Kebijakan Dispensasi Usia Nikah : Antara Maslahah dan Masalah

By : Depy SW

Maraknya pengajuan dispensasi nikah sedang menjadi buah bibir. Sejak berlakunya UU No. 16 Tahun 2019 tentang perkawinan, remaja yang belum genap berusia 19 tahun harus mengajukan permohonan dispensasi umur sebagai syarat melenggang ke pelaminan. 

Banjir permohonan ini terjadi hampir di seluruh penjuru tanah air. Dikutip dari Liputan6.com, (15/06/2020) permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Wonogiri misalnya, meningkat dan jumlahnya mencapai 89 perkara dalam lima bulan terakhir. Sementara itu , PA Sukoharjo mencatat 92 pengajuan dispensasi nikah. Hal serupa juga terjadi di Jepara, Kudus dan daerah lainnya. 

Dispensasi batas usia menikah tercantum pada Pasal 7 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2019 Perkawinan. Undang-undang ini lahir untuk menekan angka pernikahan dini, mencegah seks bebas dan perkawinan yang tidak tercatat. 

Jadi Jalan Keluar
Hampir setahun kebijakan ini bejalan. Alih-alih menekan angka pernikahan dini, kebijakan dispensasi usia nikah  seolah dijadikan “jalan keluar”  untuk memaklumi fenemona seks bebas di kalangan remaja. 
Dalam kehidupan sekuler, syahwat para remaja digelorakan lewat liarnya konten-konten berbau porno. Mulai dari game online, youtube, sampai sinetron televisi. Sementara pernikahan sebagai sarana yang dibenarkan syari’at untuk menyalurkannya, seolah dipersulit. 
Alhasil, pacaran menjamur. Karena sudah dianggap sebagai “aktivitas yang lumrah” bagi kalangan remaja, maka masyarakat pun memberi lampu hijau. Padahal justru aktivitas ini yang banyak menjerumuskan para remaja pada pergaulan bebas. Tidak sedikit yang pada akhirnya terpaksa melangkah ke pelaminan. 
Pernikahan yang diawali dengan keterpaksaan dan tanpa bekal yang cukup, menyebabkan lemahnya ketahanan keluarga. Secuil bara konflik bisa menjadi kobaran masalah. Jangankan mencetak generasi gemilang, mempertahankan mahligai rumah tangga bagai mencari jarum di tumpukan jerami. 
Sebagian remaja korban pacaran memilih jalan aborsi. Mereka tidak ingin menikah dini, namun juga takut akan tekanan sosial. Dikutip dari Karimuntoday.com, (18/04/2019) angka aborsi di kalangan remaja mencapai 5 juta per tahun. Sungguh memprihatinkan. 

Butuh Sistem 
Dengan demikian, yang dibutuhkan remaja saat ini adalah sebuah sistem hidup yang mampu mengatur interaksi di antara mereka. Bukan sekedar aturan dispensasi umur pernikahan. Sistem yang mampu mendidik remaja sehingga mereka memiliki bekal yang cukup ketika melangkah ke pelaminan. 
Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna. Termasuk untuk mengatur permasalahan ini. Dalam Islam ada larangan ikhtilat -kecuali untuk perkara yang dibolehkan syara’, seperti jual beli, haji-, larangan kholwat, perintah untuk menutup aurat dan menundukkan pandangan. Anjuran menikah bagi yang telah mampu dan berpuasa bagi yang belum mampu. 
Rasulullaah sholallaahu ‘alayhi wa salam bersabda, “Wahai sekalian pemuda, barang siapa di antara kalian yang telah mampu maka menikahlah, karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu maka hendaknya ia berpuasa sebab puasa bisa menjadi perisai baginya.” (H.r. Bukhari, no. 5066; Muslim, no. 1400)
Islam juga melarang untuk mendekati zina. Adanya sanksi tegas bagi para pelakunya, menjadikan remaja berpikir seribu kali ketika hendak melakukannya. Begitu juga dengan para pembuat konten porno. 
Selain itu, suasana keimanan yang terjaga, dorongan untuk menuntut ilmu dan beribadah, menjadikan remaja sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat. Remaja yang mempunyai bekal cukup ketika melangkah ke pelaminan. Kita bisa melihat suasana ini pada generasi Islam terdahulu. Generasi yang hidup dalam naungan sistem kehidupan Islam. Wallaahu a’lam.
Previous Post Next Post