis sekuler. Di mana pendidikan hanya ditempatkan sekedar sebagai pengukuh penjajahan kapitalisme global. Yakni sekadar sebagai pencetak mesin pemutar roda industri belaka. Alias hanya untuk memenuhi pasar industri milik para kapitalis. Dimana output pendidikan harus match dengan kebutuhan pasar perindustrian. Tergambar jelas pemaksaan negara kapitalis kepada rakyatnya supaya tetap bisa mencetak lulusan siap kerja, meski pandemi melanda. Juga menuntut guru terus bekerja, Dan negara bahkan berperan besar dalam mendorong terjadinya kapitalisasi dan sekularisasi di bidang pendidikan ini.

Kurikulum yang tak jelas arah, metode pembelajaran yang kaku, dukungan sarana dan prasarana yang sangat minim, membuat penyelenggaraan “pendidikan” di tengah wabah menjadi hal yang terasa begitu memberatkan, baik bagi para siswa, orang tua, maupun pihak pendidik dan sekolah.

Masa pandemi yang sedang sulit ini, bahkan tidak diberikan akses internet gratis maupun fasilitas yang mampu memenuhi para siswa memperoleh haknya untuk belajar. Bahkan rakyat sebagian besar berjibaku dengan kekuatannya sendiri untuk bisa memenuhi hak-haknya yang seharusnya disediakan Negara. Sementara para provider internet dan aplikasi meraup keuntungan dari rupiah yang diperas melalui rakyat yang terpaksa menggunakannya.

Dengan demikian, sistem pendidikan yang diterapkan saat ini benar-benar gagap dalam menghadapi keadaan. Terbukti, pilihan pembelajaran jarak jauh atau dalam jaringan yang faktanya saat ini dikatakan menjadi pilihan utama, semakin menyingkap kebobrokan sistem pendidikan yang selama ini diterapkan, sekaligus memunculkan begitu banyak persoalan yang terjadi. Jangankan saat terjadi wabah, saat normal saja, sistem pendidikan yang diterapkan memang tampak rapuh dan tak jelas arah.

Berbeda dengan Islam. Islam adalah agama yang paripurna. Islam memiliki seperangkat aturan yang diberikan Allah untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Termasuk di saat ketika wabah melanda. Islam telah mengatur sejak awal dalam menangani wabah. Rasulullah Saw bersabda: ‘’Jika kalian mendengar tentang wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, akibat pengabaian penguncian area wabah (lockdown), akhirnya ratusan ribu nyawa menjadi korban akibat wabah yang telah menyebar di seluruh dunia, Begitu pun di Indonesia, ketika pemerintah enggan menerapkan lockdown bahkan tetap menerima turis asing dan tenaga kerja asing (bahkan dari pusat wabah). Maka, seluruh wilayah di Indonesia pun terkena wabah virus mematikan. Sementara berbagai kebijakan berikutnya yang diambil juga terkesan terburu-buru, dipaksakan, berubah-ubah dan tidak memperhatikan pendapat para ahli, tokoh dan aspirasi rakyat. Bahkan jauh dari tuntunan Islam. Dan hal ini membuat masyarakat menjadi semakin gerah di tengah ujian wabah ini.

Jika dari awal kebijakan lockdown diterapkan, kebijakan Islami juga dijalankan, sehingga mereka yang memang positif terjangkit virus benar-benar dikarantina dan diberikan pelayanan kesehatan maksimal samapai sehat total, tentu masyarakat yang sehat masih bisa beraktivitas. Kegiatan ekonomi masih bisa berjalan, sekolah pun bisa dilaksanakan secara normal.

Sungguh Berbeda jauh dengan sistem pendidikan dalam Islam. Pendidikan dalam sistem Islam diposisikan dalam level yang sangat tinggi sebagaimana Islam menempatkan kedudukan ilmu dan orang yang berilmu pada level yang juga sangat tinggi. Allah Swt berfirman: ‘’…Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.’’ (TQS. Al-Mujadilah [58]: 11)

Paradigma inilah yang mendorong negara yang menerapkan sistem Islam (Khilafah), menempatkan sistem pendidikan sebagai salah satu pilar peradaban cemerlang yang harus mendapat perhatian serius oleh negara, baik dalam menjaga kemurnian visi, kurikulum, metode pembelajaran, hingga dukungan sarana dan prasarananya.

Pendidikan adalah hak seluruh rakyat untuk mendapatkannya secara gratis dan berkualitas. Hal ini bisa dilakukan negara dengan mengelola sumber daya alam milik rakyat yang dilakukan sesuai syariat dan dikembalikan manfaatnya kepada rakyat termasuk dalam pemberian hak-hak pendidikan secara gratis dan berkualitas.

Negara atau kepemimpinan yang dalam Islam memiliki fungsi sebagai pengurus dan penjaga umat, bahkan akan memastikan agar sistem pendidikan ini berjalan sempurna, dengan turut menciptakan suasana kondusif melalui penerapan sistem-sistem hidup lainnya. Karena Islam adalah sistem hidup satu sama lain saling terkait dan mendukung. Dan terbukti mampu menyelesaikan seluruh persoalan hidup manusia baik itu masalah pendidikan, kesehatan maupun lainnya.

Sudah seharusnya, segera kembali pada sistem Islam yang berasal dari sang pencipta (Allah Swt) yang mampu menyelesaikan seluruh persoalan hidup manusia, termasuk menyelesaikan persoalan pendidikan secara tuntas. Dan mampu menghasilkan generasi cemerlang yang menghantarkan mereka menjadi pemimpin masa depan. Bahkan tentunya kebaikan dan keberkahan akan tercurah kepada umat manusia. Wallahu’alam bisshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post