UKT (Uang Kuliah Terjamin) : Hanya Ada di Sistem Islam

Oleh : Rengga Lutfiyanti
Mahasiswa dan Anggota AMK

Pandemi Covid-19 tidak hanya melumpuhkan sektor ekonomi, tetapi sektor pendidikan pun ikut terdampak pandemi Covid-19. Akibatnya, para pelajar hingga mahasiswa diharuskan untuk belajar dari rumah (BDR). Sehingga semua kegiatan belajar mengajar harus dilakukan secara daring. Namun, meskipun kegiatan belajar dilakukan dari rumah atau secara daring, biaya pendidikan tidak juga mengalami penurunan. Sehingga hal ini menimbulkan aksi protes dari kalangan mahasiswa. 

Seperti yang tejadi pada awal bulan Juni lalu, jejaring sosial Twitter diramaikan dengan tagar #MendikbudDicariMahasiswa. Tagar ini muncul sebagai bentuk tuntutan mahasiswa kepada Mendikbud untuk melakukan pembebasan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di semester selajutnya sebagai dampak Covid-19. Tuntutan tersebut terjadi disebabkan kondisi ekonomi orang tua yang mengalami turbulensi akibat terdampak Covid-19. Selain itu, selama kegiatan belajar yang dilakukan dari rumah, para mahasiswa tidak menggunakan fasilitas fisik kampus seperti laboratorium, listrik, air, dan lain-lain. Sehingga mereka merasa hak mereka tidak terpenuhi selama kegiatan balajar dari rumah. (cnnindonesia.com, 03/06/2020)

Menanggapi hal tersebut Majelis Rektor PTN  menyepakati ada empat skema keringanan pembayaran UKT : 1) meminta penundaan pembayaran; b) menyicil pembayaran; c) mengajukan penurunan UKT pada level sesuai dengan kemampuan teraktual; d) mengajukan beasiswa jika memang orang tua bangkrut atau jatuh miskin. Namun, banyak yang menyangsikan akan mendapatkan bantuan tersebut, dikarenakan persyaratan yang cukup berbelit.  (kompas.com, 05/06/2020)

Sebelum terjadinya wabah, pendidikan memang sudah dijadikan barang komoditas yang diperjualbelikan. Bahkan, pasca era Badan Hukum Pendidikan (BHP), pendidikan tinggi resmi dikomersialisasi. Bukan rahasia umum lagi jika dalam sistem kapitalisme semua dikomersilkan, termasuk juga dalam bidang pendidikan. Karena memang prinsip dari sistem kapitalisme adalah mencari keuntungan, maka di mana pun yang dirasa menguntungkan akan dikeruk. Akibatnya pendidikan menjadi semakin tidak terjangkau oleh rakyat miskin. Kalaupun ada subsidi, jumlahnya tidak signifikan dengan besarnya jumlah pelajar dan mahasiswa. 

Tata kelola kapitalistik yang berlandaskan paradigma Good Governance atau Reinventing Government, berperan besar melahirkan petaka biaya pendidikan mahal. Paradigma ini mengharuskan negara berlepas tangan dari kewajiban utamanya sebagai pelayan rakyat. Selanjutnya, masyarakat termasuk korporasi/swasta didorong untuk berpartisipasi aktif. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berperan menjadi regulator saja bagi kepentingan siapa pun yang ingin mengeruk keuntungan. 

Berbeda halnya dengan sistem Islam yang menerapkan aturan Islam dari al-Khaliq. Dalam sistem Islam, negara berkewajiban untuk memenuhi seluruh hajat hidup manusia, termasuk juga dalam hal pendidikan. Sebab Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan primer bagi masyarakat. Semua ini harus dipenuhi bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin, pintar atau biasa, semuanya mendapatkan pelayanan yang sama mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Semua berhak mendapatkan pendidikan gratis dengan fasilitas terbaik.

Negara dalam sistem Islam benar-benar menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi masa depan. Segala biaya tidak boleh dikenakan, bukan hanya SPP, tetapi juga termasuk pembelian buku, peralatan sekolah, internet, dan lain-lain. Semua bayaran pendidikan, diantaranya gaji guru, tenaga non akademik, infrastruktur sekolah (gedung-gedung sekolah, kampus-kampus, perpustakaan, laboratorium, alat-alat penelitian). Kemudian sarana belajar dan mengajar (buku-buku pelajaran, internet, dan lain-lain). Serta fasilitas lain yang dibutuhkan (seperti asrama pelajar, klinik kesehatan, dan lain-lain). Semua wajib disediakan oleh negara secara gratis.

Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam sistem Islam diambil dari baitulmal, yaitu dari pos fa’i dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah. Rakyat dibolehkan menyumbang untuk menyediakan kemudahan-kemudahan tersebut sebagai bentuk amal jariyah, bukan sebagai bentuk tanggung jawab. Dalam sistem Islam juga dimungkinkan terdapat peran sekolah swasta, namun tidak boleh mengambil alih peran negara dalam memenuhi kebutuhan pendidikan rakyat. Inilah  faktor yang mempermudah rakyat mendapatkan kemaslahatan dalam bidang pendidikan, tanpa dibebani dengan biaya pendidikan yang membuat rakyat semakin tertekan. 

Sehingga tidak heran jika pada masa kejayaan Islam banyak terlahir ilmuwan-ilmuwan hebat, seperti Ibnu Sina, al-Khawarizmi, Jabir Ibn Hayyan, dan lain-lain. Sungguh Islam adalah agama yang paripurna yang mampu menjamin kemaslahatan bagi umatnya. 

Wallaahu a'lam bishshawaab
Previous Post Next Post