Nikah Muda, Bisakah Menjadi Solusi?



Oleh: Cahyani Pramita, SE
(Pengamat Sosial Masyarakat)

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPA) Kota Banjarmasin kesulitan untuk meredam kasus pernikahan siri anak di bawah umuryang terjadi di kota seribu sungai.

Bukan sekedar pernikahan siri (terjadi di luar KUA sehingga tidak tercatat dalam registrasi) yang dipersoalkan, namun juga pernikahan anak di bawah umur sangat disorot dan dianggap sebagai problem yang harus dituntaskan.  

Adanya UU No.16/2019 tentang perkawinan telah menaikkan usia minimal kawin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Usia kawin laki-laki dan perempuan sama-sama 19 tahun. Salah satu pertimbangan MK, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa seseorang berusia di bawah 18 tahun masuk kategori anak. Alhasil UU Perkawinan pun disinkronkan dengan UU Perlindungan Anak, dan diberlakukan sama usia kawin bagi laki-laki dan perempuan. 

Kepala Dinas PPPA kota Banjarmasin Iwan Fitriadi mengatakan “kami berharap saat ini agar orang tua menaati aturan tersebut. Menikahkan anak mereka minimal di usia 19 tahun dan juga yang sangat kami harapkan agar di kota Banjarmasin tidak ada lagi ditemukan perkawinan dibawah umur.” (kalselpos.com, 27/7/2020)

Pernikahan anak-anak (di bawah umur yang ditetapkan UU) dianggap dapat menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak, kekerasan terhadap perempuan, KDRT, kemiskinan hingga alasan gangguan/ bahaya kesehatan. Sedangkan jika kita menengok latar belakang terjadinya pernikahan di bawah umur tersebut juga karena berbagai problem. Ada karena persoalan ekonomi, karena kurang atau rendahnya pendidikan, karena kebebasan pergaulan hingga berujung pada kehamilan pra nikah dan lain sebagainya. 

Ekonomi yang menghimpit, biaya sekolah tak punya. Solusi paling instan adalah menikahkan anak mereka. Hilang satu beban keluarga. Belum lagi pendidikan saat ini tidaklah bervisi membentuk kepribadian yang solih dan solihah. Anak-anak bersekolah namun dididik menjadi generasi yang jauh dari ketaatan. Konten-konten porno legal dan mudah diakses atas nama kebebasan serta bisnis demi keuntungan materi hingga banyak generasi muda yang terperosok dalam kehinaan zina.

Setelah terperosok zina maka dinikahkanlah mereka. Astaghfirullah. Dengan demikian apakah yang salah itu nikah di bawah umurnya atau justru kesalahan pengaturan hidup dalam bermasyarakat hingga bernegara?

Berpalingnya negeri ini dari aturan Ilahi justru mengundang berbagai problem tak terperi. Allah Swt mengingatkan kita dalam firmannya “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan kami akan mengumpulkan dia pada hari kiamat nanti dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]:124). Jika pun menjadikan pernikahan solusi dari maraknya pergaulan bebas itu pun tidaklah tepat. Sebab saat sistem kehidupan yang sekuler-liberal-kapitalis tetap bercokol maka menyegerakan menikah pun tak sanggup menjadi solusi tuntas. 

Bersegera menikah adalah tuntunan nabi yang sejatinya menjadi solusi dalam masalah kehidupan. Namun tuntunan ini perlu didukung dengan sistem hidup dari risalah nabi pula. Sistem Islam risalah nabi yang menerapkan syariat-Nya di segala lini. Seperti menjamin terpenuhi kebutuhan dasar tiap individu rakyat (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan) hingga memudahkan para ayah membiayai keluarganya.

Pendidikan Islam mencetak generasi yang bertaqwa, jauh dari hedonis-liberalis. Negara menggunakan “powernya” untuk mencegah konten-konten merusak, menjalankan sistem sanksi yang berfungsi sebagai jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pemberi efek jera) bagi setiap pelanggaran aturan agama (Islam). 

Oleh karena itu, dengan dukungan sistem Islam dalam kehidupan, menikah di bawah umur takkan dianggap sebagai problem lagi karena secara ilmu dan pemahaman mereka tentang pernikahan dan membangun rumah tangga sudah mumpuni. Wallahu'alam Bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post